Menelusuri Peta Jalan Menuju Pembebasan Al Aqsa Lewat Daurah dan Munasharah
MUI (Majelis Ulama Indonesia) DKI Jakarta bersama Pengurus Wilayah (PW) Hidayatullah DKI Jakarta mengadakan kegiatan bertema Daurah dan Munasharah pada Ahad (10/11/2024). Daurah dan Munasharah bertajuk “Peta Jalan Menuju Pembebasan Al Aqsa” itu membahas perjuangan rakyat Palestina terkini dalam upaya membebaskan Masjid Al Aqsa. Seorang pakar sejarah Palestina, Syekh Muhammad Shalih Abu Thayun, menjadi pembicara utama dalam kegiatan tersebut.
Di dalam kesempatan itu, Syekh Abu Thayun berkisah, tahun 1948 ia dan keluarganya terusir dari Palestina, dan saat ini terpaksa mengungsi ke Lebanon. Kepada seluruh yang hadir di acara Daurah dan Munasharah termasuk sabili.id, Syekh Abu Thayun lantas menyampaikan situasi terkini di Gaza yang tidak sederhana dan masih dalam kondisi perang.
“Kalau kita berbicara tentang Palestina, maka kondisi di sana tidak bisa dibilang sederhana. Di sana terjadi perang, terjadi pertempuran. Itulah yang terjadi di Gaza,” katanya.
Syekh Abu Thayun melanjutkan, blokade penjajah Israel di Gaza Utara telah memutus pasokan makanan dan kebutuhan dasar lainnya. “Terutama yang terjadi di Gaza Utara, di mana pasukan penjajah Israel melakukan blokade penuh, sehingga tidak ada makanan, minuman, dan barang-barang kebutuhan lainnya,” jelasnya.
Akibatnya, menurut Syekh Abu Thayun, tingkat kelaparan di Gaza sangat memrihatinkan hingga hampir menyebabkan kematian warganya. “Tingkat kelaparan di Gaza Utara sangat mengenaskan, dan bahkan hampir menyebabkan kematian warganya,” tuturnya.
Namun, ia menegaskan, warga Gaza tetap teguh memertahankan tanah mereka. “Meski demikian, para penduduk Gaza Utara masih teguh memertahankan tanah mereka, tidak berniat untuk meninggalkan,” tegasnya.
Syekh Abu Thayun juga menyinggung pengusiran yang dilakukan oleh tentara Zionis. “Sedang tentara zionis Yahudi mengatakan (kepada penduduk Gaza), ‘ini bukan tanah kalian maka kalian harus keluar dari sini, baik dengan paksaan atau dengan kerelaan kalian sendiri. Kalau tidak kami akan bunuh kalian’,” tuturnya.
Ia melanjutkan, warga Gaza tidak mungkin pindah ke Gaza Selatan karena kondisi di sana juga tidak lebih baik. “Warga Gaza tidak mungkin pindah ke Gaza selatan, karena kondisi di sana tidak kalah mengenaskan. Beberapa hari lalu ada seorang warga yang terbakar di tendanya karena pengeboman yang dilakukan tentara zionis,” ungkapnya.
Klaim Israel yang meminta warga Gaza mengungsi ke Selatan, menurut dia, hanya alasan untuk mengusir mereka sampai keluar ke Mesir. “Mereka (tentara zionis, red) berbohong, mereka memerintahkan warga Gaza untuk pergi ke Selatan (dengan alasan keselamatan), lalu terus ke Selatan, dan akhirnya keluar sampai Mesir,” tegasnya.
Di tengah kondisi musim hujan dan dingin, situasi Gaza semakin memrihatinkan. “Dan saat ini di Gaza memasuki musim hujan dan dingin, kondisinya sangat memrihatinkan, mereka kedinginan karena musim hujan dan dingin,” katanya. “Ada 50.000 orang yang meninggal, 150.000 orang terluka, dan di sana tidak ada masjid yang bisa digunakan untuk beribadah,” imbuhnya.
Syekh Abu Thayun menambahkan bahwa yang terjadi saat ini lebih parah dari tahun sebelumnya, namun tidak tersorot kamera. “Di Awal Oktober tahun lalu (2023), di mana terjadi penyerangan bahkan anak-anak menjadi korban perang, mereka syahid karena serangan brutal tentara zionis Israel. Dan yang terjadi sekarang (2024) lebih parah dan mengerikan, namun tidak ada kamera yang menyorotnya.” tambahnya.
Menutup pesannya, Syekh Abu Thayun mengingatkan ajaran Rasulullah saw bahwa umat Islam adalah satu tubuh; Jika satu bagian terluka, bagian lainnya ikut merasakan. “Jika tangan kita sakit, tentu kita akan memberikan perhatian lebih terhadap tangan kita yang sakit itu. Kita akan memberi perhatian lebih agar tangan itu tidak sampai diamputasi. Begitulah kita seharusnya memerhatikan Gaza. Kita harus memberikan perhatian lebih terhadap mereka,” pesannya.