Korban Selamat Banjir Aceh: “Kita Hanya Bisa Berserah kepada Allah atau Hanyut Bersama Air”

Hujan yang turun tanpa jeda mengubah sungai menjadi arus ganas. Air pun merendam permukiman, memutus listrik, dan memaksa ribuan warga bertahan di rumah-rumah yang perlahan tenggelam. Banjir di Aceh Tamiang pada akhir November 2025 itu bukan sekadar peristiwa alam, melainkan pengalaman kolektif tentang rapuhnya manusia di hadapan kuasa Allah. Di antara malam-malam yang gelap tanpa penerangan, di tengah air yang terus meninggi, banyak keluarga hanya bisa menggenggam satu hal, yaitu harapan.

Di antara mereka, ada satu kesaksian yang bertahan dan terus hidup. Sebuah kesaksian tentang iman yang diuji hingga batas terakhir, tentang doa yang lahir dari keputusasaan, dan tentang keyakinan bahwa pertolongan Allah tidak pernah benar-benar jauh. Kesaksian itu datang dari Teungku Sahal Muhammad AR, Lc, MA. Ia adalah salah satu korban selamat yang bertahan tujuh hari tujuh malam di tengah banjir Aceh Tamiang.

Ia bertutur, malam itu, tepat pukul dua belas, listrik padam. Hujan yang tak juga berhenti turun sejak pagi membawa air datang terus menerus dalam jumlah yang besar. Teungku Sahal Muhammad AR tak pernah menyangka bahwa malam itu akan menjadi awal dari tujuh hari tujuh malam yang menguji iman, harapan, dan batas manusia.

Tanpa persiapan apa pun, selain sebuah kompor gas, Teungku Sahal dan 6 orang lainnya mengungsi ke lantai dua rumah. Air mengalir dengan deras, tak memberi jeda. Saat pagi menjelang, ketinggian air telah mencapai leher orang dewasa. Di lantai atas, tujuh orang berhimpit di dalam ruang sempit, dengan rasa cemas yang tak terucap. Air tak juga surut. Justru semakin deras mengalir, hingga Teungku Sahal merasa di rumah itu ia bukan lagi berpijak di daratan melainkan seperti berada di tengah laut. Ia yakin, jika bukan karena pertolongan Allah, rumah itu telah hanyut bersama arus.

Peringatan dari Sumatera: Saatnya Introspeksi
Secara eksplisit, di dalam Al Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41, Allah Azza Wa Jalla telah peringatkan kita bahwa kerusakan yang ada di bumi hari ini, baik di darat, di laut, maupun di udara, disebabkan oleh perbuatan manusia yang merusak.

Malam Jumat tiba. Kamis magrib, ia sadar telah satu malam satu hari mengungsi. Tanpa kabar, tanpa suara bantuan, tanpa tanda kehidupan dari luar. Di titik itu, ia mengaku pasrah.

“Kalau saya hidup, mungkin saya akan hanyut satu atau dua bulan, lalu ditemukan. Kalau meninggal, ya sudah,” bisik batinnya kala itu.

Namun ia segera tersadar bahwa pikiran itu bukan ketenangan, melainkan tipu daya. Setan sedang mengelabui dirinya agar putus asa, agar berhenti berharap, agar berhenti berdoa. Padahal, senjata paling kuat bagi seorang muslim justru adalah doa. Ironisnya, Teungku Sahal mengakui, di titik genting itu, ia sendiri sempat lupa untuk berdoa.

Magrib datang tanpa adzan. Tak ada suara masjid, tak ada penanda waktu, hanya sunyi yang mencekam. Di dalam kondisi itu, Teungku Sahal berdiri dan mengumandangkan adzan dengan suara bergetar dan tangis yang tertahan. Ia berniat memberi tahu siapa pun yang masih mendengar untuk ingat kepada Allah Swt. Ia ingin seluruh tetangganya berdoa. Barangkali, di antara doa-doa itu, ada yang diijabah. Adzan itu adalah sinyal bahwa mereka belum sepenuhnya sendirian, bahwa masih ada pertolongan selain manusia. Allah, sebaik-baik Penolong.

