Memori tentang 30 September
Bagi generasi yang lahir di sekitar tahun ‘70-an hingga akhir ‘80-an, tanggal 30 September mungkin akan selalu mereka ingat. Penguasa Orde Baru secara sistematis mampu membangun memori publik tentang PKI sebagai pengkhianat kejam dan musuh utama Pancasila.
Dari mengheningkan cipta, menonton bersama film Pengkhianatan G30S PKI, hingga wejangan tentang bahaya laten PKI, nyaris menjadi menu tahunan sepanjang 30 tahun kekuasaan Orde Baru. Generasi yang lahir pada akhir tahun ‘60-an dan awal ‘70-an adalah kelompok umur yang menjadi target awal sosialisasi tentang pengkhianatan PKI oleh rezim Orde Baru. Dari SD hingga SMA, 30 September selalu bermakna khusus bagi generasi ini.
Berbeda halnya dengan generasi yang lahir pasca reformasi 1998. Memori tentang tanggal 30 September mungkin sudah jauh berbeda buat mereka. Sekadar tanggal yang sama dengan tanggal-tanggal yang lain. Tidak ada kenangan khusus, bahkan mungkin banyak yang tidak tahu secara persis, peristiwa sejarah apa yang terkait dengan tanggal itu.
Faktanya, beberapa sakralitas sebuah momen, tanggal dan hari bersejarah, memang kerap lebih menjadi kehendak politik daripada tuntutan kearifan. Karsa politik pasca reformasi tidak menghendaki penghayatan yang berlebihan terkait tanggal 30 September. Tak ada lagi upacara dan hening cipta yang diwajibkan di sekolah-sekolah pada tanggal ini. Tidak ada lagi seruan dan ajakan untuk Nobar (nonton bareng) film “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Generasi pasca reformasi mungkin lebih obyektif dalam arti tanpa “Baper” dan prasangka tertentu saat bertemu dengan tanggal 30 September dan peristiwa sejarah yang terjadi. Lebih terbuka dalam membaca naskah-naskah sejarah bangsa serta tidak memiliki beban untuk mewarisi musuh ideologi negara.
Bahkan, mereka lahir di tengah berhamburannya pemikiran-pemikiran dekonstruktif tentang Orde Baru. Termasuk sejumlah gugatan besar tentang teks-teks sejarah yang seakan berpusat pada tokoh Soeharto. Mereka paham tentang misteri Supersemar, membaca pula teori-teori konspirasi yang menduga Soeharto justru terlibat dalam peristiwa G30S. Dan wacana lainnya, yang mungkin bertolak belakang dengan isi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang pernah menjadi pelajaran wajib bagi generasi ‘70-an.
Kredo populer yang asal-usulnya juga samar “Sejarah ditulis oleh para pemenang” sekali lagi menampakkan sisi benarnya. Keluarga Cendana dan sosok Soeharto menjadi pemenang semenjak TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 terbit, maka narasi sejarah sebagaimana dicekokin kepada kami generasi ‘70-an, berpusat pada dirinya. Dan 30 September adalah hari penting bagi tonggak kekuasaan Orde Baru dan Soeharto.
Bandul pesan sejarah tentang tanggal 30 September kembali berayun saat Gus Dur dan Megawati menjadi presiden. Berubah lagi vibe saat SBY jadi presiden. Demikian pula selama periode pertama PDIP kembali berkuasa melalui Presiden Joko Widodo, tanggal 30 September tak memiliki makna yang sakral-sakral amat.
Jelang peralihan kekuasaan dari Joko Widodo kepada Prabowo Subianto, generasi yang mengenyam pelajaran PSPB dibuat tercengang terkait pencabutan TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 yang mengakhiri kekuasaan Soekarno dan memberi stigma negatif keterlibatan dia dalam peristiwa G30S PKI. Lalu disusul pula dengan penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari KKN. Dua hal ini apakah bentuk lain dari cara penguasa baru dalam memaknai 30 September? Entahlah.
Kini, dalam era digital dan teknologi komunikasi yang sudah sangat maju, lintas generasi bisa bercakap dalam wadah media sosial. Generasi babby boomer yang masih tersisa, generasi X yang lagi pegang kuasa, generasi milenial yang sedang jadi tulang punggung bangsa, dan gen Z yang kerap dilabeli lembek, bisa berdialog langsung melalui gadget. Sesuatu yang belum pernah bisa terjadi pada beberapa dekade sebelumnya. Mungkin menarik, jika lintas generasi ini diajak ngobrol ringan tentang kesan mereka terkait tanggal 30 September.
Dialog ringan yang mungkin saja berguna dalam membaca sejarah kita. Dialog ringan yang mungkin saja dapat memperbaiki cara kita mengajarkan sejarah dan tujuan mempelajari sejarah. Dialog ringan yang mungkin mengasah kearifan kolektif kita, agar sejarah tak jadi trauma, agar sejarah tetap memberikan makna pada eksistensi kemanusiaan kita.
Hari ini, 30 September 2024, terasa sepi bagiku. Mungkinkah ada kesalahan yang masih tersimpan sebagai kebenaran dan ada kebenaran yang tersimpan sebagai kesalahan?
Ah, bagaimana pula mengaduk ulang dokumen pelajaran sejarah yang telah tersimpan lama di brankas tua memoriku, jika anak kuncinya pun telah berkarat dan patah? Lupa pula, di mana aku menyimpannya.