Menjaga Ketenteraman Pemilu 2024 dalam Perspektif Islam, Kesalehan Digital di Era Keterbukaan Informasi
Di tengah maraknya revolusi informasi digital, masyarakat global kini dihadapkan pada paradoks yang menarik. Di satu sisi, arus informasi yang tak terbatas membuka lebar pintu bagi pengetahuan dan komunikasi, sementara di sisi lain, ia menimbulkan potensi disinformasi dan polarisasi yang signifikan. Era digital yang ditandai dengan mudahnya akses instan terhadap berbagai sumber informasi ini, telah secara substansial mengubah lanskap komunikasi kita. Terutama dalam konteks politis semisal Pemilu 2024.
Di dalam konteks ini, terdapat kecenderungan meningkatnya distribusi berita palsu, ujaran kebencian, dan interaksi konfrontatif di antara pendukung berbagai pihak politik. Hal itu dapat mengganggu ketenteraman dan kestabilan sosial. Kondisi ini mendesak kita untuk mempertimbangkan ulang etika komunikasi digital kita, khususnya dari perspektif Islam.
Era digital telah mengubah cara interaksi sosial. Pertukaran informasi secara luas terjadi melalui media digital. Sehingga, muncul kebutuhan mendesak terhadap konsep “kesalehan digital”. Konsep kesalehan digital, yang menekankan pada penggunaan informasi yang etis dan bertanggung jawab sejalan dengan ajaran Islam, muncul sebagai solusi kritis dalam menghadapi tantangan di era digital ini. Kesalehan digital dalam konteks ini bukan hanya menyangkut etika komunikasi, tetapi juga mencakup aspek verifikasi dan diseminasi informasi yang bertanggung jawab.
Kesalehan digital dapat didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip etis dan moral dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Ini bukan hanya meliputi aspek perilaku individu dalam berkomunikasi secara online. Tetapi juga mencakup pertimbangan etis dalam berbagi dan menganalisis informasi.
Di dalam konteks Islam, kesalehan digital merujuk pada kesesuaian perilaku digital dengan ajaran Al Qur’an dan Hadits. Kesalehan digital memastikan bahwa tindakan tersebut mencerminkan nilai-nilai semisal kejujuran, keadilan, dan kesopanan.
Baca juga: Siapa Malin Kundang di Hadapan Ibu Pertiwi?
Kepentingan dari kesalehan digital terutama terlihat dalam kemampuannya untuk menjaga integritas sosial dan moral dalam lingkungan yang semakin didominasi oleh media digital. Di dalam konteks yang lebih luas, hal ini mencakup pertanggung jawaban atas informasi yang disebarkan, perlindungan terhadap penyebaran fitnah, dan upaya memastikan bahwa interaksi online tetap menghormati martabat dan privasi individu. Al Qur’an menekankan pentingnya etika komunikasi dengan firman-Nya dalam Surah Al-Hujurat (49:11), yang melarang umat Islam mencela satu sama lain atau memberikan julukan yang buruk. Prinsip ini dapat diterapkan dalam konteks digital.
Lebih lanjut, kesalehan digital juga menggaris bawahi pentingnya memilah informasi yang benar dan penting untuk disebarkan. Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk memverifikasi berita atau informasi sebelum menyebarkannya, sebagaimana ditunjukkan dalam Surah Al-Hujurat (49:6).
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” – QS. Al Hujurat:49
Di dalam kaitannya dengan era informasi saat ini, ketika misinformasi dan disinformasi dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya, kesalehan digital menjadi semakin relevan. Ini bukan hanya tentang menjaga etiket dan adab, tetapi juga tentang memastikan bahwa informasi yang disebarkan tidak menyesatkan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, kesalehan digital bertindak sebagai jembatan antara nilai-nilai tradisional dan tantangan kontemporer, memastikan bahwa perkembangan teknologi tidak mengikis prinsip moral dan etis yang fundamental.
Tantangan di Era Digital
Di era serba digital ini, keterbukaan informasi telah mencapai dimensi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memungkinkan penyebaran data dan fakta dengan kecepatan yang luar biasa. Namun, fenomena ini juga membawa dampak yang paradoksal. Di satu sisi, keterbukaan informasi mendukung transparansi dan partisipasi demokratis. Di sisi lain, ia menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi yang salah arah dan tidak diverifikasi.
