Mengapa Para Penguasa Cenderung Menjadi “Kotor”?
Ide tulisan ini datang ketika saya masuk dalam sebuah diskusi pagi di WAG Warjok yang cukup intelektif, literate, dan rasional-egaliter. Salah satu member bertanya, “...Memangnya ada penguasa yang tidak kotor?”
Di dalam sejarah peradaban, terutama di Indonesia, memang sulit menemukan penguasa yang sepenuhnya bebas dari noda. Dari Soekarno hingga Jokowi, semua pemimpin menghadapi tuduhan dan kontroversi yang merusak citra mereka. Seakan-akan ada kutukan bahwa siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan, akan terjerumus ke dalam perilaku koruptif, konspiratif, represif, dan manipulatif.
Apakah ini hanya bagian dari dinamika kekuasaan? Ataukah memang kekuasaan itu sendiri memiliki sifat yang merusak?
Plato dalam karyanya Republik, melalui tokoh Socrates, menggambarkan bahwa kekuasaan cenderung merusak moralitas seseorang. Socrates berpendapat bahwa seorang penguasa yang adil dan bijaksana akan sangat langka karena kekuasaan besar sering kali mengaburkan penilaian moral dan membawa individu menuju tindakan-tindakan yang tidak adil.
Hal ini sejalan dengan konsep kalos kagathos yang diajarkan oleh para filsuf Yunani kuno, yang menekankan bahwa hanya orang yang memiliki integritas moral tinggi yang mampu memimpin dengan adil.
Di sisi lain, Niccolò Machiavelli dalam Il Principe memperkenalkan konsep kekuasaan yang pragmatis dan sering kali dianggap “kotor”. Menurut Machiavelli, penguasa yang sukses adalah mereka yang mampu mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk penipuan, kekerasan, dan manipulasi. Bagi Machiavelli, kekuasaan itu sendiri tidak memiliki moralitas, dan tindakan yang dianggap kotor bisa menjadi sah jika itu berarti mempertahankan kekuasaan.
Sejarah Indonesia juga mencerminkan pandangan ini. Soekarno yang awalnya dipandang sebagai pahlawan kemerdekaan, pada akhir masa jabatannya harus berhadapan dengan krisis politik yang mengarah pada G30S/PKI, di mana konspirasi dan kekerasan mewarnai transisi kekuasaan dari dia ke Soeharto. Soeharto, yang membawa stabilitas ekonomi, juga tidak lepas dari tuduhan dugaan korupsi para kroninya dan represi terhadap kebebasan sipil. Presiden-presiden setelahnya, meski pun memiliki niat baik, tidak sepenuhnya bebas dari kontroversi, baik dalam hal kebijakan maupun dugaan penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, apakah kekuasaan harus selalu “kotor”? Sebagian ulama klasik berpendapat bahwa kekuasaan yang adil dan bersih mungkin ada, tetapi sangat sulit dicapai. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyebutkan bahwa kekuasaan memiliki potensi untuk menjadi alat yang baik jika dipegang oleh orang yang adil dan bertakwa, namun realitas sering menunjukkan sebaliknya. Kekuasaan sering kali merusak mereka yang memegangnya, membuat mereka rentan terhadap godaan dan tindakan yang tak terpuji.
Di tengah peradaban yang berjaya, penguasa yang kotor sering kali menjadi penggerak utama. Di dalam masa keemasan Romawi atau Dinasti Umayyah, misalnya, kekuasaan yang berhasil mempertahankan stabilitas sering kali dibarengi dengan taktik politik yang kejam dan konspiratif.
Begitu pula di masa modern. Negara-negara besar yang dominan di panggung dunia sering kali tidak luput dari tudingan kotor terkait intervensi politik, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski demikian, terdapat beberapa contoh kekuasaan yang relatif bersih, walau pun sangat jarang. Salah satunya adalah pemerintahan Umar bin Khattab yang dikenal dengan keadilan dan kebersihan moralnya. Beberapa ahli modern juga menyoroti kepemimpinan negara-negara Skandinavia yang dikenal dengan pemerintahan yang transparan dan rendah korupsi, meski pun tantangan tetap ada.
Akhirnya, kekuasaan yang cenderung bersalahguna tampaknya menjadi bagian tak terelakkan dari sifat manusia dan kompleksitas sosial-politik. Meski pun demikian, penting untuk terus berupaya membangun sistem yang dapat mengekang kecenderungan “kotor” dari kekuasaan, melalui pendidikan moral, pengawasan ketat, dan transparansi yang kuat. Sehingga, meski sulit, tidak mustahil untuk membayangkan adanya kekuasaan yang bersih, adil, dan bijaksana.