Membina Akhlak, Membangun Bangsa
Setelah menaklukkan kota Syam, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah segera menawarkan pilihan kepada penduduknya yang kebanyakan beragama Nasrani, “memeluk Islam atau membayar jizyah (pajak)”. Ada yang memilih masuk Islam, banyak pula yang bertahan dan memilih membayar jizyah. Mereka yang membayar jizyah meminta syarat dijaga dan dilindungi dari penguasa Katolik Roma, yang selama ini memperlakukan mereka dengan semena-mena disebabkan perbedaan aliran, meskipun sama-sama Nasrani. Abu Ubaidah menerima.
Waktu berlalu. Kehidupan berjalan seperti biasanya. Hingga suatu hari terbetik berita, Raja Heraklius tengah menyiapkan tentara dalam jumlah besar untuk mengambil kembali wilayah Syam dari tangan kaum Muslimin. Setelah berita itu benar adanya, segera Abu Ubaidah mengumpulkan penduduk Syam.
"Sesungguhnya kalian mensyaratkan kami untuk menjaga kalian, ketika kalian membayar jizyah. Kini, kalian telah mendengar, pasukan Romawi hendak menyerbu kami. Untuk itu, jizyah kalian kami kembalikan. Karena, kami tidak dapat menjamin apakah masih bisa melindungi kalian atau tidak. Kalau memang nanti Allah memberi kami kemenangan, kami akan menjaga kalian lagi," katanya di depan penduduk Syam.
Penduduk Syam heran bercampur bingung. Heran melihat akhlak kaum muslimin yang amanah. Dan bingung, bagaimana kalau pasukan Romawi benar-benar menduduki Syam. Usai pertemuan, orang-orang Nasrani itu tidak mau menerima pengembalian jizyah. Bahkan kemudian tetap membayarnya dengan hati yang lapang dan ridha.
“Wahai kaum Muslimin, kalian tidak seagama dengan kami, tetapi kalian lebih sayang kepada kami daripada mereka yang satu agama dengan kami," ucap mereka dengan tulus. Dan, sejak itu banyak dari mereka yang masuk Islam.
Akhlak Bingkai Utama
Kisah Abu Ubaidah di atas hanyalah sekelumit bukti bahwa Islam adalah sistem hidup yang paling baik bagi keberlangsungan hidup manusia. Keutamaan itu terletak – salah satunya – pada prinsip Islam yang menggabungkan antara aqidah dengan akhlaqul karimah. Segala aspek ideologis, dalam Islam, harus dibingkai dengan moralitas yang bersih dan bertanggung jawab.
Pendekatan seperti inilah yang dilakukan oleh para Rasul. Termasuk Rasul kita, Muhammad saw, ketika membangun kehidupan kaumnya. Muara dari seruan para Nabi adalah menyuruh kaumnya hanya mengabdi kepada Allah.
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan tidaklah aku utus setiap Rasul kecuali mereka menyeru kaumnya untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan dengan apapun. Jauhilah Thaghut....’" – QS. An Nahl: 36.
Pijakan utama upaya perbaikan itu kemudian dibingkai dengan akhlak sebagai perisai yang kokoh. Nabi Nuh misalnya, mengajak kaumnya untuk menyembah Allah dan meninggalkan patung-patung Yaghuts, Ya'uqa dan Nasra. Kemudian mereka diajak membangun moralitas yang mulia, mensyukuri karunia Allah yang berlimpah seperti hujan deras yang menyegarkan, sungai-sungai mengalir tanpa hambatan, kebun-kebun yang asri menawan.
Baca Juga : Itsar
Nabi Luth, yang tugasnya amat berat, di samping membawa ajaran tauhid, ia juga dihadapkan pada kerja keras membenahi perilaku kaumnya yang rusak. Bahkan belum dikenal sebelumnya oleh umat terdahulu.
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya), (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya, ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun di dunia ini sebelum kamu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan syahwatmu, bukan kepada perempuan, kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.’" – QS. Al A'raf: 80-81.
Nabi Syu'aib, diutus kepada kaumnya yang terbiasa berlaku curang dalam perdagangan. Mereka sering merugikan pihak lain dan membuat kerusakan di muka Bumi.
"Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia’…" – QS. Hud: 84.
Setelah menyeru kepada tauhid, Nabi Syu'aib beralih ke soal akhlak yang selama ini berkembang di masyarakatnya.
"Wahai kaumku! Cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu melakukan kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." – QS. Hud: 85.
Adapun Rasulullah saw sendiri menerima wahyu pertama kali berkenaan dengan perintah mengenal Allah dan pelurusan akhlak manusia.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sungguh, hanya kepada Tuhan-mulah tempat kembali(mu)” – QS. Al-Alaq: 1-8.
Umat-umat itu harus memilih, antara binasa atau diteguhkan Allah SWT. Dan, sejarah kemudian mencatat, misalnya, kaum Nabi Nuh ditenggelamkan oleh banjir bandang. Kaum Nabi Luth ditimpa hujan batu.
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari semua itu. Pertama, setiap Rasul mengajak kaumnya untuk membangun tatanan hidup yang berakidah dan berakhlak. Dan, ketika mereka enggan, Allah tidak segan membinasakan mereka. Sebab, apa gunanya masyarakat tanpa akidah? Apa manfaat manusia tanpa bimbingan akhlak?
"Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain." – QS Al An'am: 6.
Kedua, ajaran Islam yang dibawa Rasulullah, sebagaimana juga ajaran para Rasul sebelumnya, jika diterapkan dengan benar akan membawa kedamaian bagi alam semesta. Karenanya, orang-orang yang khawatir terhadap tegaknya Islam, sebenarnya tidak memiliki bukti apa-apa, kecuali kekhawatiran itu sendiri. Bahkan, melalui pengkajian nilai Islam dan sejarah penerapannya, kekhawatiran itu tidak bisa dibuktikan.
Kini, kaum muslimin dituntut menjadi simbolisasi nilai Islam secara adil dan bertanggung jawab. Sementara kaum non muslim ditantang untuk obyektif dan memberi kesempatan kepada kaum muslimin agar membuktikan kebenaran Islam, sebagai agama yang bisa mengatur bangsa dan negara dengan benar. Siapkah kita?
Disadur dari Majalah Sabili Edisi No 13 TH. VI / 6 JANUARI 1999 / 18 RAMADHAN 1419 H