Memelihara Kualitas Kemanusiaan
Beberapa berita yang akhir-akhir ini kita dengar kerap sulit diterima akal. Misalnya, “Seorang suami di Sulbar menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi istrinya sendiri, karena ingin menguasai hartanya. Beberapa waktu lalu, seorang pemuda di Lampung tega memperkosa Ibu kandung dan adiknya sendiri yang masih berusia 7 tahun. Seorang dukun di Banjarnegara, yang mengaku mampu menggandakan uang, membunuh 12 orang kliennya. Seorang ayah di Banten belum lama ini menghebohkan jagad media sosial tanah air, karena menghamili anak kandungnya sendiri. Dari hasil hubungan inses itu, lahirlah bayi yang memiliki cacat bawaan. Sang ayah membuang bayi tak berdosa itu untuk menutupi aib, hingga masyarakat menemukan bayi tersebut, dan polisi menangkap ayah durjana itu."
Sulit dipercaya. Manusia yang dianugerahi akal budi mampu melakukan kekejian layaknya binatang. Sebenarnya, beda manusia dengan binatang memang tipis. Manusia punya tubuh, binatang pun memilikinya. Sapi memiliki telinga, manusia juga punya. Binatang lain punya otak, manusia juga dilengkapi dengan otak. Manusia memiliki jantung, demikian pula dengan binatang.
Bentuknya beda, namun kita tetap bisa mengenali organ-organ itu ada pada binatang dan manusia. Fungsinya juga relatif sama. Telinga sudah tentu untuk mendengar. Mata manusia dan mata binatang pun fungsi dasarnya sama, yaitu untuk melihat. Hidung, sama-sama untuk mengindera bau dan menarik nafas pada beberapa jenis binatang.
Bedanya pada kesadaran yang timbul atas obyek yang diindera. Telinga kita bisa dengan mudah membedakan musik dangdut dan keroncong. Telinga sapi mungkin tak mampu membedakannya. Mata manusia bisa mengenali mana istrinya dan mana istri orang lain. Sementara kambing, meski sama-sama melihat, ia tak bisa membedakan mana istrinya dan mana istri kambing lain.
Kesadaran inilah yang mampu membedakan hasil penginderaan manusia dan binatang atas suatu obyek. Sama-sama melihat uang, kesadaran antara tikus dan manusia berbeda terkait obyek itu. Tikus tak pernah mata duitan, tapi celakanya tikus kerap dibawa-bawa dan menjadi julukan bagi manusia penggerogot anggaran negara atau perusahaan. Tikus tak tahu sama sekali urusan-urusan itu, karena tidak memiliki kesadaran akan hal itu pada komponen otaknya.
Kesadaran ini muncul dari ruhani manusia yang bersifat khas dan berbeda dengan makhluk Allah yang lain. "Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku." (QS. 38:72). Menurut ahli tafsir, ruh yang ditiupkan oleh Allah inilah yang membuat manusia memiliki pemahaman dan kesadaran. Membuat otak manusia bisa berpikir, membuat hati manusia bisa merasakan, dan membuat semua penginderaan manusia tertaut dengan suatu kesadaran tertentu.
Jika manusia lalai menggunakan pikiran, hati, dan penginderaan yang berkesadaran ini, maka status kemanusiaannya bakal terjerembab dalam kondisi yang sama dengan binatang. Hati yang gagal merasa, otak yang tak mampu memproduksi pemikiran, dan penginderaan yang terputus dari dimensi kesadaran.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al A’raf:179).
Mengapa sama-sama memiliki akal budi tetapi ada orang yang bisa menapaki ketinggian ruhani dan menjadi manusia yang baik di sisi Allah dan manusia, sementara di sisi yang lain, ada orang yang bergelimang dosa dan berkubang dalam kejahilan dan jatuh kualitas kemanusiaannya?
Ada beberapa faktor yang memunculkan situasi tersebut. Pertama, karena hidayah Allah. Ini faktor yang sangat penting dan menentukan. Karenanya, manusia dianjurkan untuk selalu berdoa agar Allah memberikan taufik dan hidayah. Sesungguhnya, petunjuk telah Allah berikan kepada semua manusia, sebagai bentuk dari sifat adil dan rahman-rahim Allah SWT. Namun, karena ego, kesombongan, dan keengganan untuk menerima kebenaran petunjuk Allah, maka bagi beberapa manusia tertutuplah pintu hidayah itu.
