Menciptakan Suasana Ramadhan di Stuttgart
Ramadhan akan segera berlalu. Namun, Diah dan keluarga kecilnya masih memelihara semangat dan suka cita dalam mengarungi bulan suci ini. Selain tetap menghidupkan ibadah sepanjang bulan Ramadhan, dekorasi dan hiasan khas keluarga mereka pun masih melengkapi kehangatan rumah mereka di Stuttgart, Jerman.
Sejak Desember 1997, wanita bernama lengkap Diah Ayu Inayati itu tinggal di negaranya Mesut Özil tersebut. Bersama suaminya, Kalis Kaniantoko, awalnya ia tinggal di Karlsure, kota yang berada di dekat perbatasan negara Perancis dan Swiss. Karlsure terletak di Jerman Selatan, dan dikenal sebagai Kota Hukum di Jerman, karena merupakan kota kedudukan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tertinggi Jerman. Setelah tahun 2003, ibu dua anak itu tinggal di sebuah kota dekat ibu kota negara bagian Baden Württemberg, Stuttgart.
Di dalam percakapan dengan Sabili.id lewat whatsapp, Diah mengatakan, ada hal yang berbeda ia rasakan saat awal tinggal di Jerman. Khususnya terkait dengan kondisi sosial masyarakat. Masyarakat di sana, khususnya masyarakat asal Jerman, cenderung menjunjung tinggi privasi. Sehingga, kondisi masyarakatnya cenderung kaku dan dingin dalam pergaulan.
“Selama kondisi perbedaan di sini tidak terkait dengan prinsip kerohanian saya, maka saya memegang prinsip untuk mengaplikasi nilai luhur Indonesia, ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Jadi, saya berusaha menghargai kondisi perbedaan ini. Anak-anak saya yang semuanya lahir di sini pun sedari kecil telah kami kenalkan dengan konsep perbedaan dan persamaan, baik antara kultur yang ada di Jerman dan yang ada di Indonesia, maupun juga tentang perbedaan kehidupan kami sebagai muslim di lingkungan yang mayoritas non-Muslim. Alhamdulillah, mereka bisa menjadi bagian masyarakat dengan ‘perbedaan’ yang memang kami miliki,” tuturnya.
Diah menyebut, kendati kaum muslim merupakan warga minoritas di Jerman, namun mereka tak kesulitan dalam beribadah dan menjalani hidup sebagai muslim. Tentu banyak pengalaman menarik selama tinggal di sana. Bukan hanya menarik, bahkan juga menantang. Apalagi sebagai muslimah berhijab yang hidup di tengah masyarakat yang berbeda kultur dan agama. Ditambah, mengingat peran media massa yang cukup berhasil menciptakan potret Islam yang salah, tentu ada beberapa bagian masyarakat di sana yang memiliki pandangan yang minor tentang Islam itu sendiri.
“Di sinilah pentingnya kami sebagai umat Muslim (yang hidup di sini) untuk berusaha mengubah pandangan salah mereka, dengan perilaku kita yang telah banyak dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, para shahabat, dan para thabi’in,” ujarnya.
Berdasarkan beberapa literatur, Islam telah ada di Jerman sejak abad ke-17. Tahun 2016, ada 4,7 juta jiwa Muslim yang tinggal di Jerman atau sekira 6,6% - 6,7% dari total jumlah penduduk yang ada. Hal ini menjadikan Jerman sebagai negara kedua di Benua Eropa, setelah Prancis, dengan jumlah Muslim terbanyak. Prancis sendiri memiliki populasi muslim sebanyak 4,7 juta jiwa.
“Walau Islam belum diakui sebagai salah satu agama resmi di Jerman, namun pemerintah setempat cukup memberikan luang kebebasan untuk beribadah,” kata Diah.
Tentang suasana Ramadhan di sekitar tempat tinggal mereka di Jerman, Diah pun berkisah, mengingat Islam bukanlah agama resmi yang diakui di sana, sebenarnya tak ada yang berbeda antara suasana Ramadhan dan bulan-bulan yang lain. “Kekhususan Ramadhan baru akan terasa jika kita datang ke Masjid ataupun ke rumah saudara-saudara Muslim di sini yang berusaha menciptakan suasana Ramadhan di rumahnya. Misalnya, dengan membuat dekorasi Ramadhan di rumah, sehingga seluruh anggota keluarga atau siapa pun yang berkunjung ke rumah kami, merasakan‚ vibe‘ (atmosfer, red) Ramadhan,” ucapnya.
Menciptakan Ramadhan pada suasana di dalam rumah. Hmm... tampaknya itu aktivitas menarik. Mungkin, dengan cara itu mereka dapat mengatasi rasa rindu suasana di kampung halaman.
“Di bulan Ramadhan, masjid-masjid di sini biasanya akan menyediakan ifthar bagi para pengunjung masjid. Dana ifthar itu biasanya dikumpulkan oleh para jamaah masjid itu sendiri. Selain itu, keluarga-keluarga Muslim di sini biasanya akan saling mengundang saudara-saudara muslim lainnya untuk berbuka puasa di kediamannya. Sedangkan kegiatan-kegiatan ifthar jama’i biasanya akan ramai diadakan pada hari akhir minggu,” tutur Diah.
Ia pun berkisah, di sana, biasanya masjid-masjid akan menggelar beberapa kegiatan tambahan, semisal lecturers (kultum, red) tentang beberapa topik Islam. Selain itu, tentu juga acara buka puasa bersama. Masjid juga menyediakan fasilitas i’tikaf bagi para jamaah yang memiliki keluangan waktu untuk melakukannya.
“Warga Muslim di Jerman yang mempraktikkan Islam di kehidupan sehari-harinya tentu antusias menyambut datangnya bulan suci ini. Namun, vibe Ramadhan tidak terasa di level komunitas umum,” ucapnya.
Yang menarik, durasi shaum (puasa) di sana setiap harinya akan berbeda, tergantung Ramadhan itu akan jatuh di bulan apa dalam kalender Masehi. Sehingga, lama waktu puasa akan bervariasi dari 10 jam (saat musim dingin) hingga 19 jam (saat musim panas).
“Mengingat waktu ifthar selama Ramadhan berubah di setiap tahunnya, tergantung musimnya, durasi acara berbuka puasa pun tergantung pada bulan apa Ramadhan jatuh. Jika Ramadhan jatuh pada high summer season, maka kegiatan ifthar di masjid akan terbatas, karena biasanya kami harus berpuasa selama 19 jam. Sebaliknya, jika Ramadhan jatuh di musim dingin, maka kami akan cukup lama berada di Masjid, ” ujarnya.
Menurut Diah, banyak tantangan yang dihadapi warga muslim di sana, namun aktivitas sebagai muslim masih bisa dijalankan. Yang cukup menantang adalah bagi anak-anak yang menjalankan ibadah puasa, karena mereka tetap harus menjalankan aktivitas sekolah seperti biasa dan berada di lingkungan sekolah yang tidak mengenal konsep Ramadhan.
“Mayoritas warga muslim di Jerman merupakan pendatang muslim yang menetap di sini, baik dari kelompok regular migrants (karena pekerjaan, keluarga, sekolah), ataupun dari kelompok pencari suaka. Kalau di lingkungan pertemanan saya sendiri, teman-teman saya biasanya keluarga Indonesia yang bermukim di sini karena alasan bekerja. Diperkirakan bahwa populasi muslim di Jerman akan naik dari 6,1% di tahun 2016 ke 8,7% di tahun 2050, mengingat penduduk Muslim di Jerman memiliki media umur lebih muda dibandingkan populasi non-Muslim,” katanya.