Baca juga: Bisakah Model Kampanye “Desak Anies” Sesukses Mushab bin Umair di Madinah?
Tantangan utama dalam konteks ini adalah penyebaran berita palsu atau “fake news”, yang seringkali disebarkan dengan cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya. Berita palsu ini tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan sosial, terutama dalam situasi politik yang sensitif semisal pemilihan umum. Fenomena ini menggaris bawahi pentingnya verifikasi informasi, yang dalam konteks Islam dikenal sebagai “tasdiq”.
Di dalam Islam, proses ‘tasdiq’ – yaitu memastikan kebenaran suatu informasi sebelum menyebarkannya – sangat ditekankan. Hal ini sesuai dengan ajaran yang ditemukan dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ, yang menyerukan umatnya untuk menghindari menyebarkan berita tanpa pengetahuan yang memadai tentang kebenarannya. Di dalam konteks modern, hal ini menjadi semakin relevan, mengingat kemudahan akses terhadap informasi dan potensi dampak negatif dari penyebaran berita yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, di era digital ini muncul tantangan baru terkait interpretasi dan penggunaan informasi. Sangat besarnya volume informasi dan mudahnya akses terhadap berbagai sumber, terdapat risiko bahwa informasi dapat disalah gunakan untuk memanipulasi opini publik atau untuk tujuan yang tidak etis. Ini memerlukan suatu pendekatan yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab dalam mengolah dan membagikan informasi.
Di dalam konteks Pemilu 2024, tantangan ini sangat penting. Umat Islam, bersama dengan masyarakat luas, dihadapkan pada tugas berat untuk tidak hanya mengidentifikasi dan menghindari berita palsu, tetapi juga untuk mempraktikkan kesalehan digital dalam cara mereka memproses dan menyebarkan informasi. Ini bukan hanya tugas individual tetapi juga kolektif, yang menuntut kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam memastikan integritas ruang digital kita.
Di tengah gelombang informasi yang tak terbendung di era digital, pemilu sering kali menjadi arena yang penuh ketegangan dan ketidak pastian. Di dalam konteks ini, umat Islam memiliki peran penting dalam memelihara ketenteraman sosial. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Seorang Muslim adalah orang yang orang lainnya aman dari lisan dan tangannya,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Pesan Rasulullah ﷺ itu menegaskan pentingnya menjaga ucapan dan tindakan, khususnya dalam masa yang penuh dengan debat politik. Peran umat Islam dalam menjaga ketenteraman tidak hanya terbatas pada menjaga apa yang tidak boleh dilakukan, semisal menghindari fitnah atau ghibah, tetapi juga pada tindakan proaktif dalam menyebarkan kedamaian dan pemahaman.
Baca juga: Kepemimpinan yang Berkah
Al Qur’an menyerukan kepada umat manusia untuk menjadi pembawa damai, sebagaimana firman Allah ﷻ, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar...” (QS Ali Imran 3:110). Di dalam konteks pemilu, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai dorongan untuk aktif dalam dialog yang konstruktif dan mendorong prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.
Umat Islam, dengan pedoman dari Al Qur’an dan Sunnah, diundang untuk berkontribusi dalam menciptakan lingkungan pemilu yang kondusif. Ini mencakup menghargai pendapat yang berbeda, menghindari ujaran kebencian, dan menolak penyebaran informasi yang tidak terverifikasi. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam tentang pentingnya keadilan dan kejujuran, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, berlakulah adil, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri sendiri...” (QS. An-Nisa 4:135).
Peran Kunci
Di dalam menghadapi pemilu, umat Islam dituntut untuk tidak hanya berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga berperan aktif dalam mendidik dan mendorong sesama agar berpartisipasi dalam proses demokrasi dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Ini merupakan manifestasi dari konsep ta'awun (kerja sama) dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana dianjurkan oleh Al Qur’an, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa...” (QS Al-Ma'idah [5]: 2).
Melalui pendekatan yang didasarkan pada ajaran Islam, umat Islam dapat memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa pemilu berlangsung dalam suasana yang damai dan produktif, yang pada akhirnya akan menguntungkan seluruh masyarakat. Era keterbukaan informasi membuat perdebatan digital menjadi bagian tak terhindarkan dari kehidupan online. Namun, seringkali perdebatan tersebut dapat berubah menjadi konflik yang merusak, meninggalkan keretakan dalam relasi sosial, dan menghambat pemahaman yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami prinsip-prinsip dialog konstruktif yang diamanahkan oleh ajaran Islam.
