Memberi Poin Plus pada Gaya Kepemimpinan Muzakir Manaf

Air mata pria yang sehari-hari terlihat garang itu runtuh juga, meski seperti biasa ia tampil tenang di sesi awal wawancara. Ya, Muzakir Manaf menangis di tengah wawancaranya dengan Najwa Shihab. Publik tanah air pun tersentak.

Citra Mualem - begitu rakyat Aceh memanggil sang Gubernur - sudah kadung dipahami masyarakat Indonesia sebagai sosok yang tegar. Betapa tidak, ia adalah legenda hidup di masa Aceh menjadi ajang konflik dan berstatus sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Namanya telah lama dikenal elite militer dan petinggi negeri di Jakarta. Secara berbisik, rakyat Aceh pun mengelukan namanya saat ia masih bergerilya.

Melihat wajah, kedalaman tatap mata Mualem, dan gesturnya yang kalem laksana gerak harimau lapar, siapa pun paham, laki-laki jenis ini tak akan berkedip mata menghadapi moncong senjata sekali pun. Tiba-tiba ia menangis!

Khalayak tahu belaka, ia bukan sedang meratapi dirinya. Tangis itu jatuh untuk Aceh, tanah yang sudah terlalu sering belajar bertahan dari luka. Tanah dan rakyat yang bahkan Mualem sendiri telah lama mengimpikan kesejahteraannya, di malam-malam panjang yang ia lalui selama bergerilya di hutan Aceh.

Saat tanggung jawab kesejahteraan bumi dan rakyat Aceh ada di pundaknya, bencana itu datang. Elegi kematian seperti berdendang lebih nyaring, di tanah kelahirannya. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat kehancuran, nestapa, dan jerit anak-anak yang kehilangan ayah-bundanya. Tangisnya itu untuk luka yang nyaris tak mungkin ia balut dan pulihkan lagi, meski ia telah memimpin tanah Aceh.

Gubernur Aceh: Tidak Ada yang Bisa Menolong Kita Selain Rahmat Allah
BNPB mencatat, sampai 8 Desember 2025, 904.100 warga Aceh masih mengungsi akibat banjir dan longsor. Sebanyak 389 orang meninggal dunia. Ribuan lainnya terluka. Selain itu, ribuan rumah hancur, desa-desa rusak, fasilitas umum lumpuh, dan jalur penghubung antar desa terputus.

Kepemimpinan Otentik

Air mata Mualem adalah keberpihakan, rasa tanggung jawab dan cinta kepada rakyatnya. Sekaligus mengabarkan kepada kita tentang kapasitas dan gaya kepemimpinannya! Bangsa ini perlu memberi poin sekaligus belajar dari kepemimpinan Mualem. Apa yang bisa kita lihat dari kepemimpinan Mualem?

Pertama, kita perlu belajar kembali tentang kepemimpinan yang otentik. Di era digital yang ditandai dengan menjamurnya media sosial, panggung politik dan kepemimpinan telah berubah drastis. Muncul satu fenomena baru yang patut dicermati: politisi influencer. Mereka bukan hanya aktor politik, melainkan juga selebritas digital yang lihai memanfaatkan basis pengikut (followers) untuk membangun elektabilitas.

Kapasitas kepemimpinan para influencer ini terkadang tidak sebesar jumlah followers-nya. Pemimpin jenis ini kerap tidak bisa membedakan mana rakyat dan mana followers. Mereka lihai menyenangkan followers sehingga followers loyal kepadanya. Mereka tak paham rakyat; dan celakanya, aspirasi follow​ers ia nilai sebagai aspirasi rakyat!

Perilaku politisi-pemimpin influencer terlihat jelas. Jago ngonten, ke mana pun bawa kamera dan crew. Aktif di media sosial dan selalu up date status.

Mualem atau Muzakir Manaf bukanlah tipe politisi atau pemimpin yang seperti ini. Ia adalah pemimpin yang otentik. Kepemimpinan yang didasarkan pada keaslian, integritas, kesadaran diri, dan transparansi. Pemimpin yang jujur kepada nilai-nilai yang ia anut dan perjuangkan. Bukan kepemimpinan yang dipoles oleh sejuta langkah pencitraan, tipu-tipu, flexing, dan membangun fanatisme followers (influencer dikritik, followers bertindak!).

Kepemimpinan Berparadigma Tauhid
Sehingga, kadar kepemimpinannya hanya efektif dengan dukungan aturan, paksaan, dan tentu saja legitimasi hukum berupa Surat Keputusan (SK). Ia bisa memerintah, tetapi tidak menggerakkan.

Kepemimpinan otentik adalah barang langka di belantara pencitraan. Lihatlah bedanya. Betapa Najwa Shihab memberi kesaksian bagaimana sibuknya Muzakir Manaf berkunjung menyapa rakyat Aceh, tetapi foto-foto ikoniknya tak pernah muncul di media sosial.

Berbeda dengan pemimpin dan politisi dari Jakarta yang jauh-jauh datang ke Aceh, mereka lebih sadar kamera dan citra! Lihatlah foto tokoh memanggul beras yang begitu ikonik tetapi mengundang cemooh. Lihatlah, pemimpin sebuah provinsi di Jawa yang videonya viral menawar cabai dan membantu rakyat Aceh. Luar biasa!

