Menjadi Single Parent yang Tangguh
Tentu tak ada pasangan suami-istri yang ingin pernikahan mereka gagal dan berakhir dengan perceraian. Baik cerai karena kematian maupun karena talak. Apalagi, perceraian akan berdampak munculnya status single parent. Namun, kondisi single parent kadang menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihindari.
Hal itu dituturkan Praktisi Parenting, Ustdaz Bendri Jaysurahman, dalam perbincangan dengan sabili.id. Menurut dia, ada banyak kategori single parent. Pertama, single parent karena ditinggal mati (meninggal, red) suami atau istri. Kedua, karena perceraian. Ketiga, karena LDR (Long Distance Relationship atau hubungan jarak jauh, red) lantaran suami bekerja di lokasi yang jauh dan dalam waktu lama. Keempat, karena suami cuek, sehingga keberadaannya di rumah antara ada dan tiada.
“Empat hal itu sejatinya sudah ada dalam sejarah. Mulai dari single parent karena ditinggal wafat, misalnya yang dialami oleh Bunda Aminah. Ternyata hal itu justru membuktikan bahwa single parent bukan menjadi simbol gagal dalam pengasuhan. Buktinya anaknya menjadi seorang nabi, bahkan menjadi lelaki terbaik sepanjang masa. Termasuk juga kita tahu (status) single parent yang dialami oleh Ibunda Hana binti Faqudz, ibunda (dari) Maryam. Ia juga ditinggal wafat oleh Imran, tetapi juga menghasilkan wanita terbaik. Maka, ini menjadi bukti bahwa single parent bukan label gagal dalam pengasuhan,” urainya.
Ustadz Bendri mencontohkan, single parent karena perceraian, misalnya seperti yang dialami Asma’. Ia diceraikan oleh suaminya, Zubair bin Awwam. Tetapi, kemudian kita ketahui anak-anaknya menjadi anak-anak yang berkualitas, semisal Abdullah bin Zubair dan Musab bin Zubair. Ini membuktikan perceraian bukan menjadi sebab yang pasti akan mengakibatkan gagal dalam pengasuhan.
“Atau single parent karena ditinggal bepergian jauh oleh suaminya, seperti yang dialami oleh Ibunda Hajar (ibunda Nabi Ismail, red). Juga seperti para salafus shalih yang pergi untuk berjihad. Ini juga membuktikan bahwa ditinggal pergi jauh bukan menjadi halangan dalam pengasuhan,” tuturnya.
Tentang single parent yang terjadi karena sang suami yang cuek atau tidak peduli, Ustadz Bendri menyebut, di dalam catatan sejarah memang tidak ada. Sebab, biasanya yang ada di dalam catatan sejarah hanya laki-laki yang berkualitas saja. Namun, jika pun terjadi kasus single parent akibat kondisi seperti itu, juga bukan berarti bahwa single parent pasti akan gagal dalam pengasuhannya.
Penuhi Dua Kebutuhan Anak
Lantas bagaimana caranya? Ustadz Bendri mengurai konsep tentang pengasuhan yang berhasil. Konsepnya, dalam mengasuh anak itu cukup penuhi 2 kebutuhan anak.
“Kebutuhan pertama, wahmiyah yang artinya adalah persepsi. Persepsi tentang sosok ayah itu harus ditampilkan oleh seorang ibu. Di dalam hal ini tentang bagaimana ibu menjaga lisan untuk tidak merusak persepi anak akan ayahnya. Misalnya seorang ibu yang ditinggal wafat atau cerai oleh suaminya, maka penuhi atau lakukan adab yang diajarkan Allah SWT,” katanya.
Adab tersebut diajarkan Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 237 :
“Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu”
Ustadz Bendri menegaskan, ayat itu sebenarnya ditujukan kepada pasangan yang sudah bercerai, tetapi secara umum diingatkan, jangan lupakan kebaikan di antara kalian, sesama pasangan.
“Kenapa ditekankan ‘Jangan lupakan kebaikan’? Hal itu karena kecenderungan bahwa seorang berstatus single parent itu biasanya tanpa sadar memberikan stigma negatif, misalnya dengan menyebut keburukan-keburukan bapak anak-anaknya. Itu yang merusak. Itu yang menjadikan kesan yang tertanam dalam mindset anak bahwa bapaknya itu jelek, dan pada akhirnya akan mempengaruhi anak untuk menolak nilai-nilai kebapakan, anak tidak mau menjadi seperti bapaknya, dan lain-lain,” tegasnya.
Menurut dia, seorang ibu harus selalu menjaga persepsi yang baik di dalam diri anaknya bahwa bapak si anak adalah orang yang baik. Jangan biarkan sang anak punya persepsi yang buruk tentang ayahnya. Seorang ibu yang membiarkan anaknya membenci ayahnya sendiri, baik itu karena support dari ibunya atau tumbuh sendiri tetapi ibunya membenarkan, berarti mendukung anak menjadi durhaka. Sebab, dengan tumbuhnya persepsi yang buruk itu, tanpa sadar anak menjadi durhaka kepada orangtuanya (bapaknya).
“Tidak ada satupun anak-anak di muka bumi ini yang jiwanya sehat jika ia membenci salah satu orangtuanya. Jika membenci salah satu orangtuanya, anak akan mengalami gejolak dalam jiwanya. Bahkan pada akhirnya dapat menjadikan anak melakukan penyimpangan perilaku (karena trauma),” ucapnya.
Hampir semua anak-anak yang memiliki keputusan yang buruk di masa depan, ketika ditelusuri perjalanan hidupnya di masa lalu, terdapat luka pengasuhan. Di dalam hal ini, anak tersebut membenci salah satu dari orangtuanya.
Yang kedua, lanjut Ustadz Bendri, setelah anak diberikan persepsi, anak butuh diberikan stimulasi. “Dia (anak, red) tidak punya figur bapak, tetapi itulah yang dialami Nabi Ismail. Tidak mempunyai figur bapak. Tetapi, dia bisa kagum dengan bapaknya melalui lisan Hajar, dan ketika dia butuh figur bapak (dia mendapatkannya) dari bani Jurhum,” ujarnya.
Bani Jurhum adalah suku yang berasal dari Yaman yang menetap di Makkah. Bani Jurhum itu yang mengajarkan nilai kelaki-lakian.
Jadi, menurut Ustadz Bendri, tidak mesti ayah kandung yang memberikan stimulasi. Sosok ayah kandung diberikan kepada anak secara persepsi, sedangkan untuk menggerakkan nilai kelaki-lakian, bisa dengan lingkungan.
“Misalnya dengan mengamanahkan anak itu ke saudara laki-laki yang peduli dengan orangtua sang anak, atau bisa juga kepada orang saleh yang ada di sekitar mereka. Juga dengan mengikutkan anak ke komunitas-komunitas, misalnya (kalau laki-laki) ke klub sepak bola, klub bela diri, dan lain-lain. Hal-hal di atas bisa menjadi stimulasi untuk anak,” kata Ustadz Bendri.
Jadi, sebenarnya ada banyak cara untuk menstimulasi anak. Ingin tahu cara-cara yang baik untuk menstimulasi anak? Simak perbincangan dengan Ustadz Bendri Jaysurahman tentang tema tersebut, selengkapnya di Youtube channel sabili.