Melihat Kekuasaan dengan Teropong Politik
Hubungan masyarakat dengan politik sangatlah dekat. Tidak dapat dipisahkan. Sebab, masyarakat adalah kelompok orang yang membentuk sistem, baik tertutup atau terbuka, dimana individu-individu yang ada dalam kelompok itu saling berinteraksi. Sedangkan politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan di dalam masyarakat, yang antara lain berwujud proses pembentukan keputusan, khususnya yang menjadi wilayahnya (otoritasnya).
Masyarakat akan selalu menggunakan politik sebagai suatu kendaraan menuju tujuan yang mereka inginkan. Baik dalam hal yang berkaitan langsung dengan pemerintahan maupun hanya sebatas dalam lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Sehingga, masyarakat perlu diberi pendidikan tentang dasar politik, agar mereka dapat berpolitik dengan tepat, benar dan baik, karena yang tepat belum tentu benar dan yang benar belum tentu baik. Pendidikan politik itu perlu, sehingga dapat memberikan dampak yang positif bagi pemerintahan maupun lingkungan sosial tempat masyarakat itu beraktivitas kepolitikan.
Politik dibutuhkan masyarakat untuk menerbitkan dan mengondusifkan mereka agar tidak bertindak anarkis. Lewat proses politik, dibentuklah kelompok masyarakat yang selanjutnya mengatur dan mengelola tata kelola kehidupan masyarakat, sehingga tidak lantas bertindak anarkis. Sebab, menurut Thomas, manusia memiliki sifat yang egois, yaitu menggunakan semua cara untuk mendapatkan kepentingan perut mereka masing-masing atau pribadi. Maka, politik sangat dibutuhkan untuk memanajemenkan banyak manusia yang egois itu. Tetapi, yang terjadi sekarang ini adalah, sejumlah masyarakat telah menstigmakan politik itu dengan label negatif.
Istilah “kekuasaan” telah lama digunakan di kalangan para pakar politik. Karena kekuasaan tidak hanya kita jumpai dalam suatu negara saja, tetapi juga di kalangan sosial masyarakat itu sendiri. Kata “kekuasaan” berasal dari kata dasar “kuasa”. Di dalam kamus, “kuasa” berarti (untuk mengurus, memerintah, dsb), kemampuan, kesanggupan, kekuatan (Poerwardarminta, 1983: 529).
Sedangkan makna “kuasa” sendiri ada beberapa. Pertama, kesanggupan atau kemampuan (untuk berbuat sesuatu). Kedua, kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb); sesuatu. Ketiga, orang diberi kewenangan untuk mengurus (mewakili,dsb). Keempat, mampu, sanggup, kuat. Kelima, pengaruh (gengsi, kesetiaan dsb, yang ada pada seseorang jabatannya (martabatnya). (Poerwarminta, 1983: 468).
Sehingga, masyarakat itu sudah mempunyai suatu kewajiban. Untuk apa? Untuk melihat yang mana pemimpin yang tepat, benar, dan baik. Supaya apa? Supaya mampu menjadi apa yang diharapkan oleh masyarakat itu sendiri. Yaitu agar pemimpin mereka nantinya mampu memperbaiki tatanan-tananan kehidupan sosial masyarakat yang banyak menyimpang dikarenakan aktivitas oknum-oknum politik yang tidak bertanggung jawab.
Masyarakat harus paham dengan politik? Ya. Agar politik bukan hanya sekadar mencari keuntungan di dalam kursi-kursi kebesaran dan jubah-jubah kebesaran politik, yang nantinya memperbudak mereka sendiri.
Sebagai umat insani yang dibekali potensi berpikir, insani yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk, kita kerap kali bertemu dengan dinamika-dinamika yang menampilkan oknum-oknum politik yang melakukan degladasi terhadap ekonomi yang sering terjadi secara faktual. Ini bukan lagi menjadi rahasia umum, tetapi sudah menjadi perbincangan publik yang meluas di seluruh penjuru indonesia.
Tabiat yang seperti itu tidak mencerminkan sosok pemimpin yang diharapkan masyarakat. Sebab, mereka menggunakan jabatan yang menjadi kedudukannya hanya untuk mengupas hasil dari jabatannya tanpa melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga menyalahgunakan kedudukan atau jabatannya.
Menurut saya, masyarakat harus berkomunikasi dengan baik. Itu sangat membantu kita untuk saling memahami satu sama lain dalam masyarakat, yang tentunya menghindari kesalahpahaman dan pastinya akan saling memberikan rasa nyaman antar sesama sosial masyarakat. Sesama manusia sosial yang bermasyarakat kita harus mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi politik yang baik terhadap pemimpin karena akan dapat membangun relasi-relasi politik yang baik. Untuk itu, masyarakat juga harus berkolaborasi untuk menjaga dan melihat kinerja dari pemimpin-pemimpin kita ke depan. Kini sudah tidak lagi menjadi rahasia umum, ketika masyarakat yang dahulu selalu bersama dan ikut serta untuk menyukseskan para politisi, mereka sering mendapatkan apa yang tidak diharapkan. Atau “ekspektasi tidak sesuai realita”.
Kepemimpinan yang melayani dimulai dari diri sendiri, dalam diri sendiri. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati. Dan perubahan karakter kepemimpinan sejati dimulai dari dalam diri, kemudian beranjak ke luar diri untuk melayani mereka yang dipimpinnya (al-imamu khodimul ummah).
Tetapi, seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata. Ia juga harus memiliki serangkaian metode kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif mengembangkan dan menjalankan tugasnya.
Jangan lupa, hakikat pemimpin dalam pandangan islam adalah sebagai khodimul ummah atau pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya. Berpijak pada filosofi tersebut, sesungguhnya sebuah kekuasaan dalam wujud apa pun merupakan titipan, amanah dari ALLAH SWT, yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya. Demikian moralitas dan etika dalam pelaksanaan sebuah amanah kekuasaan, yaitu haruslah menjadi pondasi yang kokoh, agar tidak terjerumus pada penyalahgunaan wewenang. (Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel, “Kepemimpinan yang melayani”, http://www.sinarharapan.co.id, 2022)