Mantan PM Penjajah Israel: Netanyahu Terjebak!

Mantan Perdana Menteri penjajah Israel, Ehud Barak, baru-baru ini menyampaikan pandangan dia mengenai dilema besar yang dihadapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam mengelola situasi geopolitik yang semakin kacau. Di dalam pernyataannya, Barak mengungkapkan bahwa Netanyahu kini berada di persimpangan antara dua pilihan sulit yang bisa mengubah jalannya perang dan nasib politiknya. Yaitu, melanjutkan perang untuk kepentingan politik atau menerima kesepakatan untuk membebaskan para sandera dan mengakhiri agresi.

Salah satu pilihan yang ada adalah melanjutkan agresi yang sudah berlangsung dengan tujuan yang bersifat politik. Hal itu dapat memerburuk ketegangan dan memerpanjang masa krisis. Di dalam pandangan Barak, Netanyahu mungkin merasa terikat untuk melanjutkan kebijakan perang ini, baik karena tekanan dari pihak-pihak dalam koalisi pemerintahannya atau untuk memertahankan citra politiknya. Pilihan ini tentunya mengarah pada risiko lebih besar, baik bagi Israel sendiri maupun bagi hubungan internasional mereka.

UNRWA: Lebih dari 50.000 Anak Jadi Korban Serangan Penjajah Israel
Sejak dimulainya agresi militer penjajah Israel pada Oktober 2023, lebih dari 50.000 anak Palestina telah syahid. Data mengerikan itu diungkap UNRWA dan UNICEF pada 2 Juni 2025. Sejak gencatan senjata berakhir 18 Maret 2025, 1.309 anak telah terbunuh dan 3.738 lainnya luka.

Namun, Barak juga mengingatkan bahwa Netanyahu memiliki pilihan lain, yaitu untuk mencari kesepakatan diplomatik yang bisa mengakhiri perang. Sebuah kesepakatan pembebasan para sandera dan langkah-langkah konkret lainnya yang dapat meredakan ketegangan, membuka jalan untuk perdamaian, dan menghentikan kekerasan. Ini tentu akan membutuhkan kemampuan negosiasi yang kuat dan kesiapan untuk mengorbankan beberapa kepentingan politik demi keamanan jangka panjang.

Lebih lanjut, Barak juga menggarisbawahi bahwa Netanyahu harus membuat pilihan sulit di dalam negeri, terutama terkait dengan posisi partai-partai sayap kanan ekstrem dalam pemerintahan Israel. "Netanyahu harus memilih antara mendengarkan para menteri sayap kanan ekstrem yang mendukung kebijakan keras, atau berdiri bersama pihak-pihak yang lebih moderat, seperti Presiden AS, Donald Trump, untuk mengambil langkah-langkah yang lebih pragmatis," jelas Barak.

Di dalam hal ini, menurut Barak, Netanyahu menghadapi tekanan berat dalam mengelola kestabilan politik yang rapuh. Bagi banyak pengamat internasional, situasi itu menggambarkan dilema besar bagi Netanyahu yang tidak hanya menghadapi tekanan dari dalam negeri, tetapi juga harus menghadapi hubungan luar negeri yang semakin sulit, terutama terkait dengan kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Trump yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Israel.

 

(Sumber: Al Jazeera)