Masalah Sosial yang Tersisa pasca WHO Cabut Darurat Covid

World Health Organization (WHO) dalam siaran pers pada Sabtu, 6 Mei 2023, resmi mencabut status darurat Covid-19 (Corona Virus Disease 2019). Direktur Jenderal WHO, Tedros Adanom Ghebreyesus, menyampaikan langsung siaran pers tersebut. Dasar pencabutan status darurat itu antara lain karena semakin menurunnya kasus penularan dan jumlah kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia.

Sebelumnya, selama dua tahun lebih, masyarakat dunia terkungkung dalam berbagai bentuk pembatasan sosial yang diberlakukan negara masing-masing, demi mengontrol dan mencegah penularan yang kian luas. Data terakhir menunjukkan, pandemi global Covid-19 telah merenggut 6,9 juta nyawa manusia di seluruh dunia.

Pencabutan status kedaruratan Covid-19 oleh WHO adalah bentuk keberhasilan penanganan Covid-19 secara medis. Namun, apakah pandemi Covid-19 telah benar-benar berakhir dan mereda? Sebagai kasus kesehatan, jawabannya jelas, Covid-19 telah berakhir dengan langkah organisasi kesehatan dunia tersebut. Tetapi masih jauh dari kata selesai, jika dilihat dari dampak sosial, ekonomi, dan psikologis yang ditimbulkannya.

Penyintas virus Covid-19 rata-rata butuh satu bulan isolasi untuk penyembuhan. Orang yang sembuh dari terinfeksi virus corona pun disinyalir masih akan memiliki masalah kesehatan hingga beberapa bulan berikutnya. Sudah sembuh dan tes antigen menunjukkan hasil negatif, tetapi badan masih terasa lelah dan lemah.

Dan bagaimana mereka yang mengalami “demam” secara sosial, ekonomi, dan psikologis akibat terkena imbas pandemi Covid-19? Luka sosial-ekonomi akibat pandemi bisa berdampak hingga bertahun-tahun lagi. Kapan kira-kira sakit sosial-ekonominya sembuh dan kembali normal? Tentu jawabannya tidak tunggal. Tergantung siapa yang terdampak.

Pastinya, akan butuh waktu yang lebih lama bagi banyak pihak untuk kembali bangkit dari keterpurukan sosial, ekonomi, dan psikologis. Waktu yang jauh lebih panjang ketimbang proses menjadi sehat kembali secara fisik yang dialami oleh para penyintas virus Covid-19.

Jika para penyintas Covid-19 masih kerap lelah, badan terasa tidak bugar hingga beberapa minggu setelah dinyatakan bebas dari Covid-19, korban keterpurukan sosial-ekonomi pun mengalami gejala yang sama. Bahkan dalam waktu yang lebih lama. Kehilangan pekerjaan dan tak punya modal untuk usaha yang dibenturkan dengan kebutuhan sehari-hari yang tak kenal kompromi, kerap menghadirkan rasa lelah untuk menjalani kehidupan.

Seperti terjerembab dalam kubangan yang dalam. Lumpur yang liat dan licin, dinding kubangan yang terasa tinggi, membuat mereka yang terdampak secara sosial-ekonomi mengalami kelelahan yang akut. Syahdan, untuk sekadar menyalakan harapan pun rasa lelah itu begitu kuat menggelayuti angan. Apalagi bagi mereka yang tidak bisa melihat cahaya langit di atas kubangan, kelelahan itu bahkan bercampur kengerian luar biasa. Keletihan yang sangat dan ketakutan yang memerangkap, membuat kematian tak lagi menjadi horor dan menakutkan. Banyak yang justru berpaling dan menjadikan kematian sebagai pilihan.

Jepang, negara yang memang memiliki tradisi bunuh diri sebagai bagian dari kehormatan, dilaporkan kembali mengalami kenaikan angka bunuh diri selama pandemi. Padahal, dalam sepuluh tahun terakhir Jepang dilaporkan telah mampu menekan angka bunuh diri. Namun, tahun 2020 kemarin, angka bunuh diri di Jepang kembali meningkat tajam.

Pada 2020 kepolisian setempat melaporkan kasus bunuh diri di Jepang sebanyak 20.919 kasus. Angka ini melonjak tajam, karena setidaknya ada kenaikan sebesar 750 kasus dibandingkan tahun 2019. Pihak berwenang di Jepang menengarai kenaikan ini sebagai dampak dari pandemi Covid-19 (antaranews.com).

