Lelaki Seks Lelaki (LSL) Penyumbang Terbesar Kasus HIV Baru

Hari ini (1 Desember), dunia memeringati Hari AIDS se-Dunia. Peringatan Hari AIDS se-Dunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit HIV/AIDS. Juga untuk mengingatkan akan pentingnya pencegahan atas virus yang belum ada obatnya itu.

Sebagai sebuah pengingat, tampaknya penting untuk kita cermati laporan yang dipresentasikan oleh dr. Endang Lukitosari dari Tim Kerja HIV PIMS Kemenkes RI beberapa waktu lalu. Pengingat bagi semua pihak untuk kemudian melahirkan langkah-langkah sinergis yang dapat mencegah meluasnya penularan HIV-AIDS, di negara kita khususnya.

Ada beberapa data menarik yang penting kita cermati dari laporan tersebut. Pertama, dalam rentang waktu Januari hingga September 2024, kasus penularan HIV di Indonesia mencapai 35.415 kasus. Sementara angka AIDS mencapai 12.481 kasus. Pertambahan kasus masih sangat dimungkinkan akan terjadi hingga akhir tahun 2024. Presentasi dr. Endang Lukitosari tersebut juga mengungkapkan bahwa angka hingga bulan September 2024 itu hampir setara dengan kasus satu tahun sebelumnya.

Kedua, hal yang cukup mengejutkan, laporan tersebut juga menemukan adanya 6% kasus HIV yang terjadi pada kelompok usia remaja. Kisaran umur 15 – 19 tahun. Enam persen dalam hal ini setara dengan 2.697 kasus.

Ketiga, 19% dari kasus penularan baru terjadi pada kelompok umur 20 – 24 tahun. Di dalam laporan tersebut, kelompok umur ini disebut sebagai kelompok umur dewasa muda.

drg. Carissa Grani: Dunia Medis Mengungkap Mukjizat Shalat bagi Tubuh
Carissa Grani adalah seorang dokter gigi yang memeluk agama Islam sejak 15 Maret 2020. Sebelumnya, ia adalah penganut Katholik. Ia dikenal sejak kisah mualafnya lewat kanal YouTube menjadi viral. Dan kehadirannya sebagai pembicara di Mualaf Festival pun menyedot perhatian.

Keempat, mayoritas kasus baru terjadi pada kelompok umur usia dewasa. Yaitu rentang 25 – 49 tahun. Jumlahnya 63% atau setara dengan 30.000 kasus penularan.

Kelima, berdasarkan jenis kelamin, kasus mayoritas terjadi pada kaum laki-laki. Angkanya mencapai 71% atau 34.159 kasus. Pada kaum perempuan angkanya mencapai 13.737 kasus (29%).

Keenam, berdasarkan kelompok populasi, penyumbang terbesar adalah kelompok populasi Lelaki Seks Lelaki (LSL) yang menyumbang 31%. Dilanjutkan kelompok populasi pasangan ODHIV dan risiko tinggi yang mencapai 10%. Sementara kelompok pelanggan pekerja seks sebesar 6%. Selebihnya dari populasi lain.

Peringatan Bagi Semua Pihak

Dari angka tersebut, setidaknya dapat kita lihat bahwa kasus HIV-AIDS angkanya cenderung naik terus dari tahun ke tahun. Parahnya, dari paparan tersebut di atas jelas terlihat bahwa HIV-AIDS memapar kalangan usia produktif (15 – 49 tahun).

Terus meningkat. Hal ini membunyikan alarm bahwa upaya pencegahan yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya efektif. Mungkin partisipasi dari elemen masyarakat yang lain belum optimal dalam mendukung kampanye pencegahan HIV-AIDS.  Pencegahan HIV-AIDS pun masih dianggap tugas Departemen Kesehatan belaka atau – paling jauh – menjadi tanggung jawab pemerintah.

