Mendebarkan! Begini Kesaksian WNI Keluar dari Perang di Sudan

Sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sabtu (15/4) di Masjid Atiq, Kampus International University of Africa selepas shalat subuh, saya tidak langsung kembali ke kamar di Asrama Darussalam. Di masjid, suasana begitu khusyuk. Mayoritas mahasiswa dan beberapa warga lokal sangat bersemangat berburu obral pahala dengan meningkatkan intensitas ibadahnya, khususnya shalat malam, sedekah, dan tilawah Al Qur’an. Nyaris tak ada yang rela melewatkan setiap detik dari akhir-akhir Ramadhan dengan tidur. Apalagi dengan berleha-leha. Sangat khidmat serta menambah effort untuk meningkatkan keimanan.

Posisi saya saat itu berada di bagian belakang masjid, sedang membaca Al Qur’an. Antara pukul 9 atau 10 pagi, tiba-tiba tak jauh dari masjid terdengar suara tembakan beberapa kali. Awalnya saya acuh. Tetapi kemudian, suara tembakan dari arah yang berbeda menyusul terdengar. Semakin jelas dan kian sering intensitasnya. Mulai muncul perasaan cemas.

Saya dan beberapa teman Afrika penasaran. Kami pun keluar lewat pintu belakang masjid untuk memastikan.

“Apakah mereka sedang latihan?” tanya saya dalam bahasa Arab.

“Tidak, itu bukan latihan,” jawabnya.

Semakin penasaran, akhirnya saya aktifkan handphone. Dan benar saja. Ternyata di beberapa tempat di kota Khartoum terdengar suara yang sama. Sejumlah media berbahasa Arab pun dengan cepat bergantian mengabarkan, "Sudan sedang perang saudara".

Tembakan demi tembakan saling bersahutan, disusul suara bom atau dentuman (sepertinya granat) yang beberapa kali terdengar, semakin membuat perasaan dihantui kecemasan, bahkan rasa takut yang tak biasa. Tak berapa lama, kembali saya membaca berita, "Bandara udara Khartoum telah dikuasai oleh tentara paramiliter yang sedang berseteru dengan militer Sudan."

Jadwal penerbangan, baik keberangkatan maupun kedatangan, terpaksa dihentikan. Dan yang menambah suasana semakin mencekam adalah, jet tempur milik militer wara-wiri di langit ibukota. Kekhusyukan ibadah Ramadhan seketika berubah. Khartoum chaos.

Asap Hitam Membumbung Tinggi di dekat Kampus IUA oleh Riki Moroto / Sabili.id

Sebenarnya, baik dari pihak militer maupun paramiliter, tidak ada yang sengaja menargetkan nyawa warga sipil, apalagi warga asing. Ini adalah perseteruan antara dua jenderal besar yang sebenarnya berkawan. Bahkan keduanya sama-sama terlibat dalam kudeta rezim sebelumnya.

Hanya saja, perang dilakukan di tengah pemukiman penduduk, termasuk kampus kami yang berada di antara titik yang paling rawan memakan korban. Sebab, jaraknya tak jauh dari salah satu markas paramiliter. Anda tentu dapat membayangkan, bagaimana suasananya. Pihak KBRI Khartoum pun langsung mengeluarkan maklumat agar tidak ada WNI yang keluar untuk urusan apa pun. Semua harus tetap stay di tempat tinggalnya masing-masing. Pihak kampus juga ikut meliburkan semua aktivitasnya lebih cepat.

Di hari kedua pasca konflik merebak, tak ada tanda-tanda perang akan berakhir. Malah, kedua kubu saling menyalahkan dan mengklaim telah memenangkan pertempuran, serta menguasai beberapa wilayah strategis.

Selesai shalat tarawih, saya harus kembali ke kamar bersama teman WNI untuk makan malam. Sesudah makan, kami mengobrol sebentar. Tiba-tiba, salah seorang pelajar Afrika dengan mimik wajah tampak tegang masuk ke kamar dan berkata bahwa ada tentara yang masuk ke dalam kampus, tepatnya di lapangan basket, persis di samping Asrama Darussalam.

Posisi asrama memang berada di bagian paling belakang kampus. Pagar yang mengelilinginya terdapat celah besar. Sangat mungkin dan mudah untuk dimasuki badan seukuran orang dewasa.

Terjadilah apa yang harus terjadi. Baku tembak pecah di dekat asrama kami. Saya dan empat orang teman yang berada di dalam segera tiarap. Pintu kamar kami kunci rapat-rapat. Suara tembakan saling balas terdengar. Sangat bising. Menyusul, ledakan bom terdengar sekali dua kali, membuat pekak telinga. Tembok-tembok asrama beberapa kali seperti terkena hantaman peluru salah sasaran. Di saat-saat seperti itu, kami hanya bisa tiarap sembari beristighfar. Memohon rahmat dan belas kasih Allah SWT malam itu.

