Konsep Pembangunan Peradaban: Materialis vs Wahyu

Istilah “peradaban” sering digunakan di kalangan akademis sebagai kata lain dari “kebudayaan”. Di dalam pengertian umum, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk budaya kota. Hal ini karena peradaban awal terbentuk ketika orang mulai berkumpul di pemukiman perkotaan di berbagai belahan dunia.

Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial serta keragaman kegiatan ekonomi dan budaya. Di dalam bahasa bangsa-bangsa di dunia, istilah peradaban bisa memiliki makna yang berbeda, walau pun juga terdapat persamaan. Misalnya, istilah civilization (Inggris) yang berasal dari bahasa Latin, civitas, yang berarti city (kota). Lalu, istilah hadharah (Arab) yang mengandung makna budaya masyarakat yang sudah menetap (baik di perkotaan maupun pedesaan), lawan kata badawah (masyarakat pedalaman). Namun, ada juga istilah tamaddun (Arab) yang berasal dari perkataan maddana, mudun, madain, yang berarti peradaban, kebudayaan, kemajuan.

Di awal abad kedua puluh, muncul kata madaniyyah dalam tulisan beberapa sarjana Islam. Dua tokoh terpenting, yaitu Muhammad Farid Wajdi dan Muhammad Abduh sama-sama menggunakan istilah madaniyyah sebagai sinonim untuk kata civilization.

Di dalam bahasa Indonesia, kata “peradaban” berasal dari kata dasar “adab” yang berarti sopan, berbudi pekerti luhur, mulia, atau berakhlak, yang seluruhnya merujuk pada sifat yang tinggi dan mulia. Kata “adab” ini sendiri secara etimologi berasal dari kata adab (Arab), dari kata kerja أَدَّبَ - يُؤَدِّبُ  (addaba - yuaddibu) yang berarti mendidik atau suatu proses pendidikan yang terkait dengan akhlak, yang punya arti budi pekerti, tingkah laku, perangai, sesuai nilai-nilai keyakinan (aqidah).

Di kalangan para ahli pun terdapat beberapa definisi berbeda tentang peradaban. Menurut sejarawan Inggris, Arnold Toynbee (1889-1975), arti peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Toynbee juga menyebut peradaban sebagai kumpulan seluruh hasil budi daya manusia yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun non-fisik. Sementara sejarawan Mesir, penulis buku berjudul [terjemahan Indonesia] “Quraisy: Dari Kabilah Makkah Ke Peradaban Dunia, Prof Dr. Husain Mu'nis, berpendapat bahwa peradaban adalah hasil dari setiap kesungguhan yang dibangun manusia untuk memerbaiki keadaan hidupnya. Hasil tersebut dapat bersifat materi maupun maknawi.

Kemusyrikan TSM: Kezaliman Terbesar dan Pangkal Kerusakan (Fasaad) Semua Aspek Kehidupan
Namun, ada kemusyrikan terstruktur, sistematis, dan massiv (TSM) yang dilakukan oleh masyarakat sosio-politik (an-naas) yang adalah biang kerusakan (fasaad) yang lebih luas dampaknya.

Secara kumulatif, peradaban dapat diartikan sebagai hasil dari kompleksitas interaksi antara manusia, lingkungan, nilai-nilai budaya, dan zaman, yang membentuk pola kehidupan sebuah masyarakat. Umumnya, (kemajuan) peradaban dicirikan dengan karakteristik tertentu, semisal pusat populasi besar, arsitektur monumental, dan gaya seni yang unik (termasuk tulisan), strategi komunikasi bersama, sistem untuk mengelola wilayah, dan pembagian kerja.

Organisasi sosial yang kompleks adalah ciri penting suatu peradaban dengan hierarki sosial yang terstruktur, peraturan hukum, dan sistem pemerintahan (kekuasaan) yang berfungsi. Salah satu contoh peradaban yang sering dibahas dalam buku sejarah adalah Mesir Kuno. Peradaban Mesir Kuno terkenal karena piramida megah, sistem tulisan hieroglif, dan peradaban yang berkembang di sepanjang Sungai Nil.

