Mengukur Cinta di Dalam Islam
Bagi orang yang sedang dilanda asmara, cinta pada kekasih adalah segalanya. Berbagai upaya dilakukan untuk menyenangkan hati sang pujaan. Bahkan ada orang berkata, “Gunung akan kudaki, lautan kan kusebrangi, demi cintaku pada mu.” Bagi para pemburu kekuasaan, rasa cinta pada kedudukan begitu menggebu, sehingga mereka rela mengorbankan apa saja. Sedangkan bagi para pencari kenikmatan dunia, cinta pada harta dan wanita menjadi faktor pendorong utama.
Bagaimana hakikat cinta dalam Islam?
Allah swt menjelaskan prinsip cinta dalam surat At Taubah ayat 24:
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang fasik.” – QS At Taubah:24
Intinya, rasa cinta harus dibina di atas landasan cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan Jihad di jalan-Nya. Rasa cinta orang beriman terhadap apapun tidak boleh melebihi prioritas cintanya pada tiga hal tersebut. Rasa cinta seperti ini yang bersemi di kalangan para sahabat, generasi pertama Islam. Mereka juga saling mencintai, dan rasa cinta ini tumbuh dari akar keimanan, yang kemudian menumbuhkan pohon persaudaraan dan persatuan yang begitu kokoh. Sejarah mencatat, kecintaan para sahabat pada Allah, Rasul, dan jihad terwujud dalam bentuk pengorbanan yang luar biasa.
Simaklah doa yang dilantunkan oleh Abdullah bin Jahsy, saat perang Uhud berkecamuk: “Tuhanku, berilah aku musuh yang gagah perkasa. Aku berusaha membunuhnya, dan ia berusaha membunuhku. Kemudian ia memotong hidung dan telingaku. Kalau nanti aku bertemu dengan-Mu, Engkau akan bertanya, ‘Siapa yang memotong hidung dan telingamu?’ Maka aku akan menjawab, bahwa keduanya terpotong ketika aku berjuang di jalan-Mu dan jalan Rasulullah. Ketika itu Engkau akan mengatakan, “Engkau benar.”
Doa Abdullah bin Jahsy melukiskan betapa dalam cintanya pada Allah, Rasul, dan jihad. Ia sama sekali tidak meminta iming-iming pahala, hadiah, dan pembalasan apapun. Sebagai pecinta sejati, ia justru berdoa agar dapat bertemu Rabb-nya dengan membawa kebanggaan yang ia telah korbankan demi cintanya.
Dalam lanjutan riwayatnya, permohonan tulus Abdullah itu dikabulkan Allah swt. Beliu syahid di medan Uhud. Telinga dan hidungnya benar-benar terpotong oleh senjata musuh. Seperti diungkapkan Sa’ad bin Abi Waqqash: “Di senja hari, aku melihat hidung dan telinga Abdullah bin Jahsy tergantung pada seutas tali.” Subhanallah…
Rasa cinta yang luar biasa juga ditunjukan oleh Ubay bin Ka’ab. Suatu ketika ia mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang menimpa seorang muslim pada tubuhnya, kecuali karena hal itu, Allah akan menghapus dosa-dosanya.” Ubay bin Ka’ab berkata, “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu untuk membiarkan demam dari tubuh Ubay bin Ka’ab sampai ia menemui-Mu. Tapi jangan Engkau hilangkan dia dari mendirikan shalat, berpuasa, haji, umrah, dan jihad di jalan-Mu.”
Sejak itu, demam yang diderita Ubay bin Ka’ab tak pernah hilang sampai ia meninggal. Dan selama sakitnya, Ubay bin Ka’ab tetap mendirikan shalat, berpuasa, menunaikan ibadah haji dan umrah, serta berjihad fi sabilillah.
