Menggagas Solusi Krisis Air Bersih di Indonesia

Sejumlah wilayah di tanah air mungkin mengalami krisis air bersih sebagai dampak kekeringan karena terpaan El Nino. Kesadaran untuk bersama-sama memikirkan solusi tentang bagaimana mengatasi krisis air bersih itulah yang mendasari Bright Institute menggelar diskusi bertajuk “Climate Change Talk”, pada Kamis, 3 Agustus 2023, di Horison Suites and Residence, Jakarta Selatan. Diskusi bertema “Atasi Krisis Air Bersih melalui Sinergi Antar Pemangku Kepentingan” itu punya motivasi bahwa ancaman krisis air bersih adalah persoalan serius, karena air adalah kebutuhan dasar manusia.

Menurut soalnya Direktur Eksekutif Bright Institute, Yanto, banyak studi yang mengatakan negara-negara berkembang cukup rentan terhadap krisis air. Krisis air bersih tidak hanya bisa diselesaikan secara ekonomi dan keuangan, tetapi ada hal lain yang bisa dilakukan untuk menahan krisis air.

“Isu sosial saya kira adalah sesuatu yang sangat berharga untuk kita pikirkan dalam rangka bersama-sama mengatasi krisis air. Melalui forum ini kita akan berdiskusi,” ujarnya.

Kepada sabili.id, usai acara diskusi, Yanto mengatakan, adalah penting untuk kita bisa menjawab tentang bagaimana menyediakan infrastruktur yang bisa menampung air bersih. Hal itu untuk mengantisipasi krisis air yang mungkin terjadi. Di dalam manajemen, ketersediaan pengadaan dan biaya menjadi hal yang penting, karena begitu pentingnya air bagi kehidupan kita.

“Air yang tersedia sering tidak memenuhi kualitas untuk menjadi air yang siap diminum. Kita perlu proses air itu dan proses itu memerlukan biaya, sementara kondisi pemerintah kita sekarang ini juga lebih banyak kekurangan dana untuk hal-hal seperti itu. Akan tetapi, pemerintah perlu memrioritaskan air minum sebagai hak rakyat yang harus dipenuhi. Itu lebih utama menurut saya dan sangat penting dirumuskan dalam berbagai kebijakan, misalnya meningkatkan anggaran untuk penyediaan air bersih,” katanya.

Ia menyebut, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi krisis air bersih. Yang pertama, kata dia, adalah secara serius melakukan transformasi perusahaan-perusahaan air minum. Artinya, pemerintah mengarahkan agar kita bisa secara serius membuat strategi tentang bagaimana menyediakan air dalam jangka panjang. Antara lain membuat infrastruktur yang baik. Lalu, menerapkan inovasi-inovasi dalam teknologi. Termasuk Kita perlu juga menyadarkan pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat dalam pengadaan air bersih.

“Jakarta punya kondisi khusus. Satu, karena memang Jakarta ini tidak memiliki air baku. Selama ini air diambil dari Citarum lewat waduk. Ini harus dijaga oleh pemerintah, yaitu untuk menyediakan air sampai ke tempat yang paling jauh. Saya melihat ada usaha yang serius dari pemerintah melalui Perusahaan Air Minum, yaitu meningkatkan cakupan, dan sejauh yang saya tahu, Perusahaan Air Minum sedang berupaya secara masif dan sistematis untuk melakukan inovasi dalam pembiayaan untuk memastikan pemenuhan segala kebutuhan yang diperlukan untuk mengalirkan air. Itu sudah dilakukan dan Gubernur DKI Jakarta tahun 2022 – waktu itu pak Anies Baswedan – melakukan segala upaya antara lain lewat kerja sama dengan pihak mana pun untuk memastikan bahwa tahun 2030 semua warga Jakarta mendapatkan air bersih,” tutur Yanto.

Lihat dengan Jernih

Diskusi kemarin menghadirkan tiga pembicara. Meike Kencanawulan Martawidjaja yang mewakili Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Muhammad Reza Sahib (Koordinator Nasional KRuHA); dan Purba Robert Sianipar dari Dewan Sumber Daya Air Nasional.

Di kesempatan itu, Reza Sahib mengatakan, persoalan krisis iklim yang berkaitan dengan krisis air harus dilihat secara jernih. Sering kali, krisis air dilihat sebagai sumber bencana. Padahal, jika kita lihat secara jernih, air itu jika dikelola dengan baik sebenarnya akan memberikan kontribusi terhadap penyelesaian krisis iklim.

“Di banyak negara, khususnya Indonesia, saya kira krisis air banyak terjadi di wilayah yang menurut penelitian ilmiah disebutkan bahwa bisnisnya mengalami krisis manajemen, krisis pengelolaan, krisis alamiah. Berbeda dengan Afrika yang merupakan kawasan yang lebih kering. Sumber daya Indonesia sebenarnya kaya. Tetapi sumber daya yang berlimpah itu salah kelola. Saya kira itu yang perlu dipertegas pertama,” tegas Reza.

