Mengapa Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh Berontak Terhadap NKRI?
Mengenang 70 tahun perlawanan Aceh terhadap Indonesia dalam bingkai nasionalis Islam versus nasionalis sekuler, yang dipimpin Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh versus Soekarno. Dari dahulu sampai sekarang ini, di kalangan masyarakat muncul banyak teka-teki tentang penyebab terjadinya pemberontakan tersebut.
Ada yang beranggapan perlawanan yang mematikan dari Aceh terhadap Indonesia itu terjadi karena ketidak adilan Indonesia terhadap Aceh sebagai daerah modal yang membebaskan Indonesia dari agresi kedua Belanda tahun 1948. Ada pula yang menganggap, hal itu terjadi karena perang ideologi Islam Aceh dengan ideologi atheis/komunis Indonesia. Ada juga yang menyudutkan penyebab terjadinya gerakan tersebut kepada interest Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sendiri. Malah, terakhir terhembus satu video dalam WhatsApp yang menyatakan, terjadinya DI/TII Aceh karena Soekarno awalnya berjanji memberikan jabatan Presiden kepada Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh tetapi kemudian tidak diberikan, makanya Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh berontak.
Tuduhan terakhir itu sarat dengan nilai-nilai manipulatif yang mengarahkan kepada proses pembodohan anak bangsa, karena tidak didasari data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Semoga dengan tulisan sederhana ini, umat Islam di Aceh dapat membuat perbandingan; Mengapa, apa sebabnya, bagaimana, dan untuk apa terjadinya gerakan DI/TII Aceh tersebut?
Sejauh penelitian yang kami lakukan bertahun-tahun sampai hari ini, berikut ini adalah beberapa penyebab semua itu terjadi:
- Soekarno mengingkari janjinya dengan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh untuk menjalankan hukum Islam di Aceh khususnya dan dalam negara Indonesia yang ketika itu penduduknya melebihi 90 % Muslim.
- Soekarno tidak menepati janjinya kepada Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah otonomi yang memberlakukan hukum Islam secara penuh di dalamnya.
- Dengan terang-terangan Soekarno mendukung, membantu dan berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) serta menghina Islam.
- Mengesampingkan syari’at Islam dengan menjalankan sistem pemerintahan sekuler yang sangat dibenci Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh khususnya di Aceh.
- Mengacau balaukan struktur pemerintahan di Aceh dengan memindahkan putra-putra terbaik Aceh keluar Aceh dan menggantikannya dengan orang-orang dari daerah lain yang sebahagian mereka non muslim.
- Menurunkan pangkat dan jabatan Kolonel Husin Yusuf sebagai orang PUSA dari jabatannya sebagai panglima Divisi X menjadi Komandan Brigade dengan pangkat Letnan Kolonel pada pertengahan tahun 1950. Brigade ini kemudian diletakkan di bawah kekuasaan Panglima Bukit Barisan pimpinan Kawilarang(1). Seterusnya Husin Yusuf diberhentikan dari tugasnya.
- Pemindahan Ketua Polisi Aceh Muhammad Insya, dan Komisaris Muda Polisi Yusuf Effendi ke Medan merupakan suatu tamparan hebat bagi Aceh(2).
- Pemindahan semua batalyon tentara yang dipimpin oleh putra Aceh keluar Aceh dan digantikan oleh orang luar yang kebanyakan bukan muslim(3), semisal pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung, Tapanuli, yang digantikan oleh Leftenan Kolonel Nazir (Komunis). Batalyon T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indonesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan kemudian ke Maluku Selatan, dan Batalyon Nyak Adam Kamil pun segera dihijrahkan dari bumi Aceh. Sebagai penggantinya, didatangkan sejumlah Batalyon dari Tapanuli, misalnya Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu (Komunis), dan Batalyon Boyke Nainggolan.
Orang-orang Tapanuli ini bukan hanya beda agama dengan orang Aceh, akan tetapi cara kerja mereka pun sangat jauh daripada kebiasaan dan akhlak orang Aceh. Mereka memasuki Masjid dengan sepatu berlumpur, menampakkan kemaluan kepada orang perempuan, meminum arak di khalayak ramai. Kerja-kerja seperti ini bukanlah kesilapan sesetengah tentara, akan tetapi nampaknya seperti telah diprogramkan lebih awal oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Nazir yang sangat benci wujudnya pemerintahan PUSA (Ulama) di Aceh. Dan usaha ini pula disengaja untuk memancing kemarahan bangsa Aceh, dengan demikian sudah ada alasan bagi Jakarta untuk menghancurkan Aceh dari sebuah provinsi yang Islami dan menjadikannya sebuah provinsi sekuler sebagaimana halnya dengan provinsi-provinsi lain(4).
Baca Juga : Surya Paloh dan Harapan untuk Aceh
- Pembubaran Provinsi Aceh oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir dari MASYUMI yang dibaca dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Kutaraja pada tanggal 23 Januari 1951, menjadi sebab utama meletusnya peristiwa berdarah di Aceh(5). Menurut versi Ibrahimy, Provinsi Aceh dibubarkan pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Peperpu Nomor 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan Presiden RI Mr. Assat dan Mendagri RI Mr. Soesanto Tirtoprojo(6). Di antara sekian penyebab meletusnya pemberontakan di Aceh, persoalan pembubaran provinsi ini menjadi penyebab utama dalam pandangan masyarakat kita.
Pembubaran provinsi ini lebih didominasi oleh kepentingan politik MASYUMI, dengan perkiraan kalau Aceh tetap menjadi satu provinsi maka Partai Islam itu akan menang mutlak di Aceh dan kalah total di Sumatera Utara yang banyak orang Kristen. Untuk mempertahankan kemenangannya di Sumatera maka pimpinan-pimpinan partai tersebut berusaha keras menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara dengan menghilangkan status provinsi. Untuk mengelak jangan cemar reputasi (nama baiknya), mereka beralasan bahwa ketentuan Konferensi Meja Bundar di Denhaag menetapkan Indonesia menjadi sepuluh provinsi saja, yang sebenarnya itu bukan suatu ketentuan mutlak. Sesungguhnya sasaran dan target Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh dari pemberontakan tersebut adalah terwujudnya Daulah Islamiyyah di bumi Aceh setelah melihat tidak mungkin untuk seluruh Indonesia.
- Suatu peristiwa yang sangat pahit dan pedih bagi bangsa Aceh di bawah pimpinan kaum ulama adalah, razia Agustus 1951 atau razia Sukiman yang menginjak-injak kehormatan kaum ulama sekaligus bangsa Aceh yang dahulu pernah menjadi pionir (pelopor) kemerdekaan Republik Indonesia. Razia ini diperintahkan Perdana Menteri Dr. Sukiman di seluruh negara untuk mencari sisa-sisa senjata simpanan anggota Komunis. Di wilayah lain, perintah itu dilaksanakan dengan baik dan tepat, yaitu tentara-tentara Nasional menyita sejumlah senjata yang disembunyikan bekas orang Komunis. Sebaliknya, di Aceh orang-orang Komunis sendiri yang mencari-cari kesalahan dan menangkap para ulama PUSA serta menggeledah dan memeriksa rumah-rumah penduduk dengan alasan mencari senjata simpanan.
Strategi yang diterapkan untuk dapat menangkap mereka adalah, di malam hari tentara-tentara republik lebih dahulu menaburkan sejumlah peluru ke dalam kandang ayam, kambing, lembu, atau kerbau orang yang mau ditangkap. Dengan demikian, menjadi alasan yang cukup kuat untuk menangkap pemilik rumah yang mereka rencanakan karena terdapat sejumlah peluru di rumah mereka.
Hal itu dilakukan karena tidak ada jalan lain untuk menangkap mereka yang tidak bersalah, sebab semua senjata yang dimiliki bekas pejuang kemerdekaan di Aceh telah dikumpulkan oleh Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh ke dalam wadah TNI ketika beliau menjadi Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Cara-cara jahat seperti itu terus dipraktikkan Jakarta terhadap Aceh, terutama sekali dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka ketika Jakarta memberlakukan Daerah Operasi Militer tahun 1989-1998 dan Darurat Militer serta Darurat Sipil tahun 2003-2005.
Banyak bekas pejuang kemerdekaan dan kaum ulama yang jelas tidak bersalah yang telah dipenjara di beberapa tempat dan rumah-rumah mereka diperiksa secara kejam dan biadab. Bahkan ketiga rumah Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh pun di obrak abrik (diperiksa) dengan cara yang sangat kasar. Semua ini dilakukan oleh TNI atas perintah Nazir yang berusaha membalas dendam atas tahanan rumah yang dahulu dijatuhkan Gubernur Militer terhadapnya karena selalu melanggar perintah Komandan Divisi. Kerja-kerja tersebut semakin berani dilakukan karena mendapat bantuan dan support yang sangat kuat dari pihak sisa-sisa feodal (Ulèèbalang) di Aceh(7).
Baca Juga : Hardi M Arifin (1938-2023), salah Seorang Kepercayaan M. Natsir telah Kembali ke Rahmatullah
Peristiwa terakhir ini telah menyempurnakan kemarahan orang Aceh yang telah mengorbankan jiwa raga, harta, dan nyawa untuk mewujudkan sebuah republik yang ketika itu hampir mustahil terwujud tanpa adanya kerja keras dari cucu-cucu Sultan Iskandar Muda di ujung barat pulau Sumatera.
- Penarikan mobil dinas yang sedang dipakai Gubernur Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh secara kasar oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim merupakan satu pukulan berat bagi Aceh dan masyarakatnya.
- Pidato Soekarno di kampus Universitas Indonesia Salemba dan di Amuntai Kalimantan Selatan sebagaimana yang ditulis Prof. Dr. Deliar Noer dalam bukunya, “Partai Islam di Pentas Nasional”, yang menyatakan “Tidak mungkin kita memberlakukan syari’at Islam di belahan bumi Indonesia, bagaimana saudara kita yang hindu di Bali, dan bagaimana pula saudara kita yang Kristen di Manado.”
- Gerakan MANIPOLUSDEK dan NASAKOM yang dicetuskan Soekarno di kemudian hari menjadi bukti nyata kalau dia lebih menyatu dengan ideologi komunis dan jauh dari ideologi Islam. Dengan demikian, pantas sudah gerakan perlawanan itu terjadi dari seorang ulama kharismatik yang kokoh ‘aqidah Islamiyah-nya yang didukung 100% oleh bangsanya yang sangat mencintai Islam yang bernama bangsa Islam Aceh.
Akibat daripada perlakuan Jakarta terhadap Aceh seperti tersebut di ataslah yang membuat bangsa Aceh tidak dapat menahan emosi. Dan atas desakan rekan-rekan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh terpaksa mematangkan suasana untuk menuju sebuah pemberontakan. Perkara ini terlihat ketika beliau memimpin Kongres Alim Ulama seluruh Indonesia yang berlangsung pada 11-15 April 1953 di Medan, dan Kongres untuk menilai hasil Kongres Medan yang berlangsung pada 25 - 29 April 1953 di Langsa(8).
Setelah dua Kongres ini selesai, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh yang biasanya didampingi Tgk. Ismail Yakub dan orang-orang PUSA mengadakan tour (perjalanan) berdakwah keliling Aceh dalam rangka pematangan keadaan dan memberikan pengertian tentang negara Islam sebagai langkah awal menuju sebuah pemberontakan(9). Ternyata usaha ini mendapat sambutan yang cukup serius dan meyakinkan dari masyarakat awam. Sumber-sumber kekuatan lama yang tampak kurang bergerak, semisal Pemuda PUSA dan PUSA sendiri, kembali diaktifkan. Organisasi-organisasi massa lainnya seperti Persatuan Bekas Pejuang Islam, Pandu Aceh, dan Pandu Islam, pun mulai diwujudkan dengan mengangkat A. G. Mutiara sebagai pemimpinnya(10).
Ketika suasana semakin hari semakin tidak menentu, banyak pegawai negeri di Aceh yang dahulu cinta pada republik, kini berbalik kepada membenci republik. Mustafa (Abdul Fattah) seorang utusan Kartosuwiryo (Pimpinan DI/TII pusat yang berkedudukan di Jawa Barat) datang membawa pesan imam mereka kepada Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh. Sebenarnya Mustafa telah mengintip jejak dan langkah Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sejak Kongres Alim Ulama di Medan. Kedatangan Mustafa ini menambah lagi keyakinan orang Aceh karena sudah ada kawan untuk bergerak.
Dalam kondisi seperti ini, rekan, sahabat dan murid-murid Teungku Beureu-éh terus mendesak untuk memberontak. Sebuah rapat yang diadakan oleh Ayah Gani, A. R. Hasjim, Tgk. Abdul Wahab Seulimum dan Hasan Ali di Kutaraja memutuskan untuk berontak. Yang paling keras berpendapat demikian adalah Tgk. A. R. Hasjim dan Tgk. Hasan Ali. Sementara ide tersebut berasal dari Tgk. Abdul Wahab Seulimum sehingga tersebar berita yang mencetuskan gagasan pemberontakan melawan rezim Soekarno adalah beliau. Akan tetapi beliau sendiri tidak sempat ikut memberontak karena telah berada di tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima(11).
Baca Juga : Mohammad Siddik, Komandan Diplomasi yang Kembali ke Rumah Besar (bagian 1 dari 4 tulisan)
Di dalam Muktamar Alim Ulama di Medan, Mustafa Rasyid yang menyebut dirinya utusan Kartosuwiryo(12) yang sedang berjihad di Jawa Barat berusaha keras untuk mempengaruhi peserta Muktamar supaya mengikuti Imam mereka. Ajakan ini ternyata termakan bagi Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, dan setelah Muktamar selesai Beliau membawa Mustafa ke Aceh untuk pembicaraan lebih lanjut. Setelah lebih kurang tiga bulan dia berada di Aceh, dia kembali ke Jawa dan tertangkap oleh Jaksa Tinggi Sunarjo di Jakarta. Bersamanya ditemukan surat pengangkatan Teungku Beureu-éh sebagai Gubernur Militer DI/TII oleh Kartosuwiryo untuk wilayah Aceh dan sekitarnya serta bocornya list hitam yang berisikan 300 orang Aceh yang akan ditangkap. Jaksa Tinggi Sunarjo ketika berada di Aceh selalu mengemukakan perkara list hitam tersebut. Ini diduga untuk menakut-nakuti orang Aceh supaya cepat memberontak dan ada alasan bagi Jakarta untuk membumi hanguskan Aceh(13). Dengan demikian, orang-orang Aceh terus berkesimpulan; daripada didahului lebih baik mendahului.
Karena suasana semakin hari semakin panas di bumi Aceh ketika itu, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh terus mendapat desakan untuk memulai dari rakan-rakannya. Maka, tanggal 21 September 1953, sehari setelah Presiden Soekarno membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) di Medan, beliau resmi mengumumkan berdirinya Darul Islam di bumi Aceh dengan membaca sebuah naskah proklamasi dan keterangan politik serta mengumumkannya di Indrapuri Aceh Besar(14). Maka meletuslah pemberontakan maha dahsyat tersebut yang bernama DI/TII Aceh, yang kemudiannya dalam beberapa pertimbangan politik dan ideologi diganti dengan nama Negara Republik Islam Aceh (NRIA).
- Hasan Saleh, (1992), Mengapa Aceh Bergolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 125-126. M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hlm. 24.
- M. Nur El Ibrahimy, Ibid.
- Van Dijk , Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hlm. 282.
- Hasan Saleh, Op Cit, hlm. 136. M. Nur El Ibrahimy, Ibid.
- Hasan Saleh, Op Cit, hlm. 134. M. Nur El Ibrahimy, Op Cit, hlm. 53-54. Nazaruddin Syamsuddin, The Republican Revolt, 1985, hlm. 193.
- M. Nur El Ibrahimy, “Catatan tentang Pemberontakan Kaum Republik”, Serambi Indonesia, Sabtu 13 Agustus 1994. hlm. 4. Informasi lebih lanjut tentang perkara ini silakan baca A. Hasymy, “Dari Khazanah Masa Lalu: Lahir dan Leburnya Propinsi Aceh I”, Waspada, Kamis 15 Desember 1983.
- Hasan Saleh, Op Cit, hlm. 137 - 147. M. Nur El Ibrahimy, Op Cit, hlm. 72 - 74.
- P. Van Dijk, Op Cit, hlm. 284. Untuk lebih sempurna dan akurat tentang DI/TII silakan baca M. Nur El Ibrahimy, “Tanggapan terhadap buku Drs. Cornelis Van Dijk: Darul Islam Sebuah Pemberontakan” Bahagian I & II, Waspada 1 & 2 Desember 1983.
- Dr. A.J. Piekar, Aceh dan peperangan dengan Jepang, Terjemahan Aboe Bakar, buku I, Banda Aceh, PDIA, 1989, hlm. 31.
- Ibrahimy, Tanggapan, Ibid.
- M. Nur El Ibrahimy, Op Cit, hlm.2.
- Nama sebenarnya adalah Abdul Fatah Tanu Wirananggapa, dan ramai pengamat politik yang menganalisa bahwa Mustafa ini bukan utusan Karto Suwiryo, malahan dia lebih condong kepada manusia rekayasa Soekarno dalam rangka menghancurkan Aceh.
- Hasan Saleh, Op Cit, hlm. 148-149.
- Nazaruddin Sjamsuddin (1985), The Republican Revolt, hlm. 83. Untuk mengetahui lebih banyak tentang suka duka beliau dalam rimba silakan baca Tarmilin Usman dan Ameer Hamzah, “Abu Beureu-éh dan Hari-hari Sepi di Mardhatillah” Serambi Indonesia, Jum’at 19 Juli 1996, hlm. 7. Untuk kesempurnaan mengenal beliau silakan baca Abd Wahab Gam, “Mengenang Ketokohan Abu Beureu-éh”, Serambi Indonesia, Selasa 11 Juni 1996.