Dalam riwayat Ath-Thabrani, Aisyah ra menceritakan ada seorang laki-laki datang menemui Nabi. Laki-laki itu bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku lebih mencintaimu dari diriku dan anakku sendiri. Bila aku mengingatmu saat berada dirumah, aku tidak mampu menahan rindu, dan ingin dapat segera melihatmu. Tapi bila kuingat kematianku dan kematianmu, aku tahu di surga kedudukanmu setara dengan para nabi. Aku takut tidak dapat lagi melihatmu.”
Mendengar pernyataan pemuda itu, Rasul terdiam. Sampai beberapa waktu kemudian turunlah surat An-Nisa, ayat 69: “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Dalam kesempatan lain, Anas bin Malik pernah menemui Nabi saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, kapan datangnya kiamat?” Sebelum menjawab, Rasul melontarkan pertanyaan, “Apa yang telah kau persiapkan?” Anas menjawab, “Tidak ada. Kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasul bersabda, “Di akhirat, Anda akan bersama-sama dengan yang Anda cintai.”
Mendengar sabda Rasul tersebut, hati Anas berbunga-bunga. “Tak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan kami mendengar perkataan itu. Aku cinta pada Nabi, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap dapat bersama-sama mereka di akhirat,” katanya.
Yang tak kalah menarik adalah kisah Thalhah bin Barra ra. At-Thabrani meriwayatkan awal pertemuan Thalhah dengan Rasulullah. Thalhah bin Barra mencium dan memeluk kaki Rasul seraya berkata, “Ya Rasulullah, perintahkan aku apa saja yang engkau senangi, dan aku tidak akan membantahnya.”
Rasul terkejut mendengar ucapan Thalhah. Mengira permintaan itu bukanlah masalah serius, karena Thalha saat itu masih tergolong kanak-kanak, Rasul berkata, “Pergilah, dan perangilah ayahmu.”
Ternyata, Thalhah tidak basa-basi. Begitu mendengar perintah Rasul, serta merta ia berdiri dan bergegas ingin memenuhi perintah tersebut. Maka Rasul segera memanggilnya kembali, “Kemarilah, saya tidak diutus untuk memutus silaturahmi.”
Tahun demi tahun berlalu. Suatu saat, Thalhah sakit keras. Rasul pun datang menjenguknya. Ketika akan pulang, beliau berpesan pada keluarga Thalhah agar mereka memberitahu beliau secepatnya bila kondisi Thalhah semakin memburuk. Rasul menyatakan ingin menyaksikan jenazah Thalhah, bisa menyolatinya, mendoakannya, dan ikut menyegerakan pemakamannya.
Namun ternyata, pesan Rasul itu tidak dipenuhi oleh keluarga Thalhah. Keluarga Thalhah dari kalangan Bani Salim bin Auf memang sengaja tidak memberitakan kematian Thalhah kepada Nabi saw. Mengapa? Itulah yang diwasiatkan Thalhah kepada keluarganya. Menjelang wafat, Thalhah berpesan, “Bila aku mati, segera kuburkanlah aku, segera pertemukan Aku dengan Allah swt. Dan jangan beritahu Rasulullah. Aku khawatir bila di perjalanan beliau mendapat serangan dari orang yahudi, karena akan menemui jenazahku.”
Malam pun berlalu, dan tak seorang pun dari keluarga Bani Salim yang menemui Rasulullah untuk mengabarkan kematian Thalhah. Rasul baru mendengar berita duka tersebut pada pagi harinya. Beliau segera datang ke makam Thalhah dan mengangkat kedua tanganya. Para sahabat yang berbaris di samping mendengar ketika Rasul berkata, “Ya Allah, Engkau tersenyum menemui Thalhah, dan Thalhah tersenyum menemui-Mu.”
(M. Lili NA)
Sumber: Hayatus Shahabah, Al-Kandahlawi
Judul asli: Mengukur Cinta
Disadur dari majalah Sabili Edisi No 17 TH. VI MARET 1999/ 22 DZULQA’DAH 1419