Sambut Ramadhan: Memaksa Allah Minta Didahulukan?
Penulis: Mochamad Ade Maulidin
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah,” demikian ucapan Ki Hajar Dewantara tentang pembelajaran di manapun kita berada. Itulah cikal bakal istilah baru dalam bahasa sehari-hari, yaitu “Sekolah kehidupan”. Sebab, banyak sisi kehidupan kita yang penuh dengan pelajaran. Everywhere we learn.
Contoh yang cukup menarik saya dapatkan ketika berburu sarapan pagi. Pilihan jatuh kepada nasi uduk Si Mbak, langgananku. Saya tancap gas dengan sepeda motor. Sesampai di tempat, sudah ada tiga pembeli yang sedang dilayani.
Saya memesan. "Mbak, dibungkus dua ya."
Ia menoleh sebentar lalu mengangguk. Pesan saya sudah masuk di otaknya. Si Mbak adalah salah satu pedagang nasi uduk yang punya memori di atas rata-rata. Ia bisa ingat siapa yang datang lebih dulu dan siapa yang datang belakangan. Dia akan melayani yang datang lebih dulu. Bahkan ia hapal seperti apa porsi untuk tiap-tiap pelanggannya. Tanpa perlu berkata dengan rinci, dia sudah otomatis menyiapkan untuk saya nasi uduk dengan sambal kacang, dilengkapi tempe goreng.
Tak lama berselang, satu demi satu pembeli lain datang. Mayoritas emak-emak. Mereka langsung mengerubung, mengelilingi meja, dan saling bersahutan menyebutkan pesanan.
Tak perlu heran melihat suasana ramai seperti itu. Sebab, nasi uduk ini memang laris. Saya hanya heran dengan emak-emak tersebut, mengapa harus saling memaksa ingin dilayani lebih dulu? Apa mereka takut kehabisan? Dagangan yang dijajakan di meja itu masih banyak. Kenapa ingin lebih didahulukan? Sedangkan Si Mbak tetap konsisten melayani pembeli sesuai urutan kedatangan.
Jika kita datang belakangan tetapi ingin dilayani duluan, itu artinya kita sudah mengambil hak orang lain yang datang lebih awal. Apalah artinya sebungkus nasi uduk jika didapat dengan merampas hak urutan orang lain?
Benar saja. Meski menunggu dari atas motor dengan posisi jauh dari meja, saya tetap dipanggil oleh si Mbak sesuai urutan, karena pesanan saya sudah siap. Tak perlu berebut, tak usah takut kehabisan. Percayakan saja kepada Si Mbak, karena dia telah mengingatnya dengan baik.
Itulah yang disebut Sekolah Kehidupan. Dari fenomena Nasi Uduk, kita belajar simulasi, betapa rezeki pasti datang jika sudah waktunya. Allah sudah mengatur semua manusia dengan sangat tepat, siapa yang diberi lebih dulu dan siapa yang berikutnya. Mengapa harus memaksa Allah, ingin didahukukan? Apalagi sampai mengambil hak orang lain demi mendapat lebih banyak. Apakah takut kehabisan? Tidakkah kita melihat betapa kekayaan Allah teramat luasnya, meliputi langit dan bumi?
Apalah artinya suatu keuntungan dunia, jika didapat dengan merampas hak saudara kita sendiri. Mengapa pula harus rendah diri, melihat orang lain diberi rezeki lebih banyak daripada kita? Sebenarnya bukan soal banyak atau sedikit, melainkan rezeki sudah ditakar, porsi seperti apa yang pas untuk tiap-tiap mahluk-Nya.
Saya benar-benar bersyukur memilih sarapan yang tepat pagi ini. Sebab, saya dapat menyantap nasi uduk yang lezat dan meraih pelajaran yang padat. Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.
Demikian banyak perumpamaan-perumpamaan tentang kehidupan ini. Semoga menjelang Bulan Suci Ramadhan 1444 H kita diberi kekuatan untuk melaksanakan semua aktifitas dengan sempurna. Wallahu A'lam Bish Showab.