Krisis Lingkungan Hidup: Kita Naik Perahu yang Sama
Orang boleh saja terbelah dalam berbagai keyakinan agama dan ideologi, sekat nasionalisme dan geografi, warna kulit dan ras. Namun faktanya, dibalik semua perbedaan itu manusia adalah makhluk penghuni planet yang sama, yakni planet bumi. Masalahnya, dalam kurun waktu yang lama manusia justru berebut kuasa untuk menjadi pengatur, pengelola, dan pemilik tunggal bumi. Penjelajahan ke sudut-sudut bumi menerbitkan keserakahan dan penjajahan. Yang di jajah tidak mau, kemudian melawan, dan terjadilah episode – episode peperangan, yang membinasakan manusia dan merusak bumi!
Peperangan itu mengatasnamakan ideologi, keyakinan, kejayaan ras, dan lain sebagainya, namun intinya satu; ingin dominan dalam menguasai bumi! Alih-alih mampu menguasai bumi, justru planet bumi sebagai perahu yang kita tumpangi bersama mengalami berbagai kerusakan yang serius. Beberapa pihak mulai terkejut dan sadar, bahwa kesejahteraan dan kejayaan hanya akan bermakna jika bumi tempat kita berpijak dapat lestari (sustainable).
Bukankah kemenangan kita atas ideologi lain, bangsa lain dan ras lain akan menjadi percuma jika ladang (baca: bumi) yang kita perebutkan menjadi hancur dan tidak layak huni lagi? Kemenangan dan supremasi politik serta ekonomi atas kelompok lain hanya akan mengantarkan kita sebagai saksi atas rusaknya lingkungan dan kepunahan ras manusia. Apakah supremasi dan kemenangan dalam situasi itu masih ada maknanya?
Bukankah lebih baik kita duduk bersama, berbagi dan menjaga kelestarian lingkungan hidup agar kehidupan kita pun terselamatkan? Meski berbagai ketamakan sosial-ekonomi manusia masih dominan, namun pertanyaan sederhana tersebut hari ini kian mendapatkan tempat. Lingkungan adalah isu strategis yang akan memosisikan manusia sebagai umat yang satu, yakni komunitas hidup yang terancam kepunahan spesiesnya karena kerusakan alam.
Gerakan pro-lingkungan hidup pun menjadi gelombang dan paradigma baru dalam pembangunan disegala sektor kehidupan. Ambisi dan ketamakan manusia atas nama modernisme harus dikontrol sedemikian rupa, agar wajah peradaban kita lebih humanis dan peka terhadap lingkungan namun tetap modern.
Diantara berbagai masalah serius yang dihadapi oleh umat manusia terkait dengan memburuknya mutu lingkungan hidup adalah masalah pemanasan global (global warming). Pemanasan Global ditengarai oleh meningkatnya suhu permukaan bumi akibat emisi gas rumah kaca. Emisi ini terjadi karena efek dari penggunaan bahan bakar fosil (minyak tanah dan batu bara).
Akibat pemanasan global ini, temperatur bumi mengalami kenaikan hingga 0,72 derajat celcius dan permukaan air laut mengalami kenaikan hingga 0,175 cm/tahun dan telah mulai terjadi semenjak tahun 1960-an. Apa efeknya bagi kehidupan? para ahli memprediksi jika kenaikan suhu mencapai 1,5 derajat celcius, maka akan terjadi kepunahan atas 20-30 persen tumbuhan dan hewan dimuka bumi. Jika kenaikan mencapai 3 derajat celcius, maka 40-70 persen kehidupan akan punah dari muka bumi.
Mengingat seriusnya persoalan ini, maka para pemimpin dunia pun menggagas sebuah konsep bersama tentang bagaimana menyelamatkan lingkungan hidup. Pada tahun 1992 embrio tentang konsep penangan masalah pemanasan global dan perubahan iklim di gagas di Rio de Janeiro, Brasil. Pertemuan ini menghasilkan Framework Convention on Climate Change yang bertujuan agar negara-negara industri mengurangi emisi karbondioksida-nya.
Lima tahun kemudian gagasan itu dipertajam lagi melalui forum internasional yang kemudian dikenal dengan sebutan Protokol Kyoto, di mana tingkat penurunan emisi dipatok secara lebih tegas pada angka 5,2 persen dibawah tingkat emisi pada tahun 1990.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menindaklanjuti Protokol Kyoto, dan Indonesia menjadi tuan rumah acara yang sangat strategis itu, tepatnya di pulau Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007. Forum ini dipakai untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan protokol Kyoto dan tuntutan yang lebih serius atas komitmen negara-negara di dunia di dalam mengatasi masalah pemanasan global.
Lalu apa korelasi ini semua dengan dakwah Islam? Tentu saja banyak sekali hubungannya. Namun yang paling penting adalah; dakwah bertanggungjawab atas terbangunnya adab dan koridor moral masyarakat yang terkait langsung dengan cara berhubungan dengan alam. Di dalam masyarakat itu ada pemimpin dan calon pemimpin bangsa yang suatu hari nanti akan bertanggungjawab dalam pengambilan kebijakan pembangunan.
Elaborasi doktrin Islam agar manusia tidak berbuat kerusakan di muka bumi mendesak dijabarkan dalam laku keshalihan individu dan sosial secara lebih praktis. Sehingga menjadi prilaku individu dan sosial yang pro pada kelestarian lingkungan hidup.
Kritik tajam Al-Quran dalam surat Al-Baqoroh ayat 11: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Adalah kritik atas praktik developmentalisme yang terjebak pada paradigma kebendaan, materialis dan eksploitatif.
Sudah saatnya ayat tersebut menginspirasi konsep pembangunan yang mengintegrasikan spiritualitas-tauhid, kemanusiaan universal, dan kelestarian lingkungan hidup, dengan menjadikan isu lingkungan sebagai “penengah kepentingan” yang mampu menyatukan beragam perbedaan yang ada. Bumi cukup luas untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup dan terutama manusia, tak perlu maruk! Agar bumi tetap stabil dan lestari.
Dengannya, pembangunan berjalan seimbang, tidak melahirkan kesenjangan dan tidak memunculkan kerusakan alam. Karena semua pihak bersepakat, bumi adalah perahu kita bersama. Jangan merusaknya, karena semua penumpang bisa tenggelam. Para ulama, pemerintah dan politisi perlu duduk bareng untuk melahirkan konsep pembangunan berbasis Ketuhanan yang Maha Esa, berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi kelestarian bumi, sehingga kampung warisan nabi Adam ‘alaihissalam bisa lestari.