Mati Mempertahankan Tanah yang Akan Dirampas Adalah Syahid

Suatu ketika gubernur Makkah Anbasah bin Abi Sufyan saudaranya Mu'awiyah yang saat itu khalifah ingin mengalirkan air melewati kebun milik keluarga Amr bin Ash. Maka tanpa permisi Anbasah ingin membakarnya agar aliran air bisa jalan.

Mendengar itu Abdullah bin Amr bin Ash mengumpulkan semua keluarga dan pendukungnya membawa senjata lengkap siap perang mempertahankan tanah mereka.

Lalu Khalid bin Ash datang menasehati Abdullah, entah apa isi nasehatnya karena dalam redaksi hadits Muslim tidak disebutkan.

Tapi yang jelas jawaban Abdullah bin Amr bin Ash adalah, "Tidakkah kau dengar sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
"Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka dia syahid."
Baca Juga : Rempang (Silakan) Disayang, Warga (Jangan) Ditendang karena Bisa Jadi Kubangan

Setelah itu tak ada berita dari Khalid, ada kemungkinan ia sadar bahwa Abdullah yang benar karena memiliki argumen berdasarkan hadits Nabi. Riwayat ringkasnya ada dalam Shahih Muslim, no. 141.

Abdullah membawa senjata mempertahankan hartanya berpedoman pada hadits Nabi. Meski yang mau mengeksekusi waktu itu adalah waliyyul amri syar'i yang menjalankah hukum Allah. Lalu bagaimana kalau waliyyul amrinya bukan yang syar'i dan tidak menjalankan hukum Allah?

Inilah yang dipahami oleh Ibnu Hazm sehingga beliau mengatakan dalam kitab Al-Muhalla (vo. 11 hal. 336),

“Inilah Abdullah bin Amr yang disaksikan oleh para sahabat lainnya ingin memerangi Anbasah bin Abi Sufyan yang merupakan pegawai saudaranya yaitu Mu’awiyah sang Amirul mukminin ketika dia memerintahkan untuk mengambil tanah. Sementara Abdullah bin Amr merasa bukan kewajibannya menyerahkan tanah itu dan Mu’awiyah tidak boleh mengambilnya secara sewenang-wenang. Mu’awiyah tentu punya alasan untuk mengeksekusi tanah itu, tapi Abdullah melihat hal itu tidak dibenarkan, akhirnya dia membawa senjata untuk mempertahankan tanahnya. Ini tidak diingkari oleh para sahabat Nabi yang lain.”

Maka sungguh menyesatkan bila ada segolongan orang yang mengatakan kita harus merelakan harta kita dirampas bila yang merampas itu adalah pemerintah dengan dasar patuh pada waliyyul amri. Paham seperti ini jelas paham yang tidak tepat berdasarkan konteks perintah taat kepada waliyyul amri itu sendiri. Karena telah jelas batasan ketaatan hanyalah pada perintah yang tidak mengandung maksiat. Bila perintah tersebut mengandung maksiat, dan mengambil harta secara zalim adalah maksiat, maka tidak boleh diikuti sebagaimana sabda Rasulullah saw:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib taat (kepada pemimpin) selama tidak diperintahkan dalam hal maksiat. Bila perintah dalam hal maksiat maka tidak ada dengar dan tidak ada taat.” – HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar RA

Ada lagi yang mengatakan bahwa mempertahankan harta itu wajib bila yang merampasnya adalah rakyat biasa, tapi kalau pemerintah maka tidak boleh melawan. Ini jelas sesat dan menyesatkan bertentangan dengan pesan Rasulullah sendiri bila ada petugas pemerintah yang mengambil harta secara zalim.

Baca Juga : Rindu Syahid

Ini tertuang dalam hadits Ummu Salamah RA, yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al Mustadrak (no. 1470), Ath-Thabarani dalam Al Kabir, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (no. 2336) Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 3193), semua bermuara pada Ubaidullah bin Amr, dari Zaid bin Abi Unaisah, dari Al Qasim bin Auf, dari Ali bin Husain yang berkata, Ummu Salamah menceritakan kepada kami:

"Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di rumahnya ada beberapa sahabat beliau sedang berbincang-bincang lalu datanglah seseorang melapor: "Wahai Rasulullah, berapa sih sebenarnya kewajiban zakat kurma? Beliau menjawab, "Sekian dan sekian..." Orang itu berkata, "Si Fulan telah melampaui batas kepada saya, dai mengambil kurma zakat saya sekian dan sekian. Lebih satu sha'." Rasulullah berkata, "Bagaimana kalau disebutkan atas kalian siapa yang akan melampaui batas lebih dari itu?" Maka orang-orang pun gaduh sampai ada seorang dari mereka yang bertanya: "Kalau ada orang yang tidak bisa bertemu Anda berada pada ontanya, ada pada hewan ternak dan pertaniannya lalu dia telah mengeluarkan zakat sebagaimana mestinya tapi ada yang mengambil haknya secara berlebihan, maka apa yang harus dia lakukan sementara dia tidak ada di sini?"

Rasulullah menjawab,

" مَنْ أَدَّى زَكَاةَ مَالِهِ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ يُرِيدُ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ ، وَالدَّارَ الْآخِرَةَ لَمْ يُغَيِّبْ شَيْئًا مِنْ مَالِهِ ، وَأَقَامَ الصَّلَاةَ ، وَأَدَّى الزَّكَاةَ ، فَتَعَدَّى عَلَيْهِ الْحَقُّ ، فَأَخَذَ سِلَاحَهُ فَقَاتَلَ ، فَقُتِلَ فَهُوَ شَهِيدٌ "
"Siapa yang telah mengeluarkan zakat dengan hati yang tulus ingin wajah Allah dan negeri akhirat, tidak menyembunyikan dari hartanya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, lalu dia dizalimi haknya lalu dia mengambil senjata lalu berperang dan ia terbunuh maka dia mati syahid."

Sanad ini hasan karena ada Al-Qasim bin 'Auf, dia rijal Muslim, dan Ibnu Hajar mengatakannya, "Shaduq yughrib".

Bayangkan dalam hal membayar zakat saja yang merupakan kewajiban agama dan kepentingan Islam bila sudah melampaui kewajiban maka boleh dilawan. Apalagi kalau ada pihak yang ingin merampas tanah begitu saja demi kepentingan mereka dan bukan pula kepentingan Islam. Jadi, Rasulullah tidak pernah memerintahkan taatlah dan jangan melawan kalau hartamu diambil secara zalim. Justru sebaliknya kalau kau melawan maka kau syahid.