Kira-kira 20-30 menit lamanya baku tembak berlangsung. Lalu suasana kembali hening. Musyrif asrama datang dan meminta kami agar tetap di dalam ruangan masing-masing sampai keadaan benar-benar kondusif. Rupanya militer sengaja memasuki asrama kami dan sepertinya ingin membidik markas musuh dari atas asrama. Hal itu diketahui dari suara sepatu mereka yang berlarian mondar-mandir di lantai dua asrama. Aktivitas itu cukup membuat lantai bergetar. Jumlah mereka diperkirakan ada belasan orang.

Tentara pergi. Gerbang asrama langsung ditutup rapat oleh musyrif. Sekitar pukul tiga dini hari, kami pun akhirnya bisa tidur. Namun, tetap dalam kewaspadaan dan setengah terjaga.

Memasuki hari selanjutnya, keadaan semakin tak menentu. Lagi-lagi sipil yang harus menanggung akibatnya. Jumlah korban terus bertambah. Perang benar-benar mengubah semua lini kehidupan. Dampaknya, logistik semakin menipis dikarenakan warga menutup pasar dan toko-toko mereka, kekurangan pasokan air bersih, serta listrik padam selama berhari-hari. Belum lagi penjarahan yang marak terjadi. Bahkan beberapa mahasiswa Indonesia tak lepas dari incaran para haromi (pencuri).

Oleh KBRI, status keamanan dinyatakan "siaga dua". Agar terkoordinasi dan untuk mendapatkan informasi satu arah, maka dibuatlah grup WhatsApp. Kami diminta pemerintah, dalam hal ini KBRI, agar menyiapkan satu runbag yang isinya dokumen penting, dua pasang pakaian, obat-obatan, dan lain-lain. Sebagai antisipasi jika kemungkinan yang terburuk terjadi.

Tepat di hari kelima pasca pecahnya konflik atau sehari sebelum hari lebaran Idul Fitri (20/4), Menteri Luar Negeri RI, ibu Retno Marsudi, mengumumkan bahwa status keamanan di Sudan naik menjadi "siaga satu". Evakuasi WNI dari Sudan segera dicanangkan. Tak lama kemudian, Kedutaan RI di Sudan segera mendata WNI, pertanda bahwa proses evakuasi benar-benar akan terwujud dalam waktu dekat.

Mahasiswa Melakukan Rapat untuk Persiapan Evakuasi oleh Riki Moroto / Sabili.id

Rutenya: Pertama melalui jalur darat dengan menggunakan bus dari Khartoum menuju Port Sudan (pelabuhan Sudan), kemudian menuju Jeddah, Arab Saudi. Terakhir, semua WNI akan dipulangkan dari Arab Saudi untuk mendarat di tanah air.

Singkat cerita, kedua belah pihak, baik paramiliter maupun militer, sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 72 jam (3 hari) untuk jeda kemanusiaan, setelah sebelumnya gagal dan dilanggar oleh kedua belah pihak.

KBRI Khartoum berupaya semaksimal mungkin dengan menyiapkan kurang lebih 12 bus untuk mengangkut kurang lebih seribuan orang WNI yang mayoritasnya adalah mahasiswa/i. Namun lagi-lagi mental kami diuji dengan pembatalan sepihak dari perusahaan bus yang sudah di-booking oleh KBRI dan tim relawan. Evakuasi tahap pertama, 538 orang ke Port Sudan dilakukan dengan 8 bus dan 1 mini bus, mendahulukan para ibu hamil, anak-anak, dan pelajar wanita, serta sebagian laki-laki.

Saya sendiri masuk kelompok tahap kedua menuju Port Sudan. Mayoritas dari kami yang tersisa di Khartoum mulai merasakan dampak gangguan mental dan kecemasan yang berlebihan. Bagaimana tidak, masa gencatan senjata tersisa hanya kurang dari 24 jam lagi, sementara bus-bus yang akan disewa untuk mengangkut kami ke Port Sudan cukup langka.

Sebab, banyak WNA yang hendak mengevakuasi diri juga ke tempat yang jauh dari zona pertempuran. Saling berebut bus, bahkan dengan berani membayar lebih mahal. Bayangkan, satu bus disewa dengan harga 14.000 Dollar Amerika atau setara dengan 210 juta Rupiah jika asumsi nilai tukarnya adalah $1 = Rp 15.000. Padahal, tarif normalnya hanya sekitar $ 2.000 - $ 4.000/bus.

Saya dan sebagian besar mahasiswa yang tersisa memilih menginap di Masjid Shiddiqin, Arkaweet 49 (sebagian ada yang balik ke rumahnya masing-masing), tengah harap-harap cemas terhadap taqdir yang akan berlaku terhadap diri-diri kami.