Pemimpin otentik tak pernah menjadikan bencana sebagai “lapak” popularitas dan elektabilitas. Pemimpin otentik hanya menjadikan kepemimpinannya sebagai ladang pelayan kepada masyarakat dan penghambaan kepada Allah yang Maha Kuasa.

Kedua, kita juga melihat ketenangan dalam memimpin. Sisi lain yang amat lekat dari kepemimpinan sosok Mualem adalah ketenangan. Ia berbeda dengan Surya Paloh yang meledak-ledak. Di mana-mana Mualem tampil kalem, bicara seperlunya tetapi tindakannya berkelas.

Masih ingat sengketa empat pulau antara Aceh dengan Sumatera Utara, yang dipantik oleh Bobby Nasution? Di tengah dinamika politik nasional dan sorotan media, banyak pihak menunggu respons keras dari Muzakir Manaf, bahkan berharap retorika emosional yang membakar sentimen kedaerahan.

Islam, Cinta, dan Nasionalisme: Telaah Pemikiran Buya Hamka
Nasionalisme dan cinta tanah air adalah ciri khas para pahlawan Indonesia. Itu pula yang ada pada sosok Hamka. Pemikiran Hamka tentang nasionalisme sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Sebab, Islam adalah fondasi utama membangun bangsa dan negara.

Namun itu tidak terjadi. Alih-alih meladeni eskalasi wacana, ia memilih jalur administratif, historis, dan konstitusional. Tidak ada kata-kata provokatif. Tidak ada simbol perlawanan yang berlebihan. Yang ada justru ketegasan yang dingin: Aceh akan memperjuangkan haknya, tetapi dengan kepala dingin dan pijakan hukum.

Sikap ini kontras dengan kultur politik hari ini yang gemar memperkeruh suasana demi popularitas. Di dalam konteks inilah kematangan kepemimpinan Muzakir Manaf menjadi menonjol. Ia paham benar bahwa konflik wilayah bukan sekadar soal peta, melainkan soal stabilitas sosial, martabat daerah, dan masa depan hubungan antar daerah.

Ketenangan adalah level tertinggi dari kepemimpinan. Ia sadar, apa pun keputusan yang ia ambil akan berkonsekuensi luas. Itulah pentingnya “jiwa yang tenang”. Pemimpin yang telah sampai level tenang umumnya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang memiliki kemaslahatan luas.

Ketiga, kepemimpinan otentik tidak pernah instan. Politisi di era sekarang ini kerap muncul ujug-ujug di panggung politik. Tak punya rekam jejak kepemimpinan yang jelas, tetapi pintar “Pansos”. Punya duit banyak, bisa bayar influencer, atau merupakan titipan orang tua yang kebetulan sudah lama jadi pejabat dan ingin mewariskan karir politik serta kepemimpinannya kepada sang anak.

Abikoesno Tjokrosoejoso, Perumus Konstitusi yang Namanya Jarang Disebut
Abikoesno Tjokrosoejoso adalah satu dari anggota tim sembilan perumus naskah Piagam Jakarta (kemudian menjadi teks Pembukaan UUD 1945). Ia juga salah satu perumus konstitusi pertama Republik Indonesia. Namun, tak banyak yang kenal sosok arsitek pejuang ini.

Muzakir Manaf bukan model seperti itu. Kematangannya ditempa oleh pengalaman yang panjang. Pendidikan Muzakir memang tidak tinggi, tetapi reputasinya sebagai Panglima Komando Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) patutlah dihitung sebagai tempaan yang mematangkan. Apalagi, sebelum turun ke lapangan Muzakir Manaf juga sempat mendapatkan pendidikan militer yang spesial. Ia ditempa di Libya, sebuah negara yang ketika itu terkenal kekuatan militernya di bawah kepemimpinan Moamar Khadafi. Ia berkumpul dengan banyak pasukan khsusus dari berbagai gerakan sparatis yang ada di dunia ini, sehingga jaringan internasionalnya pun luas.

Pengalaman politiknya juga nggak kaleng-kaleng. Sebagai pemegang komando tertinggi GAM, Mualem pastilah piawai dalam berpolitik. Mendirikan Partai Aceh pada tahun 2007, adalah langkah politiknya yang strategis. Langkah ini pula yang mengantarkan Mualem pada kursi Gubernur di Aceh.

Keempat, gaya kepemimpinan Mualem patut menjadi referensi penting bagi rakyat Indonesia. Kita tahu rakyat Indonesia gemar terpukau penampilan dan mudah tertipu pencitraan. Maka, kehadiran gaya kepemimpinan Mualem patut diberi poin plus dan dicermati.

Musibah Aceh adalah panggung besar yang bisa digunakan untuk mengukur otentisitas kepemimpinan. Banyak pemimpin yang berkunjung ke Aceh, dari pemimpin partai hingga menteri-menteri, namun lihatlah mana yang sedang bekerja untuk rakyat, dan mana yang narsis. Coba ingat-ingat, berapa kali kita salah memilih pemimpin nasional?