Manakah yang Kita Punya?
Sosok yang seharusnya kita kagumi adalah sosok yang terkumpul padanya dua sifat kebaikan saat berinteraksi, berkomunikasi, dan berjamaah, yaitu tegas dalam amar makruf nahi mungkar dan lapang dada atau pemaaf atas kekhilafan orang.
Tengoklah keagungan sifat Rasulullah ﷺ saat bersama para sahabatnya. Kita semua paham betapa cintanya beliau kepada mereka yang beliau ungkapkan di banyak hadits. Belum lagi pujian Allah ﷻ berupa keridhoan-Nya atas mereka dalam ayat-ayat Al Qur’an. Tetapi beliau tak segan menampakkan merah muka pertanda marah atas kesalahan yang berbahaya dan berpotensi kepada penyimpangan.
Betapa Muadz bin Jabal pun ditegur karena terlalu lama membaca surah saat menjadi imam. Juga kemarahan beliau kepada Usamah bin Zaid, padahal dialah pemilik sebutan “hibbu rasulillah”, sahabat tercintanya Rasulullah. Beliau marah tersebab Usamah telah salah saat meminta keringanan hukuman buat wanita pencuri dari suku yang terhormat. Rasulullah marah, dan beliau tampakkan sejujur-jujurnya kemarahan kepada mereka, sahabat-sahabat tercintanya. Tak ada yang beliau tutupi. Tak ada basa-basi sama sekali.
Sebab, cinta tak boleh menghanguskan sikap tegas untuk meluruskan yang bengkok, mengoreksi yang salah, dan menutup pintu-pintu penyimpangan, hanya karena pelakunya adalah orang-orang yang kita cintai. Sebab, cinta itu sejatinya menjaga keutuhan dan merawatnya agar tak rusak dan hancur berantakan.
Kita boleh mencintai siapa pun yang boleh kita cintai. Pasangan kita, saudara kita, kawan kita, tetangga kita, relasi kita, atasan dan bawahan kita. Siapa pun. Tetapi cinta karena Allah butuh bukti. Apakah benar kita mencintai karena Allah, padahal tak mampu bersikap tegas atas kesalahan-kesalahan orang yang kita cintai?
Ketahuilah bahwa ketidakmampuan kita bersikap tegas adalah bukti kita tak sebenar-benarnya mencintai mereka. Sebab, tak mungkin ada cinta tetapi justru terdiam menjerumuskan orang-orang tercintanya kepada penyimpangan.
Lalu tengoklah keagungan Rasulullah ﷺ pada sifat yang kedua, yaitu lapang dada untuk memaafkan kekhilafan sahabatnya. Ada banyak kisah yang jika kita jujur menghayatinya maka kita akan menangis. Alangkah besar kecintaan beliau kepada para sahabatnya meski dahulu sebagian mereka pernah memusuhi dan menzaliminya di masa-masa jahiliyah. Namun, setelah mereka melepaskan baju kejahiliyahan lalu menggantinya dengan baju keimanan, seketika itu pula Rasulullah ﷺ berlapang dada seakan mereka adalah manusia-manusia baru yang sama sekali tak pernah berbuat salah kepada beliau.
Tak pernah sekali pun Rasulullah ﷺ menyebut sebuah nama lalu mengingat dan mengabarkan kepada orang lain bahwa si fulan dulu pernah – misalnya – “ngatain” saya, atau si fulan dulu pernah kurang ajar sama saya, atau si fulan dulu pernah menghina saya, memaki, mencaci, memfitnah, dan lain sebagainya. Tak pernah.
Beliau lapangkan dadanya dan tak pernah mengungkit serta menggunjing lagi kesalahan orang-orang di masa jahiliyah dulu yang kini telah menjadi sahabat-sahabatnya.
Tetapi cobalah jujur tengok keadaan kita. Terkadang hanya salah satu yang kita punya, namun tak memiliki yang lainnya. Kita kadang bisa berlapang dada dan mudah memaafkan tetapi hampir tak pernah bisa bersikap tegas walau pun penyimpangan sudah di depan mata. Atau kita sangat mampu bersikap tegas, namun sayangnya kita banyak kehilangan sifat lapang dada, sehingga sulit untuk memaafkan kekhilafan saudara-saudara kita.
Terlebih, yang paling parah adalah saat kita tak pernah mampu memiliki dua-duanya. Tegas tak bisa, berlapang dada pun tak kuasa.