Keluhan atas krisis air itu, menurut Reza, juga tak bisa dilepaskan dari proses-proses politik. Pihaknya melihat adanya proses dipolitisasi untuk urusan air menjadi semata-mata persoalan ekonomi dan teknis. Padahal sebenarnya tidak begitu, karena sesungguhnya sumber daya kita besar.

“Pemerintah sangat pelit dalam mengalokasikan anggaran untuk pabrik pengelolaan air untuk rakyat. Indonesia adalah negara yang saya kira belanja airnya paling pelit dan itu akan berdampak. Akhirnya, di tingkat bawah air diperdagangkan di bawah meja. Sejatinya di Indonesia air tidak boleh diperdagangkan. Tetapi kita lihat krisis air ini justru melahirkan ‘Pasar Air’ lewat komodifikasi sumber-sumber airnya. Lalu, privatisasi pabriknya dan sekarang saya kira masih berlangsung. Kami yakin ke depan hal itu akan melahirkan potensi-potensi konflik dalam masyarakat,” ucap Reza.

Reza pun menyampaikan, krisis yang kita alami adalah krisis manajemen. Bukan krisis alamiah. Krisis itu kian hari semakin tinggi sampai ke tahap finansialisasi air. Ia menyoroti, krisis dan problem air itu justru melahirkan problematika baru. Sebab, pengelolaan air lantas dijadikan aset-aset finansial baru.

“Kita lihat, Jakarta itu contoh paling nyata tentang bagaimana daerah dengan anggaran pabrik yang luar biasa besar tetapi justru tersedot untuk biaya meng-outsourcing. Tanggung jawab pemerintah dan swasta di Jakarta adalah mengelola air untuk masyarakat. Tetapi kita tahu problemnya adalah bagaimana pemerintah terpaksa menalangi hutang dari kerja sama antara pemerintah dengan swasta yang jelas-jelas gagal tetapi dicitrakan seolah-olah berhasil,” tegas Reza.

Mengikuti prinsip ekonomi itu bukan berarti air bisa diberlakukan sebagai barang ekonomis seperti yang sekarang terjadi. Reza juga menegaskan, semua problem yang ada di Indonesia adalah problem sosial dan politik. Hal itu lantas dibaca seolah-olah satu-satunya solusinya adalah investasi. Indonesia berada dalam persimpangan jalan antara memperlakukan warganya sebagai rakyat dan warga negara, atau sebagai konsumen dalam konteks pasar. Sebab, institusi-institusi publik beroperasi persis cara pasar beroperasi.

“Problem secara mendasar sendiri tidak pernah bisa diatasi. Kami menyebutnya, ini sebenarnya sarana perpanjangan portofolio. Kualitas aksesnya tidak ada peningkatan signifikan tetapi melahirkan keuntungan bagi satu pihak dan kerugian di pihak lain yaitu pabrik. Saya kira itu satu kasus sendiri. Peran warga negara lebih besar di Indonesia dengan misalnya dibatalkannya Undang-Undang air, lalu terbentuknya norma hak atas air. Di pasal 33 itu tidak ada definisi hak atas air,” katanya.

Sisi Hulu dan Hilir

Sedangkan Purba Robert Sianipar menyebut, untuk mengambil air, masyarakat mencari sumber-sumber air dan bisa mendapatkan air untuk kehidupan. Antara lain dengan mengambil air tanah. Mereka memasang pompa langsung dan pengambilan air dengan cara ini belum diregulasi secara tepat dan efektif walaupun sudah ada peraturan di DKI dan kota-kota lain.

“Pengambilan air tanah yang berlebihan ini menyebabkan penurunan permukaan tanah. Contohnya, Jakarta menunjukkan tingkat penurunan tanah yang paling cepat di seluruh kota besar di Asia. Jakarta itu 1 sampai 15 cm per tahun kecepatan penurunannya. Artinya, dalam 10 tahun tanah di beberapa tempat di Jakarta bisa turun hingga satu setengah meter. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan,” katanya.

Di bagian lain, Meike Kencanawulan Martawidjaja mengatakan, selain pelaksanaan kegiatan, pembangunan infrastruktur menggunakan kendaraan APBN. Lalu, Menteri PUPR melihat ada kepentingan untuk mengembangkan pilihan alternatif selain pendanaan dari APBN ataupun APBD. Lalu apakah polanya sama jika pembiayaan bersumber dari APBN dengan APBD. Dari dasar itu, dibentuklah Direktoral Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tugas utamanya terutama mengembangkan pola-pola kegiatan alternatif selain pembiayaan APBN.