Hal senada juga dilaporkan terjadi di India. Imbas dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi telah meningkatkan angka bunuh diri. Di Indonesia belum ada studi dan riset khusus terkait masalah tersebut. Namun, ada data menarik sebagaimana diungkapkan oleh Plt. Dirjen Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu, dalam acara Peringatan Hari Kesehatan Jiwa se-Dunia, di Indonesia terjadi peningkatan sebesar 6,5 persen angka gangguan mental dan depresi selama pandemi berlangsung.

Bangsa kita memang tidak memiliki budaya bunuh diri layaknya masyarakat Jepang. Namun, depresi dan gangguan jiwa yang akut, menurut para ahli dapat memicu munculnya tindakan bunuh diri.

Butuh Vitamin dan Vaksin Khusus

Pengumuman pencabutan status darurat Covid-19 oleh WHO bukanlah mantera sakti. Begitu diucapkan maka masalah selesai. Masih ada gundukan masalah sosial dan ekonomi yang tak serta merta rata karena pengumuman tersebut. Masih banyak masyarakat yang limbung secara mental, akibat krisis sosial-ekonomi yang mereka alami.

Untuk mempercepat penyembuhan, para penyintas Covid-19 memiliki banyak pilihan untuk segera memulihkan kondisi tubuh yang lemah dan letih. Dunia medis memiliki banyak tawaran berbagai vitamin, suplemen, bahkan herbal dan jamu. Para penyintas tinggal pilih. Jika konsisten menggunakan obat, suplemen atau vitamin, dimungkinkan kualitas stamina tubuh akan meningkat dan kesehatan berangsur normal kembali.

Bahkan untuk memastikan kekebalan dari serangan virus di masa yang akan datang, setelah satu bulan sejak dinyatakan sembuh, para penyintas Covid-19 diperkenankan untuk ikut program vaksinasi. Vaksin yang ditawarkan pun beragam. Diberikan secara gratis.

Lalu bagaimana memberikan terapi kepada mereka yang limbung secara sosial-ekonomi akibat pandemi? Sudah barang tentu tablet multi-vitamin tak akan menyembuhkan mereka dari rasa lelah, putus harapan, dan depresi. Sinovac, Pfizer, Sinopharm, Moderna, dan seabrek jenis vaksin lain yang ada di dunia tidak bakal efektif untuk mengobati mereka dari rasa lelah yang akut dan kehilangan harapan.

Untuk menyembuhkan kelompok ini, boleh menggunakan analogi dari dunia kesehatan dalam penanganan Covid-19. Pertama, situasi ini butuh tenaga terapis layaknya para relawan dan tenaga medis dalam penanganan Covid-19. Lalu siapa terapis dan relawan bagi mereka yang depresi? Mestinya para psikolog, rohaniawan, dan motivator yang akan memberikan terapi kepada mereka.

Masalahnya, biaya mengundang psikolog dan motivator cukup mahal. Langkah yang paling efektif adalah menggerakkan para rohaniawan, ustadz, dan da’i untuk mengagendakan kerawanan sosial-ekonomi yang dialami oleh umat akibat pandemi dalam materi dan kegiatan dakwah mereka. Para da’i dan ustadz harus turun dari mimbar, menyapa mereka yang tidak beruntung ini, dengan dakwah bil hal. Mengajak mereka untuk bisa melihat kembali cahaya dari kubangan hidup yang menjerat. Lalu secara berangsur menarik tangannya untuk keluar dari kubangan.

Kedua, layaknya relawan dan tenaga medis, para ustadz dan dai pun perlu turun ke lapangan dengan membawa tablet vitamin spiritual dan suplemen rohani. Artinya, para ustadz dan da’i harus menyiapkan betul kebutuhan umat yang loyo akibat terpapar masalah sosial-ekonomi sebagai imbas pandemi Covid-19. Memahami secara tepat persoalan dan keinginan mereka adalah di antara cara agar paket vaksin spiritual yang disiapkan benar-benar efektif.

Ketiga, para ustadz dan dai juga harus mengemas paket gerak. Di dalam penanganan Covid-19, ada anjuran untuk berjemur, jalan kaki, dan senam ringan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan imunitas dan daya tahan tubuh. Di dalam terapi rohani, paket gerak ini juga harus diberikan. Misalnya dengan mengajak mereka untuk silaturahmi, sholat berjamaah, hingga anjuran untuk melakukan amalan-amalan sunnah. Tujuannya, agar mereka kembali memiliki harapan dan yakin pada pertolongan Allah SWT. Secara berangsur kelelahan mental dan depresi yang mereka alami insya Allah akan segera sirna dengan melihat cahaya dan ke-Agungan Allah ﷻ.