Masalah di Sistem Zonasi, Kualitas Sekolah Dipersalahkan

Hari-hari ini menjadi hari sibuk sekaligus suka cita untuk para siswa. Hari-hari memasuki sekolah yang baru di jenjang yang lebih tinggi. Dan seperti biasa, mereka pun menjalani tradisi MPLS. MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) adalah kegiatan penyambutan peserta didik baru yang diadakan sekolah di awal tahun ajaran pendidikan.

Selain menyambut peserta didik baru, MPLS juga berisi kegiatan pengenalan bagi siswa baru tentang hal ikhwal sekolah. Semisal lingkungan, aktivitas, hingga sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Sebelumnya, kegiatan tersebut dikenal dengan nama MOS (Masa Orientasi Siswa). Nah, MPLS memang merupakan pengganti istilah MOS, dan diterapkan mulai dari jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga sekolah menengah atas (SMA).

Tetapi, hingga hari pertama masuk sekolah kemarin (17/7), masih terdengar berita tentang masalah proses PPDB. Beritanya masih tentang persoalan di seputar sistem zonasi. Kabar terbaru, di Jawa Barat, Pemprov membatalkan penerimaan ribuan calon siswa karena terbukti mengelabui alamat domisili. Menurut Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, keikutsertaan setidaknya 4.791 siswa dalam PPDB Jabar 2023 dibatalkan, karena adanya temuan kecurangan, semisal pemalsuan data.

Seperti diketahui, tahun ini kembali muncul masalah di seputar PPDB. Seperti tahun sebelumnya, sejumlah orangtua mengeluhkan anaknya tidak diterima di sekolah tempat mereka mendaftar karena tak lolos sistem zonasi PPDB. Mereka pun menduga ada kecurangan, karena anaknya gagal diterima padahal rumah mereka dekat dengan sekolah.

Para orangtua itu antara lain bercerita, saat anak mereka mendaftar, menurut aplikasi sekolah, rumah mereka tercatat berjarak beberapa ratus meter dari sekolah. Tetapi ketika diverifikasi sekolah, jarak itu berubah beberapa ratus meter lebih jauh. Hal itu membuat nama anak mereka terpental dari daftar siswa yang diterima, karena jaraknya tidak masuk dalam lingkaran zonasi di sekolah negeri yang mereka tuju. Namun, menurut mereka, banyak teman anaknya yang diterima di sekolah negeri yang sama, padahal jarak tempat tinggalnya dari sekolah lebih jauh ketimbang mereka.

Banyak terjadi kasus seperti itu. Ujung-ujungnya, Pemerintah Daerah menyebut akan mengevaluasi pendataan penduduk di wilayah mereka. Hal itu antara lain ditegaskan Walikota Bogor, Bima Arya, kemarin. Menurut dia, sesuai hasil evaluasi pelaksanaan PPDB jalur zonasi di Kota Bogor, pembuatan kartu keluarga (KK) bakal diperketat untuk mencegah praktik kecurangan dalam PPDB selanjutnya.

Meniadakan Sekolah Favorit

Sistem zonasi dalam PPDB adalah suatu sistem penentuan wilayah atau zona geografis yang digunakan untuk membatasi area pendaftaran dan penempatan siswa di sekolah-sekolah. Penerapan zonasi dilakukan untuk mempercepat pemerataan di sektor pendidikan. Artinya, dengan pola zonasi, semua anak punya kesempatan yang sama untuk bersekolah di sekolah yang sebelumnya dikenal berkualitas baik. Kata lainnya adalah “menghilangkan sekolah favorit”.

Mulai diterapkan sejak tahun 2017, sistem zonasi merupakan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai kebijakan dari sistem rayonisasi. Jika rayonisasi lebih memperhatikan capaian siswa di bidang akademik, zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah. Siswa yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah akan lebih berhak mendapatkan pendidikan di sekolah tersebut.

Ada sejumlah tujuan penerapan sistem zonasi dalam PPDB. Antara lain, memeratakan akses pendidikan, karena jalur zonasi bisa membuat semua anak memperoleh hak untuk menerima pendidikan dengan jarak yang dekat. Selain itu, sistem zonasi mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, sehingga orangtua lebih mudah memantau perkembangan anak dan kegiatan sekolahnya. Dan membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan, untuk tercapai peningkatan kualitas pendidik. Serta menghapus eksklusivitas dan diskriminasi, karena dengan sistem zonasi tidak ada lagi klasifikasi sekolah favorit dan non favorit.

