Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 3): "KPK Indonesia vs KPK Hongkong"
"Sebuah artikel istimewa yang hanya ada di Sabili.id. Dituturkan langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua selama memegang amanah sebagai Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi. Tulisan ini akan kami hidangkan kepada pembaca setia Sabili secara berkala. Ada banyak fakta menarik yang selama ini tidak bisa menjadi konsumsi publik, bisa diiintip dari penuturan beliau ini. Berikut, seri ketiga dari kisah beliau. Selamat menikmati."
Pertama kali ikut Rapat Pimpinan (Rapim), Pimpinan KPK dan Deputi Penindakan masih berkantor di belakang istana negara. Tepatnya di samping gedung Bina Graha. Gedung Bina Graha adalah tempat kerja sehari-hari Presiden Soeharto.
Pertama kali saya berjabat tangan secara langsung dengan Presiden Soeharto di gedung ini. Tahun 1971. Waktu itu, saya salah seorang peserta Pendidikan Pers. Diklat ini diselenggarakan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) Pusat. Peserta berasal dari provinsi-provinsi yang sudah ada IPMI-nya. Saya dan dua kawan dari Makassar mewakili wilayah Indonesia Timur. Itu pun melalui beberapa tahap penyaringan.
Diklat selama sebulan ini diakhiri dengan acara bertandang ke kantor Presiden Soeharto, Bina Graha. Kali kedua mendatangi gedung ini (2001) sewaktu saya dan 32 Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), dilantik Presiden Gus Dur.
April 2005, ku datangi gedung di samping Bina Graha ini, kantor Pimpinan KPK dan Deputi Penindakan. Sebab, waktu itu KPK belum punya kantor sendiri. Penasehat, Deputi Pencegahan, Deputi PIPM, semua direktur (di luar bidang penindakan) dan para pegawainya berkantor di Jalan Juanda. Mantan kantor KPKPN.
KPK Hong Kong
Rapim pertamaku dihadiri lima Komisioner KPK dan dua Penasihat. Taufiequrachman Ruki, sang Ketua memimpin rapat. Beliau mantan anggota DPR dan staf ahli Menko Polkam. Beliau disapa internal KPK dengan panggilan TR. Komisioner tertua, Tumpak Hatorangan Panggabean. Beliau mantan Jaksa Tinggi Maluku dan Sulsel. Jabatan terakhir di Kejaksaan Agung adalah Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Sesjampidsus). Beliau disapa internal KPK dengan singkatan THP. Pak THP menangani bidang penindakan. Bahkan, beliau merangkap tugas Deputi Penindakan. Sebab, KPK sampai tahun 2007, baru punya Deputi Penindakan.
Komisioner tertua kedua, Syahruddin Rasul. Beliau mantan Deputi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di jajaran Pimpinan, beliau menangani bidang pencegahan korupsi. Beliau, di internal KPK disapa dengan panggilan SR. Komisioner keempat, Ery Riyana Hardjapamekas. Beliau mantan Dirut PT Timah,Tbk. Di jajaran pimpinan, beliau bertanggung jawab di bidang pelaporan masyarakat dan pengawasan internal. Beliau di internal KPK, mendapat sapaan ERH. Komisioner termuda, Amien Sunaryadi. Beliau mungkin satu-satunya pegawai di BPKP yang berhenti sebagai PNS. Menariknya, beliau berhenti sebagai protes terhadap cara penanganan korupsi. Di internal KPK, pak Amien menangani IT. Beliau di internal KPK, disapa dengan singkatan AS.
Pertemuan Rapim pertamaku, ku usulkan agar KPK menangkap beberapa jenderal polisi. Alasanku, KPK Hong Kong berhasil memberantas korupsi di negara pulau itu karena membubarkan institusi kepolisian. Tahun 1970-an, Inggris sebagai Penguasa Hong Kong geram karena negara pulau itu sangat korup. Hong Kong merupakan wilayah terkorup di Asia waktu itu.
Pemerintah Hong Kong, setelah membubarkan institusi kepolisian, menyeleksi, mana anggota yang masih bisa direkrut kembali. Itulah kejayaan KPK Hong Kong. Salah satu indikatornya, tahun 1977, korupsi mencapai 38 persen. Dalam waktu relatif singkat, tahun 1982, korupsi tinggal 8 persen. Namun, salah satu kebijakan pemerintah Hong Kong yang tidak kalah strategis, mereka menerbitkan UU Prevention of Bribery Ordinance.