Sampai waktu gencatan senjata akan berakhir, tim relawan masih belum mendapatkan bus. Perasaan semakin tak menentu. Suara tembakan dan RPG di beberapa tempat kembali terdengar. Sebagian teman-teman mahasiswa mulai tak terkontrol emosinya. Tak tahu pasti, kapan kami akan keluar dari Khartoum.

Hanya sabar dan shalat sebagai penawar hati, penghibur duka dan nestapa. Salah seorang dari kami mengirim pesan di grup WA agar di sepertiga malam nanti diusahakan semuanya shalat tahajud dan menjauhi maksiat, sekecil apa pun itu.

Siangnya, tim relawan dan seorang Staf KBRI yang tersisa mengabarkan bahwa ada 7 bus yang terkonfirmasi mau mengantar kami ke Port Sudan. Namun, statusnya masih belum pasti. Semua lagi-lagi diminta untuk terus melangitkan doa. Iman masih terus diuji, sejauh mana tawakal dan usaha kita dalam meminta pertolongan kepada Sang Pencipta. Sementara itu, persediaan makanan semakin menipis. Sudah satu pekan kami makan mie instan. Efek di perut pun semakin terasa. Tetapi mau tak mau, perut harus tetap diisi.

Penantian itu akhirnya berujung manis. Kabar baik itu datang. Gencatan senjata diperpanjang selama tujuh hari ke depan, dan ketujuh bus segera menuju ke titik tempat kami berkumpul. Ada kemungkinan, malamnya kami bisa langsung menuju Sawakin (Kota terdekat dari Port Sudan-red), atau paling lambat berangkat dini hari. Namun ternyata, kami baru benar-benar bisa beranjak sekitar pukul 15 kurang, pada Selasa (25/4), dan tiba di titik aman pertama, yaitu Sawakin pada pukul 6 pagi keesokan harinya, setelah menempuh 15 jam perjalanan darat.

Kami ditempatkan di penginapan-penginapan yang telah disewa oleh KBRI dan dibantu tim relawan. Kehidupan berangsur membaik. Tak terdengar lagi suara tembakan dan dentuman granat ataupun rudal. WNI kembali dapat berbelanja apa saja di sana. Bahkan, saya dan beberapa teman lainnya sempat jalan-jalan dan mandi di Laut Merah. Alhamdulillah.

Hari itu juga, selepas zuhur, sebanyak 110 WNI secara bertahap menuju Port Sudan untuk melakukan perjalanan ke Jeddah tahap kedua, Rabu (26/4). Saya termasuk di dalamnya. Jika pada evakuasi tahap pertama penjalanan ditempuh dengan kapal laut, maka kami dijemput dengan menggunakan pesawat TNI AU Boeing 737. Hal yang sama akan dilakukan pada tahap-tahap berikutnya.

Selama proses evakuasi berlangsung, saya melihat persatuan antar anak bangsa benar-benar terwujud. Solid, kompak dan saling bergotong royong. Terharu, meskipun tidak dapat saya katakan sempurna. KBRI dan tim relawan telah menunjukkan jiwa solidaritas dan kepeduliannya terhadap WNI yang jauh terpisah jarak dari bumi Pertiwi. TNI Angkatan Udara juga demikian. Saya menyaksikan bahwa tentara kita begitu tulus dalam menunaikan tugasnya selama proses evakuasi dari bandara udara Port Sudan menuju Jeddah.

Pun sesampainya di Jeddah, kami juga disambut oleh bapak-ibu KJRI Jeddah dengan sangat baik, mendapatkan pelayanan terbaik. Mereka sepertinya paham kondisi psikologis saya dan teman-teman yang terdampak perang. Nikmat yang harus terus dihadirkan dan dijunjung bersama di antara anak bangsa.

Sudan adalah negara kedua kami dalam menuntut ilmu. Tidak hanya ilmu dan ulamanya yang melimpah, Sudan juga menjadi medan tempaan hidup, khususnya bagi mahasiswa Indonesia. Di sini kami belajar tentang kesederhanaan.

Kesederhanaan yang melahirkan rasa syukur dan sabar. Menjadi orang-orang yang terus merasa cukup dengan pemberian Allah SWT kecil maupun besar. Di negeri ini juga kami belajar bahwa peperangan ternyata sangat menguras tenaga dan pikiran, juga mental. Banyak hal besar dan produktif yang terlewatkan karenanya. Kami belajar bahwa perdamaian dan keamanan merupakan hal-hal di antara nikmat terbesar yang harus selalu disyukuri dan dijaga bersama. Semoga Sudan segera damai dan aman kembali. Aamiin...

Al Badr Hotel; Jeddah, KSA. 28 April 2023