Konstruktivitas dalam berdialog mengharuskan kita untuk memahami bahwa tujuan utama dari berdebat bukanlah untuk menang, tetapi untuk mencari kebenaran dan membangun pemahaman bersama. Sehingga, sangat penting beragumentasi dengan kata-kata yang bermanfaat dan menghindari perdebatan yang tidak produktif.
Selain itu, Hadits Nabi Muhammad ﷺ juga menegaskan pentingnya menjaga lisan kita. Beliau bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata-kata yang baik atau diam” (Sahih Bukhari). Pesan ini menjadi pedoman bagi umat Islam untuk berbicara dengan hati-hati, terutama dalam suasana debat yang penuh ketegangan.
Baca juga: Indonesia di Bawah Bayangan Tiga Capres
Sebagai langkah konkret untuk membangun dialog yang konstruktif, penting untuk mendengarkan dengan cermat pendapat lawan bicara, menghormati perbedaan pandangan, dan merespons dengan argumen yang berbasis fakta. Ini adalah prinsip-prinsip yang tidak hanya sesuai dengan ajaran Islam, tetapi juga mendukung keberlangsungan dialog yang sehat dalam masyarakat.
Selain itu, menghindari penggunaan bahasa yang kasar, merendahkan, atau menyinggung juga merupakan bagian penting dari kesalehan digital. Al Qur’an menekankan bahwa kita harus “tidak mencela dan jangan pula mengolok-olok satu sama lain” (Surah Al-Hujurat 49:11). Ini adalah panggilan untuk menghindari berbicara yang merugikan dan merendahkan martabat orang lain.
Kesimpulan
Di dalam menghadapi era keterbukaan informasi dan pemilu 2024 yang semakin dekat, kesalehan digital telah muncul sebagai pilar penting dalam mempertahankan ketenteraman masyarakat. Di dalam pandangan Islam, menjaga kesalehan dalam berkomunikasi digital adalah sebuah kewajiban yang tak terhindarkan. Dari Al Qur’an hingga Hadits, terdapat pedoman yang jelas tentang bagaimana berbicara, berinteraksi, dan menyebarkan informasi dengan bijaksana.
Kesalehan digital bukanlah sekadar konsep retoris, tetapi suatu kewajiban moral yang harus dihayati oleh umat Islam dalam setiap tindakan online mereka. Hal ini mencakup penghindaran terhadap fitnah, ghibah, ujaran kebencian, dan perdebatan yang tidak produktif. Menyebarkan berita palsu atau informasi yang tidak terverifikasi juga dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip kesalehan digital.
Setelah memahami nilai-nilai kesalehan digital dalam Islam, saatnya bagi setiap individu untuk beraksi. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk:
- Memeriksa Kebenaran Informasi. Sebelum menyebarkan informasi, pastikan untuk memeriksa kebenaran dan keakuratannya. Al Qur’an mengajarkan kita tentang pentingnya “Tasdiq” (memastikan kebenaran).
- Menghindari Fitnah dan Ghibah: Jauhi dari menggunjing dan menjelek-jelekkan orang lain secara tidak benar. Ingatlah ajaran Al Qur’an yang melarang perbuatan ini.
- Berdialog dengan Adab: Ketika berdiskusi online, berbicaralah dengan sopan santun dan hormat terhadap pandangan orang lain. Hadits mengingatkan kita akan pentingnya berbicara baik atau diam.
- Menjadi Sumber Informasi yang Bertanggung Jawab: Jika Anda memiliki pengetahuan yang berguna, bagikanlah secara bijaksana dan bertanggung jawab.
- Mendukung Ketenteraman Pemilu: Selama periode pemilu, berkomunikasilah dengan hormat dan bijaksana. Jangan biarkan perdebatan merusak hubungan sosial.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip itu, kita dapat berkontribusi pada pembentukan lingkungan digital yang lebih damai dan bermanfaat. Kesalehan digital bukan hanya bagian dari etika digital, tetapi juga cerminan dari akhlak dan moral kita sebagai individu Muslim. Dan dengan menjalani nilai-nilai itu, kita dapat memainkan peran penting dalam menjaga ketenteraman selama Pemilu 2024 dan di masa-masa mendatang. Tabik!