Manuver Politik Prabowo: Refleksi Dinamika Transisi Kekuasaan
Ketika lanskap politik Indonesia bersiap memasuki fase baru, dampak kekalahan pasangan Anies Baswedan serta Ganjar Pranowo dalam Pemilihan Presiden 2024 dan menangnya Prabowo Subianto sebagai presiden memberikan materi yang signifikan untuk dianalisis. Kekalahan Anies dan Ganjar serta terpilihnya Prabowo menjadi presiden menimbulkan diskusi mengenai perubahan dinamika kekuasaan. Terutama terkait hubungan antara pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mantan Wali Kota Surakarta sekaligus putra Presiden Joko Widodo yang akan lengser.
Salah satu perspektif yang mencuat dalam diskursus politik adalah bahwa setelah Prabowo sepenuhnya berkuasa, dia mungkin akan secara tegas membatasi pengaruh wakil presidennya, Gibran, dan keluarganya, yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai “Keluarga Raja Jawa”. Pandangan ini didasarkan pada reputasi Prabowo yang dikenal tegas dan persaingan masa lalunya dengan Jokowi.
Diperkirakan bahwa setelah dilantik, Prabowo akan menantang sisa-sisa pengaruh Jokowi, yang secara simbolis digambarkan sebagai “menampar” Gibran — sebuah metafora untuk menegaskan dominasi dan membatasi upaya “lingkaran dalam Jokowi” dalam mempertahankan kekuasaan.
Sentimen ini tidak lepas dari konteks sejarah. Prabowo, seorang mantan jenderal militer serta kandidat presiden pada 2014 dan 2019, telah lama memiliki ambisi untuk mencapai jabatan tertinggi di Indonesia.
Banyak pendukungnya melihat kepresidenan Prabowo sebagai titik balik di mana tatanan politik yang dianggap dikuasai oleh sekutu-sekutu Jokowi mungkin akan direstrukturisasi. “Tamparan” yang diantisipasi tersebut bukan hanya merupakan konfrontasi pribadi tetapi juga pergeseran lebih luas dalam keseimbangan kekuatan politik.
Namun, interpretasi ini juga ditantang oleh para ahli politik yang berpendapat bahwa manuver drastis semacam itu dapat berdampak buruk pada modal politik Prabowo.
Akademisi semisal Vedi R. Hadiz berargumen bahwa meski pun Prabowo mampu bermanuver politik, ia mungkin harus melangkah dengan hati-hati jika ingin mempertahankan dukungan yang luas. Mengeliminasi atau meminggirkan Gibran dan loyalis Jokowi lainnya dapat mengalienasi konstituen penting yang selama ini mendukung keluarga Widodo, termasuk di Jawa Tengah — daerah yang menjadi basis politik strategis.
Selain itu, pandangan akademis tentang gaya kepemimpinan Prabowo mencerminkan kekhawatiran terhadap populisme dan kecenderungan otoritarian. Eve Warburton mengkritik sikap Prabowo sebelumnya, yang menunjukkan campuran retorika populis dan elitisme militer, dengan menyebut bahwa pendekatan Prabowo terhadap kekuasaan, meski pun terukur, bisa mendorong pemerintahan yang lebih terpusat dan terkendali. Hal ini bisa bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia, terutama jika melibatkan pelemahan rival politik dengan cara yang dianggap terlalu keras atau otoriter.
Lebih jauh, tantangan awal yang dihadapi kepresidenan Prabowo, seperti isu terkait penolakan terhadap revisi UU Pilkada, penundaan pemindahan ibu kota, serta peningkatan pengawasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menambah kompleksitas agenda politiknya. Faktor-faktor ini mungkin akan memengaruhi cara Prabowo menavigasi hubungan dengan tokoh-tokoh seperti Gibran. Alih-alih konfrontasi langsung, Prabowo mungkin memilih jalan yang lebih strategis, menyeimbangkan kekuasaan sambil menyelesaikan masalah-masalah mendesak.
Pada akhirnya, tindakan Prabowo dalam beberapa bulan pertama masa kepresidenannya akan menjadi indikator penting dari strategi politiknya. Apakah dia akan memprioritaskan konsolidasi kekuasaan dengan melemahkan pengaruh “Keluarga Raja Jawa”, ataukah dia akan fokus pada reformasi kebijakan dan memerkuat institusi demokrasi?
Jawabannya mungkin terletak pada permainan kekuatan yang halus antara ambisinya dan realitas dalam memimpin negara pluralistik dan kompleks seperti Indonesia.
Sebagai kesimpulan, ekspektasi tentang Prabowo “menampar” Gibran mencerminkan narasi yang lebih luas tentang restrukturisasi politik. Sementara beberapa pengamat memerkirakan konfrontasi langsung, pandangan akademis menyarankan bahwa kepemimpinan Prabowo mungkin membutuhkan pendekatan yang lebih bernuansa untuk memastikan stabilitas jangka panjang dan kesuksesan masa jabatannya.
Hanya waktu yang akan mengungkapkan dinamika kekuasaan yang sesungguhnya dalam drama politik yang sedang berkembang ini.