Salah seorang Komisioner, kalau tak salah ingat, pak Amien Sunaryadi menolak usulku. Menurutnya, di Hong Kong waktu itu, kejaksaannya baik. Hakimnya diimpor dari Inggris. Olehnya, pemberantasan korupsi berjalan efektif dan efisien. Di Indonesia, kepolisian, kejaksaan, hakim, dan panitera bermasalah. Ketiga lembaga penegak hukum ini sarat dengan KKN. Bahkan, sejak dari rekrutmen pegawai, penempatan karyawan, sampai dengan promosi jabatan. Apalagi masalah penanganan perkara. Kondisi itulah yang mendorong anggota DPR menerbitkan UU No. 30/2002 tentang KPK.
MA, Penjaga Gawang Keadilan
Hasil diskusi Rapim di atas, Pimpinan menetapkan, skala prioritas pemberantasan korupsi adalah membersihkan Mahkamah Agung (MA) dari gurita korupsi. Semula, Pimpinan akan meniru KPK Hong Kong dengan cara meningkatkan kesejahteraan polisi. Sebab, mayoritas PNS korupsi karena gaji mereka sangat tidak manusiawi. Olehnya, guna menjadikan institusi kepolisian sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, gaji mereka minimal dinaikkan 100 persen.
Hasil kordinasi dengan Menteri Keuangan, APBN tidak mampu menanggung beban gaji sebesar itu. Sebab, jumlah anggota polisi seluruh Indonesia mendekati setengah juta orang. Jumlah anggota polisi terbesar kelima di dunia. Hal yang sama berlaku pula terhadap institusi kejaksaan. Sebab, jumlah mereka mencapai 10 ribu orang.
Prioritas pun jatuh ke MA. Sebab, tak ubahnya permainan bola, jika si kulit bundar lepas dari tangkapan kepolisian dan kejaksaan maka MA berperan sebagai penjaga gawang terakhir. Guna terhindar dari kecenderungan KKN karena kecilnya penghasilan, maka tunjangan kinerja hakim harus relatif besar. Apalagi, jumlah hakim dan Panitera seluruh Indonesia, lebih kecil dibanding anggota polisi dan jaksa.
Namun, jika gaji anggota BPK sebagai eksternal auditor, kecil maka KKN akan tetap marak. Sebab, anggota atau pegawai BPK bisa berkreasi dalam menambah penghasilan dengan cara manipulasi hasil audit. BPK bisa menetapkan suatu Kementerian/Lembaga Negara (K/L) memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Padahal, sejatinya, K/L terkait masih marak KKN.
Jika MA dan BPK dinaikkan remunerasinya, sementara Kementerian Keuangan sebagai Bendahara negara tidak mengalami perubahan penggajian, maka pegawainya akan menjadi tikus-tikus kelaparan. Mereka akan menggerogoti uang negara yang ada di tangannya. Simpulannya, tiga instansi ditetapkan sebagai pilot project perbaikan tata kelola K/L yakni: MA, BPK, dan Kementerian Keuangan.
Pembersihan Tata Kelola MA
KPK mulai “garang” ketika seorang Pegawai MA dan mantan Hakim yang menjadi Pengacara, terjaring kasus korupsi. Apalagi kasus ini melibatkan anggota keluarga mantan Presiden Soeharto. Kasus ini menjadi “entry point” bagi KPK untuk masuk dan menertibkan tata kelola MA.
Kondisi internal MA sangat memprihatinkan. Pejabat yang menangani keuangan, bukan ahlinya. Begitu pula dengan pejabat yang menangani SDM, bukan pakarnya. Wajar jika Nabi Muhammad mengatakan, “jika satu urusan diserahkan ke yang bukan ahlinya, maka tunggu kehancuran.”
Pasca penertiban tata Kelola internal MA, Penjaga Gawang Keadilan ini menunjukkan kemajuan kinerjanya. Beberapa hal dapat ditunjukkan. Anggota masyarakat dapat mengakses proses berjalannya penanganan kasusnya di MA. Sebab, MA mulai menerapkan manajemen digital. Kedua, jika masa orde baru, putusan kasasi perlu bertahun-tahun, pasca pembenahan tata Kelola MA oleh KPK, putusan hakim MA dapat terbit dalam waktu relative singkat. Bahkan, terpidana korupsi berpikir beberapa kali untuk mengajukan kasasi ke MA. Sebab, sewaktu hakim agung Artidjo Alkostar masih di MA, dapat dipastikan, hukuman koruptor akan dinaikkan dari apa yang diputuskan Pengadilan tingkat pertama maupun banding.
Sewaktu pergantian pimpinan KPK, dari jilid satu ke jilid dua, ku ingatkan Komisioner baru agar jangan abai dalam mensupervisi tata Kelola MA. Namun, sewaktu badai menerpa internal KPK, para Komisioner lalai terhadap tata Kelola MA. Akhirnya, sampai sekarang, penyakit lama para hakim dan panitera, kambuh kembali (Depok, 21 Februari 2023).
Bersambung...
Baca Juga: