Mengenang Keluarga Syuhada Dr. Neezar Rayyan (Bagian 1)

DR. Neezar Abdul Kader Mohammed Rayyan (6 Maret 1959 – 1 Januari 2009), atau biasa orang mengenalnya dengan nama Neezar Rayyan rahimahallah adalah seorang akademisi yang menjadi salah satu komandan militer senior Hamas yang tewas bersama dengan anggota keluarganya saat agresi militer Israel 2009.


Sampai hari ini semenjak syahidnya keluarga saya, masih banyak orang bertanya seperti apa kejadiannya? Bagaimana saat kabar itu sampai kepadamu? Apa yang kamu katakan? Apa yang dilakukan saudara-saudaramu, nenekmu dan paman-pamanmu?

Dua tahun yang lalu saya sudah pernah menjawabnya dalam tulisan sangat panjang sebagaimana saya menjawabnya hari ini. Dan sekarang saya mengulangnya kembali sebagai jawaban dari pertanyaan yang masih ditanyakan oleh orang-orang kepada saya. Dan ijinkan saya untuk bercerita sesuatu yang mungkin sangat menyentuh hati.

Bismillahirrahmanirrahim.

Betapa sulit menggambarkan saat-saat itu. Suara dentuman bom, mobil ambulance dan suara-suara tentang kabar kematian datang silih berganti menghampiri telinga.

Bagi orang yang sadar pun akan sangat sulit merinci nama-nama korban yang datang silih berganti tentang orang-orang yang dicintainya, saudara, sahabat, tetangga, kawan maupun teman seperjuangannya.

Kehidupan yang sangat sulit. Sekedar hidup saja sudah berarti perlawanan dan jihad. Makan, minum, tidur, dan bahkan buang hajat pun sangat sulit.

Pada hari ke-enam pertempuran, antara waktu dhuhur dan ashar, saya bilang ke istri saya,

"Saya mau tidur barang dua jam. Tolong jangan bangunkan saya apa pun yang terjadi. Saya mau tidur dulu."

Baca Juga : Kisah Keluarga As-Syahid DR. Nezar Rayyan

Saya pun tidur sambil merasakan dentuman bom di sekitar rumah, sedang rumah kami terasa bergoncang dan bergetar oleh ledakan seakan mengigil ketakutan atau sedang merasa seperti apa yang sedang menimpa rumah-rumah yang lain.

Saya tidur tidak lama karena istri saya datang membangunkan tidur saya dan berkata,

"Ibumu ada di dalam rumah, beliau ingin mengucap salam untukmu!"

"Bukankah tadi saya sudah bilang jangan bangunkan saya? Semoga Allah mengampunimu."

"Tadi ibu bilang, panggilkan anak-anak, saya ingin mengucap salam pada mereka."

Saya berkata pada diri sendiri, "Hai pemuda, dunia adalah peperangan, boleh jadi besok malam adalah malam terakhirmu, berdiri dan ucapkan salam pada ibumu!"

Saya pun beranjak dan mengucapkan salam kepada ibu lalu beliau rahimahallah menciumku dua kali. Sungguh ciuman yang tak mungkin jiwa ini melupakannya sampai kapan pun meski ia telah berkalang tanah.

Saya menuangkan segelas teh untuknya dan kami berbincang-bincang. Saya bercerita tentang Ghassan, saudara kami, bagaimana ia berjihad dan semangatnya melakukan ribath saat-saat terjadinya pertempuran. Beliau pun merasa rida kepadanya dan mendo'akan kebaikan untuknya. Kemudian saya berkata,

"Bu, kantukku sudah hilang dari mata, gas di rumah habis, jadi saya mau keluar beli gas…"

Beliau berkata,

"Semoga Allah meridaimu."

Itulah saat terakhir kali saya melihat ibu rahimahallah.

Di jalan saya bertemu dengan paman saya, ternyata ia juga mau membeli gas, maka saya pun ingin membelinya bersama-sama. Ia bilang kepada saya agar menunggu sebentar.

Saat saya menunggunya tiba-tiba saya mendengar suara ledakan bom yang sangat dekat!!

Baca Juga : Israel Babak Belur, HAMAS: “Telah Datang Waktu Pembebasan Al-Quds”

Saya lalu melihat ke arah ledakan, sedang tempat saya dengan rumah keluarga berjarak sekitar lima menit, ternyata ledakan itu sumbernya dari sana!

Saya pun bergegas menuju ke sana dan hanya ada satu hal dalam pikiran saya, pasti bom itu menimpa keluarga saya!

Ledakan tersebut berasal dari rudal-rudal "drone" (rudal yang dibawa oleh pesawat tak berawak, penduduk Gaza menyebutnya sebagai rudal israel terlaknat pembawa petaka, penerj.)

Beberapa saat setelah saya berjalan sekitar dua ratus meter menuju tempat ledakan, terasa oleh kakiku bahwa bumi bergemuruh, sedang suara ledakan masih terngiang. Belum pernah saya mendengar suara ledakan sekencang itu. Asap tebal dan debu bergulung-gulung ke atas seperti telah terlempar menuju langit! 

Saya mencoba untuk menenangkan hati. Kemudian saya berlari sedang saya sudah tak memikirkan lagi bagaimana pakaian saya saat itu. Saya langsung merasa sakit dan sekujur tubuh terasa demam!

Saat saya mendekati rumah, saya bertemu dengan saudara saya Muhammad dan langsung bertanya tentang keadaan keluarga. Ia menjawab,

"Ayah di dalam rumah. Semua keluarga ada di dalam rumah!"

Sungguh jawabannya bagaikan ledakan bom! Ia berkata lagi,

"Ayo kita mencarinya, mereka semua mendapat syahid, Asyhadu alla ilaha illallah wa anna Muhammdan Rasulullah."

Saya berlari mendekati rumah sedangkan orang-orang melihat di pinggir-pinggir jalan tak ada yang mendekat.

Saya pun masuk sedang orang-orang ada di belakang saya. Saya coba mencari seseorang yang masih hidup. Saya berkata dalam hati bila ada di antara mereka yang saya temukan masih hidup berarti mereka semua masih hidup, tapi bila saya temukan syahid berarti mereka semua telah syahid, sebab mereka tidak akan meninggalkan sebagian yang lain!

Lalu saya berjalan berkeliling, saat itulah saya menemukan ayahanda dengan kepala beliau yang tertimpa bangunan rumah. Posisi beliau terbaring di antara reruntuhan rumah.

Saya pun memegang dua tangannya, ternyata belum dingin. Lalu saya merasa seakan kedua tangannya merangkul tanganku, menghangatkan jiwaku dan berkata kepadaku!

Adapun saya sendiri hanya bisa berkata,

"Semoga Allah mengampunimu ayah.."

Pada saat demikian, orang-orang berteriak,

"Ayahmu tidak di rumah..!"

Tapi saya bersumpah kepada mereka, "Demi Allah ini ayah."

Lalu saya pun mengangkat tangan kanan beliau, ternyata ada Usamah dalam dekapannya!

---

Diterjemahkan dari akun Facebook Baraa Neezar Rayyan