Di dalam masyarakat sosio-politik, faktor kekuasaan beserta sistem pemerintahan sangat berperan dalam membentuk, memertahankan dan mengembangkan konsep, paradigma, dan nilai-nilai tentang apa yang disebut sebagai kemajuan (peradaban) suatu masyarakat, dan menggerakkan masyarakatnya untuk mencapai kemajuan yang dipersepsikan tersebut.

Al Qur’an sebagai wahyu dari Allah Swt tidak memermasalahkan definisi peradaban di atas, namun menilai apa yang menjadi sudut pandang, motif, dan tujuan dari (kemajuan) suatu peradaban. Apakah didasari sudut pandang/nilai-nilai materialisme dan hawa nafsu, ataukah didasari oleh pemahaman atas fungsi-tugas manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi untuk memakmurkan bumi dalam rangka mengabdi dan bersyukur kepada-Nya.

Pandangan materialis sering menilai kemajuan peradaban dari aspek materi (arsitektur bangunan, perkakas, mesin, perangkat keras maupun lunak). Upaya untuk memajukan peradaban materialis ini umumnya dimotivasi oleh ambisi dan hawa nafsu suatu kelompok masyarakat yang berada pada struktur kekuasaan yang lebih tinggi, sehingga cenderung menciptakan ketimpangan (kasta) sosial dalam suatu masyarakat/bangsa. Terdapat masyarakat yang diuntungkan secara sosial-politik-ekonomi dan masyarakat yang dilemahkan (mustadh’afin). Pada akhirnya menjadi peradaban yang tidak beradab, bahkan biadab (kemajuan materi namun kemunduran akhlaq manusianya).

Peran Ulil Amri dan Ulama dalam Menyelasaikan Ikhtilaf
Di dalam struktur sosio-politik, mekanisme penyelesaian perselisihan pendapat ditempuh melalui hakim (pemutus hukum), yang dalam sistem (ad-dien) al-Islam merupakan kewenangan ulil-amri.

Cermati (tadabbur) Al Qur’an surah Al-Fajr (89): 6-12, bagaimana (kemajuan) peradaban kaum 'Ad, Tsamud, dan Fir'aun berujung pada kesombongan kelompok sosial tertentu, kezaliman (penindasan), kekufuran, hingga kerusakan manusia dan lingkungannya (fasaad).

[6] Tidakkah kau memperhatikan bagaimana Rabb-mu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad, [7] (yaitu) penduduk Iram (ibu kota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, [8] yang sebelumnya tidak pernah dibangun (suatu kota pun) seperti itu di negeri-negeri (lain)? [9] dan (kaum) Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, [10] dan Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar), [11] yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, [12] lalu banyak berbuat kerusakan di dalamnya (negeri itu)(QS 89: 6-12).

Kehidupan kaum ‘Ad sangat Makmur. Mereka bahkan memiliki peradaban yang tinggi dan unggul dalam bidang pertanian dan arsitektur. Mereka juga memiliki banyak harta dan binatang ternak. Sebagian besar lembah tempat tinggal mereka dijadikan ladang pertanian yang subur dan hijau. Namun, semua kenikmatan tersebut tidak membuat kaum ‘Ad menjadi hamba-hamba yang bersyukur dan bertaqwa kepada Allah. Begitu juga dengan kaum Tsamud. Bahkan, Fir’aun memiliki bala tentara yang sangat besar dan kuat pada masanya, di samping mampu membangun monumen-monumen besar semisal piramida yang masih bisa disaksikan hingga hari ini, sebagai keajaiban (peradaban) dunia.

Potret (sejarah) peradaban di atas bertolak belakang dengan peradaban yang dibangun oleh para Rasul semisal Nabi Dawud as dan Sulaiman as. Cermati Al Qur’an surah Saba (34): 10-13 dan surah An-Naml (27): 15-19. Kemajuan peradaban oleh masyarakat yang dipimpin oleh penguasa yang beradab yang dilandasi oleh wahyu (perintah Allah) dengan tujuan mengabdi semata-mata kepada Allah Swt akan menghasilkan generasi masnusia yang senantiasa bersyukur dan mengadakan perbaikan (amal-saleh dan ishlah).