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Al Qashash: 56).
Kedua, berpikir. Maksud berpikir dalam risalah ini adalah menggunakan kesadaran kritis kita sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir ilmiah dan ruhaniah sekaligus. Kejadian manusia adalah makhluk yang berdimensi fisik, tetapi juga makhluk yang memiliki anasir dan potensi ruhani.
Berpikir yang dimaksudkan di sini tak semata-mata dalam konteks menalar fakta dan relasi yang bersifat nyata dan fisik. Jika sekadar itu yang dilakukan, manusia hanya akan pintar secara logis dan saintifik. Banyak ilmuwan yang gagal mendapatkan hidayah karena mereka menepis semua hal yang tidak nyata. Mereka tidak percaya adanya kegaiban dan kuasa Allah dalam setiap fakta dan fenomena. Berpikir ala ilmuwan materialis yang sekadar bersandar pada fakta-fakta empiris dan rasional sesungguhnya mematikan potensi ruhani yang akan membawa manusia pada hidayah dan kebenaran hakiki.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka" (QS. Ali Imran: 190-191).
Pada ayat-ayat lain, Allah menyindir manusia dengan pertanyaan, “Tidakkah engkau berpikir?", "Agar kamu berpikir", "mengapa tidak kau pikirkan?” dan lain-lain redaksinya. Sesungguhnya hal itu memiliki konteks keterpaduan analisis kritis, rasionalitas akal, dan kecerdasan ruhaniah dalam menautkan semua fakta dalam konklusi pengetahuan sekaligus keberimanan kepada kebenaran Allah azza wa jalla.
Jika manusia membatasi diri sekadar percaya dan memikirkan hal-hal yang empiris dan tampak, maka sesungguhnya ia telah menutup diri dari petunjuk. Faktanya, alam ini terbentang dari hal-hal yang tampak dan yang tak tampak. Menyatu dalam wujud dan fenomena alam. Mengingkari hal-hal yang tidak tampak akan membuat kesimpulan pemikiran menjadi tak menyeluruh. Dari hasil pemikiran yang tak menyeluruh itu, akan lahir kebijakan yang memiliki cacat bawaan, maju berkembang secara fisik, namun kering spiritualitas dan mengancam kelestarian hidup.
Ketiga, Pemenuhan kebutuhan ruhani. Allah telah menciptakan kejadian manusia sebagai makhluk sempurna dengan potensi ruhaninya. Sayangnya, banyak orang yang kemudian abai untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan ruhani tersebut. Paradigma hidup kebendaan telah membutakan manusia bahwa ia memiliki potensi ruhani yang mesti dirawat dan dipenuhi kebutuhannya.
Ibadah adalah kebutuhan ruhani yang utama. Semakin kuat ibadah kita dan ikhlas karena Allah, akan semakin sehatlah kondisi ruhani kita. Jika ruhani manusia sehat, hidayah dan petunjuk Allah makin mudah kita terima. Nah, ruhani yang sehat dan kuat ini pula yang akan memberikan pertimbangan-pertimbangan spiritual dalam setiap keputusan dan proses berpikir manusia.
Dengan kata lain, batin dan ruhani akan cerdas dengan ibadah. Sementara ruhani dan batin manusia akan bebal manakala tak pernah diberi asupan dalam bentuk peribadatan. Karenanya, perbanyaklah ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan zikir, tilawah, dan puasa, agar ruhani kita kuat dan memancarkan daya-daya spiritual yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan hidup.
Kian sering terdengar tindak kriminalitas yang sangat sadis dan tak manusiawi adalah konsekuensi langsung manakala akal dan ruhani manusia tidak digunakan secara optimal dan seimbang. Mereka itu akan seperti binatang ternak, bahkan lebih buruk lagi. Begitulah penggambaran Allah mensinyalir fenomena ini. Wallahu a'lam.