Air terus naik. Tinggal satu anak tangga lagi sebelum mencapai lantai dua.

Saat air akhirnya menyentuh lantai dua, Teungku Sahal berada di titik paling rapuh. Ia benar-benar pasrah, bahkan tak teringat satu doa pun. Hingga tiba-tiba, wajah anak pertamanya terlintas di benaknya — bayi yang saat itu baru berusia dua minggu. Tangisnya pecah. 

Bayi Dua Bulan Selamat Setelah Terbawa Banjir dan Tertutup Lumpur
Seorang bayi berusia dua bulan, Fathan, ditemukan masih hidup setelah semalaman terombang-ambing di tengah banjir bandang dan terkubur lumpur separuh badannya. Kisah Fathan adalah alarm yang seharusnya menggugah kesadaran kolektif umat Islam. Ia adalah mandat agama.

“Ya Allah, jika Engkau ambil saya secepat ini, ia akan kesulitan menjadi yatim. Istri saya akan menjadi janda,” lirih bisiknya.

Kesadaran itu membangunkannya. Ia tak boleh pasrah. Jika tak bisa berbuat apa-apa, maka usaha paling minimal adalah berdoa. Ia bangkit, menunaikan shalat dua rakaat. Ia menyebut shalat itu sebagai shalat paling khusyuk di sepanjang hidupnya. Di dalam doanya, ia berkata, “Ya Allah, di antara kami ada anak bayi yang tak berdosa. Tolonglah kami karena mereka.”

Ia bertawasul dengan amal-amal kecil yang pernah ia lakukan. Mengajarkan anak-anak membaca Al Qur’an, membimbing orang dewasa memperbaiki shalat, mengabdikan hidupnya untuk ilmu.

“Tak ada yang saya harapkan selain ridha-Mu, ya Allah,” ucapnya. “Maka tolonglah saya. Tolonglah kami.”

Qadarullah, air mulai surut perlahan. Butuh tiga hari dua malam hingga benar-benar turun. Saat orang-orang mulai berani turun dari lantai atas, ujian lain menanti: kelaparan. Lumpur setinggi lutut menyelimuti segalanya. Mereka berebut makanan di sebuah gudang logistik yang tersisa.

Pada hari Rabu, Teungku Sahal akhirnya berangkat keluar dari Aceh Tamiang. Ia yakin keluarganya telah menunggu dia di rumah. Namun satu momen yang tak pernah ia lupakan adalah malam ketika air terus naik, saat ia merasa akan berpisah dengan keluarganya untuk selamanya. Dari situlah ia menarik pelajaran terbesar dalam hidupnya: bahwa harapan tak boleh digantungkan kepada apa pun selain Allah. Bahwa di titik paling gelap, satu-satunya yang benar-benar Maha Menolong hanyalah Dia.

Kisah ini adalah cermin tentang siapa kita ketika semua yang kita miliki direnggut dalam sekejap. Tentang manusia yang pada akhirnya kembali kepada satu pengakuan paling jujur bahwa tak ada sandaran yang benar-benar kokoh selain Allah Swt. Di Aceh Tamiang, di tengah air yang menelan rumah dan harapan, kesaksian ini mengajarkan bahwa iman harus tetap menyala ketika segalanya meredup, ketika segalanya gelap. Dan dari sana, kita terus diingatkan bahwa selama doa masih terucap, selama hati masih bergantung kepada-Nya, manusia tak pernah benar-benar sendirian.

Kesaksian Teungku Sahal ini disampaikan dalam agenda diskusi Sabili bertajuk “Kami Hanya Punya Allah, Kesaksian yang Akan Mengubah Cara Pandang Anda terhadap Banjir Aceh”, yang diselenggarakan pada Senin, 15 Desember 2025. Acara ini menghadirkan dua narasumber: Teungku Sahal Muhammad AR, Lc, MA, korban selamat banjir Aceh Tamiang; serta dr. Prita Kusumaningsih, Sp.OG, dokter kemanusiaan yang berpengalaman menangani krisis di Aceh dan Gaza.