Jika bicara tentang air, menurut Meike, kita harus bicara dari dua sisi. Pihaknya biasa menyebut sisi hulu dan sisi hilir. Sisi hulu terkait dengan ketersediaan air baku. Di situ kita bicara tentang kapasitas tampung. Artinya, terkait bangunan-bangunan penampungan air.

“Target-target ini adalah dalam upaya untuk memperkecil disparitas tersebut. Salah satunya di Kementerian PUPR adalah pembangunan bendungan prioritas. Peningkatan kapasitas tampung ini sangat terkait dengan pemanfaatan hilir. Ada air untuk irigasi dan ada juga untuk air minum. Ini tidak terlepas dari ketersediaan air baku,” katanya.

Meike menyebut, ada gap antara kebutuhan pembiayaan dengan adanya target yang harus dipenuhi. Tetapi di sisi lain juga ada keterbatasan pendanaan yang dialokasikan untuk pembangunan keairan. Sementara, ada juga satu sisi yang lain yaitu memiliki pembiayaan yang bisa diakses. Di antaranya adalah dana dari badan usaha ataupun perbankan. Terutama ketika kegiatan perekonomian menurun, semisal pada masa pandemi. Sehingga, banyak dana badan usaha atau perbankan yang tidak dimanfaatkan.

“Dari tiga titik ini, ada target pembangunan infrastruktur yang harus dicapai, ada keterbatasan pendanaan pemerintah, sementara ada potensi pembiayaan yang bisa diakses dalam pembiayaan infrastruktur ini, maka kami mengemukakan formulasi pembiayaan alternatif. Di dalam formulasi ini kita melakukan bersama dengan Kementerian atau lembaga terkait, misalnya Kementerian Keuangan, Bappenas, dan lain-lain. Secara garis besar, terutama yang saat ini ditangani Direktoral Jenderal Pembiayaan Infrastruktur adalah model pembiayaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha pendidikan,” kata Meike.

Menurut Meike, perlu juga kita melihat target pada air minum, terutama untuk pelayanan air minum. Kita harus melihat target masyarakat yang akan dilayani. Misalnya masyarakat di Tarakan yang berpenghasilan rendah, itu harus menjadi tanggung jawab pemerintah dalam penyediaan airnya. Hal itu tidak bisa kita serahkan ke lembaga non pemerintah. Jadi, untuk daerah-daerah yang memang ekonominya menengah ke atas yang memungkinkan daerah-daerah itu bisa recovery sendiri dari pelanggannya atau dari target yang akan dilayani, maka daerah-daerah itu bisa ditawarkan kepada badan usaha, karena nanti diharapkan bisa memberikan indikator kelayakan yang “cukup baik”.

“Kalau istilahnya hulu dan hilir, dari hulu adalah bagaimana pemerintah melakukan perbaikan dengan dengan adanya upaya-upaya melahirkan konsep penanganan krisis. Terutama di Jawa yang ketersediaan airnya terbatas tetapi penduduknya banyak. Di sisi hilirnya, kita coba untuk melakukan efisiensi pemanfaatan. Ada contohnya. Salah satunya dari irigasi proyek haldovation. Itu adalah satu proyek yang menggunakan Smart Technology, sehingga pemanfaatan air irigasi itu bisa seefisien mungkin. Tidak boros air. Teknologi-teknologi itu yang kita gunakan untuk beradaptasi terhadap Climate Change ini,” kata Meike kepada sabili.id dalam wawancara usai acara.

Adalah penting juga tentang bagaimana kita membuat perencanaan dari aspek teknis. Yaitu supaya secara energi bisa efisien, secara pelayanan kepada masyarakat juga memenuhi standard kualitas pelayanan masyarakat. Jadi, baik di sektor hulu maupun hilir kita coba melakukan adaptasi dan juga mitigasi.

“Pemerintah tidak sendiri. Ada juga masyarakat dalam mengatasi penanganan krisis air bersih. Ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam menangani krisis air bersih. Masyarakat itu sebagai pengguna tetapi juga sebagai ujung tombak. Jadi, tergantung dari model pendekatannya. Kalau di model pendekatan pembangunan, mungkin lebih banyak peran pemerintahnya terutama dalam melakukan efisiensi. Di hilir, itu pasti peran masyarakat diperlukan. Yaitu bagaimana masyarakat mempunyai kesadaran untuk menggunakan air secara bijak dan tidak boros,” tuturnya.

Bukan hanya di sir minum. Di irigasi juga sama prinsipnya. Jadi, peran masyarakat sangat menentukan di dalam upaya kita beradaptasi terhadap perubahan iklim. Maka, pemberdayaan masyarakat menjadi satu hal yang penting.