MBG dalam Jebakan Right Of Food: Prioritas yang Diabaikan dan Komitmen yang Ditagih
Mengulas kembali apa yang telah dievaluasi Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, tentang roda perekonomian yang sudah melemah bahkan hampir ambruk sebelum kepemimpinan Prabowo Subianto, selayaknya program-program pemerintah saat ini adalah program yang bersifat melicinkan roda yang telah sekian lama terganjal oleh tumpukan korupsi, utang, dan pelanggaran hukum. Bukan oleh program yang terdengar bombastis tetapi belum dibutuhkan rakyat.
Warisan berupa kebobrokan di hampir segala bidang tentu menjadi hal yang tidak mudah bagi Prabowo dan kabinetnya. Tetapi justru hal ini bisa menjadi modal kejujuran pemerintah kepada masyarakat untuk membangun narasi bahwa di hari-hari berat ini kita akan melangkah perlahan, sedikit bertahan, dan akan menjadi pemenang. Kejujuran mungkin sedikit menyakitkan dan menjadi pil pahit. Tetapi terombang-ambing dalam perahu yang tak jelas akan berlayar ke mana tentu akan lebih menyakitkan.
MBG (Makan Bergizi Gratis) yang digagas Prabowo dan digadang-gadang menjadi program unggulan tentu saja hal yang baik. Sebelum adanya riset tentang pengaruh MBG pada anak-anak dan bahwa ini adalah bagian dari Right Of Food yang diakui dunia internasional, Islam dan agama lain pun setuju bahwa memberikan makan kepada orang lain adalah bentuk kasih sayang dan tindakan terpuji. Umar bin Khattab pernah memberikan contoh bagaimana ia memanggul sendiri gandum untuk sang ibu penanak batu.
Right Of Food adalah hak atas pangan. Adalah hak asasi manusia universal yang menjamin setiap orang memiliki akses terhadap makanan yang cukup, aman, dan bergizi. Hak ini tak hanya berarti tidak kelaparan, tetapi juga mencakup standar hidup yang memadai dan kebebasan dari diskriminasi, serta menuntut pemerintah dan organisasi agar memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak ini.
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan, right of food bukan berarti warga harus menerima makanan siap santap. Konsep ini lebih menekankan pada mudahnya akses terhadap makanan. Akses makanan bisa dengan banyak cara. Bisa dengan membeli, artinya masyarakat harus memiliki daya beli yang kuat. Bisa dengan memroduksi makanan sendiri, misalnya dengan menanam, artinya masyarakat harus diberi ruang untuk membeli pupuk murah juga pasar yang membeli kembali panenan secara layak sehingga dapat ditukar dengan makanan lainnya. Bagi petani, pasar yang layak ini bisa jadi pemerintah atau koperasi. Bukan tengkulak, yang justru sering merugikan. Hubungan ini sering kali menciptakan ketergantungan petani terhadap tengkulak. Karena ketergantungan modal, petani terkadang terpaksa menerima harga yang ditentukan oleh tengkulak, yang dapat memerkuat siklus kemiskinan karena harga jual yang tidak seimbang. Hal ini yang belum mendapat perhatian serius pemerintah.
Right of food memang bisa berbentuk makanan siap saji. Tetapi untuk negara yang mengalami masalah ekonomi seperti kita, right of food bisa kita siasati dengan menghidupkan dan menguatkan kembali sektor riil yang meliputi sektor pertanian, manufaktur, perdagangan, konstruksi, dan jasa. Inilah yang akan menguatkan roda ekonomi kita yang sektor riilnya tercekik di pemerintahan sebelumnya.
Di awal pemerintahan, Prabowo mencanangkan efisiensi anggaran negara. Hal ini tentu cukup membanggakan dan diharapkan pengaturan ini akan berdampak pada perekonomian rakyat. Tetapi sepertinya belum begitu menampakkan pengaruh signifikan, karena sepertinya efisiensi belum menjadi tradisi kita. Lalu dengan gagah, tampillah Menteri Keuangan, Purbaya, yang menurut publik bergaya "'koboi" dan akan segera "mengoprek" dana-dana milik pemerintah di pojok-pojok "gudang negara" yang tak tersentuh audit. Ia juga mengatakan bahwa serapan dana yang dikeluarkan oleh negara akan segera diperiksa, termasuk program MBG. Sebab, sudah seharusnya audit pengeluaran negara dilakukan, sehingga ada transparansi dan evaluasi berkelanjutan.
Kembali kepada program MBG. Jika pemerintah tetap masih ingin meneruskan program MBG yang saat ini menuai banyak masalah, baik dari serapan dana, dapur yang belum bersertifikasi, dan keracunan makanan di berbagai wilayah, maka menurut hemat penulis, hal ini harus dilakukan secara bertahap. Sebab, yang membutuhkan suntikan makanan bukan hanya anak sekolah, tetapi kita juga masih punya PR angka stunting yang belum merata turun.
Tahapan pemberian MBG bisa jadi dengan memberikan apa yang paling sulit dijangkau masyarakat saat ini. Misalnya lauk, buah, dan susu. Kalau pun nantinya usulan dari beberapa pihak agar MBG dikelola dapur sekolah terlaksana, maka mengolah lauk saja akan lebih mudah. Jika belum bisa mencapai target ideal, maka yang bertahap bisa jadi doa untuk tercapainya cita-cita kita untuk memberikan MBG yang lengkap dan berkualitas seperti di negara lainnya. Program seharusnya disesuaikan dengan keseimbangan seluruh aspek pembangunan dan skala prioritas.
Banyak masalah yang memerlukan perhatian pemerintah. Mengutamakan konsep bertahap dan memaknai skala prioritas secara terintegrasi harus diupayakan. Agar pembangunan tidak terus mengalami tambal sulam dan mubazir berkelanjutan. Negara tidak boleh dijalankan hanya dengan tujuan baik saja, tetapi dengan tujuan baik yang tidak menzalimi tujuan baik lainnya.
Komitmen pemerintah untuk mewujudkan right of food yang ideal pasti akan terus ditagih oleh rakyat. Tetapi memberikan narasi yang benar dan upaya yang tak pernah berhenti akan menjadi sumber energi masyarakat menghalau trust issue dan malah akan berbalik mendampingi seluruh ikhtiar pemerintah dengan doa-doa yang tak berhenti. Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah berkata, "Jadilah di dunia ini seperti lebah; jika dia makan maka dia makan makanan yang baik; jika dia memberi makan maka dia juga memberikan makanan yang baik pula dan jika dia hinggap pada suatu benda maka dia tidak merusaknya dan tidak pula mengoyaknya".