Kualitas Sekolah Dipersoalkan

Sistem zonasi menjadi urutan prioritas pertama dalam seleksi masuk ke SMP dan SMA berdasarkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018. Sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili dalam radius zona terdekat dari sekolah, dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah peserta didik yang diterima di tahun pelajaran tersebut. Domisili calon peserta didik didasarkan pada alamat pada kartu keluarga yang sudah diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

Radius zona terdekat itu ditetapkan pemerintah daerah setempat berdasarkan jumlah ketersediaan daya tampung sekolah. Jumlahnya dikaitkan dengan ketentuan rombongan belajar dan ketersediaan anak usia sekolah di daerah bersangkutan.

Masalah muncul, karena orangtua masih bersandar pada mindset sekolah favorit yang berkonotasi pada kualitas sekolah tersebut. Hingga hari ini, calon peserta didik dan orangtua mereka masih mengincar sekolah favorit, yang biasanya punya fasilitas pendidikan lengkap dan dikenal karena banyak meraih prestasi. Letak sekolah yang seperti ini biasanya ada di kota. Maka, kualitas sekolah yang tak merata pun kerap dituding memicu munculnya persoalan.

Padahal dalam praktiknya, munculnya sekolah favorit itu ternyata karena sekolah tersebut menerima siswa yang asalnya sudah pintar, karena untuk masuk ke sekolah itu harus melalui tes akademik yang ketat. Jadi, meskipun – misalnya – mereka diajar oleh guru yang tidak berkualitas, mereka tetap pintar karena memang sudah pintar sejak awal. Jadi, bisa dikatakan selama ini yang disebut sekolah favorit adalah sekolah yang kualitas siswanya bagus (best input). Citra tentang sekolah favorit inilah yang ingin ditiadakan dengan penerapan sistem zonasi dalam PPDB.

Jumlah Sekolah Kurang

Ada masalah lain selain karena orangtua masih bersandar pada mindset sekolah favorit yang berkonotasi pada kualitas sekolah tersebut. Yaitu karena keberadaan sekolah negeri di suatu daerah yang masih belum banyak. Di Jakarta atau kota besar lain, barangkali tidak sulit untuk mencari sekolah negeri yang dekat dengan alamat rumah, sehingga sistem zonasi relatif tidak banyak menimbulkan masalah. Tetapi di daerah lain di luar kota, ketersediaan sekolah negeri kadang menjadi persoalan juga.

Kadang, di satu kecamatan yang besar dengan penduduk yang padat ternyata hanya terdapat tiga SMP negeri serta tiga SMU negeri dan sederajat, sedangkan jumlah calon siswanya cukup banyak dan jelas jauh melebihi kuota yang tersedia di sekolah-sekolah tersebut. Akhirnya, mereka berbondong-bondong mencoba mendapat kursi di sekolah negeri yang tersedia sedangkan kuotanya terbatas. Ujung-ujungnya, banyak calon siswa yang harus menelan kekecewaan tidak diterima di sekolah negeri dan harus mendaftar ke sekolah swasta untuk melanjutkan pendidikannya. Untuk sebagian anggota masyarakat, mendaftar ke sekolah swasta memang menghadirkan masalah lagi terkait dengan biaya.

Mudah-mudahan selanjutnya, sistem zonasi akan dibarengi komitmen pemerintah dan penyelenggara pendidikan untuk benar-benar mewujudkan kesetaraan sekolah di semua zona dalam berbagai komponen, terutama pelayanan pendidikan, baik untuk siswa yang tinggal di desa maupun di kota. MIsalnya, membuat standard kondisi sarana dan prasarana sekolah, termasuk jenis dan jumlah buku perpustakaan di semua zona sesuai jenjang sekolah masing-masing. Selain itu, pemerintah juga memenuhi kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan serta meningkatkan kualitasnya di semua zona. Serta memantapkan implementasi kurikulum yang berlaku di sekolah dalam semua zona sehingga tidak ada perbedaan pelaksanaannya. Dan semangat “Merdeka Belajar” bahwa semua anak bisa bersekolah pun dapat benar-benar terrealisasi. Semoga.