Mayoritas memapar kelompok usia produktif, bahkan remaja. Hal ini menjadi peringatan penting bagi semua pihak. Jika angkanya terus naik dan memapar kelompok usia produktif dalam jumlah yang besar, ada dua hal buruk yang akan terjadi. Pertama, penularan yang makin cepat, mengingat mobilitas yang tinggi dari kelompok umur produktif. Kedua, terganggunya sektor ekonomi. Sebab, orang dalam HIV (ODHIV) sudah barang tentu akan menjadi tenaga kerja yang semakin terbatas geraknya akibat kesehatan, perawatan, dan risiko penularan.

Abdi Rahmat: “Sumber masalahnya adalah Perilaku Seksual yang Permisif”
Karena sumber masalahnya, yaitu perilaku seksual yang permisif, tidak diatasi. Bahkan ada kecenderungan pembiaran atau memberi ruang bagi penyebaran perilaku seksual tersebut baik di level struktural (termasuk budaya), level institusional, dan di level individual.

Hal lain yang perlu kita cermati adalah populasi sesungguhnya kasus HIV-AIDS di Indonesia. Ada orang yang mungkin telah terpapar namun tidak sadar. Beberapa tahun lalu ada temuan meningkatnya kasus HIV di kalangan Ibu rumah tangga yang diakibatkan tertular oleh suami yang tidak sadar jika dirinya positif HIV. Kita khawatir, angka-angka yang muncul sekadar puncak dari fenomena gunung es.

Fakta lain yang juga cukup dominan dari angka-angka tersebut, populasi Lelaki Seks Lelaki (LSL) yang merupakan istilah untuk menghindari stigma terhadap kelompok LGBT, ternyata menjadi penyumbang terbesar peningkatan jumlah angka HIV-AIDS di Indonesia. Data ini mengungkapkan satu hal, bahwa kelompok LSL juga telah membesar di dalam masyarakat kita.

Hindari Diskriminasi dan Bangun Sinergi

Harus diakui, akibat norma yang berlaku, mereka yang terinveksi HIV-AIDS memang kerap mendapatkan stigma buruk, bahkan diskriminasi. Salah satu tantangan terbesar dalam penanggulangan HIV-AIDS adalah stigma sosial yang melekat pada orang yang terinfeksi.

Peringatan Hari AIDS Sedunia memberikan kesempatan untuk mendorong perubahan persepsi masyarakat dan menekankan bahwa HIV-AIDS bukanlah akhir dari kehidupan. Selain itu, peringatan ini juga menyoroti pentingnya mendukung orang yang hidup dengan HIV agar dapat hidup secara bermartabat dan produktif.

Ingat, yang terpapar HIV bisa saja kalangan Ibu Rumah Tangga yang tidak bersalah. Bahkan anak-anak, janin yang sama sekali tidak tahu menahu kelakuan ayah-ibunya, bisa terpapar HIV-AIDS. Pantaskah mereka mendapat stigma buruk dan diskriminasi?

Dr. Hanip Pujiati (Sekjen PP Wanita Islam): “Jadikan Pencegahan dan Penanganan HIV Program Utama”
PP Wanita Islam akan semakin menekankan program penguatan ketahanan keluarga yang telah menjadi garis perjuangan dan komitmen mereka dalam pembinaan keluarga dan masyarakat.

Apa pun bentuknya, orang sakit perlu ditolong. Bukankah sakit adalah salah satu cara untuk mendapatkan pengampunan?

Kelompok agamawan perlu aktif memberikan pemahaman yang benar tentang penderita HIV-AIDS. Aktif pula untuk mencegah meluasnya HIV-AIDS. Sudah barang tentu, cara kerja kelompok moral (baca: Agamawan) berbeda logika dan cara kerja dengan kalangan medis. Jadi tidak usah saling menyalahkan. Agamawan bicara pencegahan dengan tolak LGBT dan berteriak lantang, “Wala tak rabuzzina”! Sementara kalangan medis bekerja dengan kampanye perilaku seks aman.