[10] Sungguh, benar-benar telah Kami anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), ‘Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang kali bersama Daud!’ Kami telah melunakkan besi untuknya. [11] Buatlah baju-baju besi besar dan ukurlah anyamannya serta kerjakanlah amal sholeh. Sesungguhnya Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [12] Dan bagi Sulaiman (Kami tundukkan) angin yang (jarak tempuh) perjalanannya pada waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya pada waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula), serta Kami alirkan cairan tembaga baginya. Sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya dengan izin Tuhannya. Siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab (neraka) Sa‘ir (yang apinya menyala-nyala). [13] Mereka (para jin) selalu bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan kehendaknya. Di antaranya (membuat) gedung-gedung tinggi, patung-patung, piring-piring (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur. Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur(QS 34: 10-13).

Sebutan atau Panggilan Allah kepada Manusia di dalam Al-Qur’an
Terdapat beberapa sebutan atau istilah untuk manusia di dalam Al Qur’an. Misalnya al-basyar, al-insaan, bani Adam, dan an-naas. Tentu Allah ﷻ memakai istilah yang berbeda-beda itu karena masing-masing punya makna atau penekanan tertentu.

[15] Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan ilmu kepada Daud dan Sulaiman. Keduanya berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami daripada kebanyakan hamba-hamba-Nya yang mukmin’. [16] Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia (Sulaiman) berkata, ‘Wahai manusia, kami telah diajari (untuk memahami) bahasa (logika) burung dan kami dianugerahi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar karunia yang nyata’. [17] Untuk Sulaiman dikumpulkanlah bala tentara dari (kalangan) jin, manusia, dan burung, lalu mereka diatur dengan tertib, [18] hingga ketika sampai di lembah semut, ratu semut berkata, ‘Wahai para semut, masuklah ke dalam sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya’. [19] Dia (Sulaiman) tersenyum seraya tertawa karena perkataan semut itu. Dia berdoa, ‘Ya Rabb-ku, anugerahkanlah aku untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan (amal-sholeh) yang Engkau ridai. Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang sholeh’.(QS 27: 15-19)

Begitu juga peradaban yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad saw, yang (dengan izin Allah Swt) berhasil merevolusi masyarakat Makkah dan sekitarnya (Jazirah Arab) dari masyarakat jahiliyyah dengan kabilah-kabilahnya menjadi masyarakat yang sangat beradab. Bahkan berlanjut dengan perubahan peradaban masyarakat dunia oleh generasi-generasi setelahnya.

Revolusi Peradaban yang dimulai dengan perintah membaca (iqra’):

[1] Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan! [2] Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. [3] Bacalah! Rabb-mulah Yang Maha Mulia. [4] yang mengajar (manusia) dengan pena. [5] Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. [QS Al-’Alaq (96): 1-5]

Peradaban yang berlandaskan wahyu diawali dan dilandasi dengan:

  • Membaca (iqra, menghimpun informasi untuk memberikan penilaian dan perbaikan) kondisi, permasalahan sosial-budaya-politik masyarakat beserta geopolitik, dan juga membaca alam semesta.
  • Bukan sekadar membaca dengan “apa saja dibaca”. Namun, membaca dengan sudut pandang Sang Pencipta semesta alam (bi ismi Rabbika alladzi Khalaq).
  • Membaca untuk menyadari asal usul penciptaan manusia (khalaqo al-insaan min 'alaq) dan tujuan penciptaan manusia (QS 51: 56, QS 2: 31).
  • Membaca agar menjadi mulia dengan bacaan yang mulia (Al-Qur'an al-Karim) dari Yang Maha Mulia (Al-Akram). Di mana kemuliaan diukur dari ketaqwaan (QS 49: 13), dan Al Qur'an adalah petunjuk yang valid (tanpa keraguan) untuk meraih ketaqwaan (QS 2: 2).
  • Membaca untuk mendapatkan pengajaran dan pengetahuan (ilmu) dari Yang Maha Mengetahui (Sang Penguasa Ilmu) (Al-'Alim).
  • Belajar dan diajari dengan pena (al-qalam). Mengisyaratkan pentingnya kemampuan tulis-menulis sebagai alat merekam dan mentransmisikan serta mendistribusikan ilmu.

 Wallahu a'lam bishawwab.