Menlu Sugiono Menggebrak dengan BRICS dan Isu Palestina

Indonesia resmi mengajukan diri untuk bergabung dengan BRICS. Surat resmi pengajuan diri itu dibawa langsung oleh Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, yang hadir dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024).

Keinginan resmi Indonesia untuk menjadi mitra BRICS tentu menjadi salah satu gebrakan penting Kementerian Luar Negeri, mengingat sudah semenjak beberapa tahun lalu, Indonesia mendapatkan tawaran untuk gabung dengan BRICS. Pemerintahan Presiden Jokowi saat itu masih akan mengkaji secara mendalam keinginan tersebut. Nah, belum genap seminggu dilantik, Menteri Luar Negeri Kabinet Merah Putih besutan Presiden Prabowo Subianto justru gerak cepat mengajukan minat Indonesia untuk gabung menjadi anggota BRICS.

Tentu langkah ini mengundang banyak tanggapan. Beberapa pihak menilai langkah ini sebagai berani. Hal itu mengingat BRICS kerap dipandang oleh komunitas internasional sebagai geng Rusia-China yang berseberangan dengan geng Eropa dan Amerika.

Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, menilai Indonesia tidak perlu masuk BRICS, mengingat Indonesia telah bergabung dalam G20. Sementara itu, pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana justru memandang sebaliknya. Menurut Guru Besar Hukum Internasional UI itu, akan sangat menguntungkan jika Indonesia bisa gabung dengan BRICS, karena Indonesia akan banyak memiliki sekutu dalam bidang perekonomian.

Kabinet Zaken? Gemuk Tanpa Nasdem
Jokowi menampik keras tudingan tersebut. Di sisi lain, Gibran sebagai Wapres terpilih, justru mengakui ada peran Jokowi dalam penyusunan kabinet Prabowo.

Aliansi Ekonomi

BRICS adalah sebuah aliansi ekonomi yang terdiri dari lima negara berkembang, yaitu Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. BRICS merupakan akronim dari nama kelima negara tersebut. Aliansi ini didirikan untuk memerkuat posisi ekonomi negara-negara berkembang di panggung internasional, meningkatkan kerja sama ekonomi, serta menghadapi dominasi ekonomi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Latar belakang utama pembentukan BRICS adalah adanya kesenjangan dalam sistem ekonomi dan keuangan global yang didominasi oleh negara-negara Barat. Negara-negara berkembang, termasuk anggota BRICS, merasa bahwa mereka tidak memiliki cukup pengaruh dalam lembaga-lembaga internasional semisal Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Sistem ekonomi global yang ada dianggap tidak cukup adil bagi negara-negara berkembang, terutama dalam hal pemberian suara di IMF dan peraturan perdagangan internasional.

Melalui BRICS, negara-negara anggotanya berharap dapat memerjuangkan kepentingan ekonomi negara berkembang, menciptakan sistem keuangan alternatif, dan mengurangi ketergantungan pada mata uang dolar AS sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional.

Dengan latar belakang seperti itu, gabungnya Indonesia ke dalam BRICS dipastikan akan memiliki bobot dan dampak politik tertentu secara nasional. Apalagi poros Putin – Xi Jinping tengah memainkan langkah-langkah penting dalam konflik Palestina – Israel yang berlawanan dengan kebijakan Amerika dan sekutunya.

Akankah langkah bergabung dalam BRICS akan menjebak Indonesia memasuki salah satu blok? Padahal, sejauh ini Indonesia terkenal sebagai inisiator gerakan non-blok yang tidak berafiliasi pada blok mana pun.

Makan Bareng Jokowi–Prabowo dan “The Last Supper”
Tetapi makan bareng yang dijalani dua orang berpangkat Presiden memang layak diberitakan. Yang satu bertitel sebagai Presiden terpilih, yang satunya berpangkat sebagai Presiden yang akan segera mengakhiri masa baktinya.

Menjawab pertanyaan tersebut, layak kita simak ulang penjelasan Menteri Luar Negeri RI, Sugiono. Menurut dia, bergabungnya Indonesia dalam blok ekonomi BRICS justru sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas-aktif.

Di dalam konfrensi pers-nya, Menlu Sugiono juga menepis anggapan bahwa jika Indonesia bergabung ke dalam BRICS, maka Indonesia telah masuk dalam blok tertentu. Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS justru menjadi  langkah awal bagi Indonesia untuk berpartisipasi aktif di semua forum.

Suarakan Masalah Palestina

Di sela-sela KTT BRICS di Kazan, Menlu Sugiono berkesempatan untuk melakukan pertemuan khusus dengan Sekjen Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Hussein Al-Sheikh. Pertemuan yang berlangsung tanggal 23 Oktober 2024 itu antara lain membahas soal komitmen Indonesia untuk terus membantu perjuangan menuju Palestina Merdeka.

Saya akan memastikan bahwa isu Palestina selalu berada di garis depan diplomasi Indonesia, dan kami akan terus berdiri tegak bersama rakyat Palestina,” tegasnya. “Dukungan kepada Palestina ini juga disampaikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto saat pelantikannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024 lalu”.

Selain itu, Menlu Sugiono juga menyampaikan tiga hal penting terkait Palestina dalam pertemuan tersebut.

Peralihan Kekuasaan dan Deflasi Lima Bulan Beruntun
Situasi ekonomi yang mendung, deflasi, dan hutang yang menggunung, tampaknya tak mungkin lagi diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo. Kekuasaannya tinggal menghitung hari.

Pertama, menekankan kembali dukungan politik untuk Palestina termasuk dengan terus  mendorong gencatan senjata permanen dan upaya-upaya perdamaian lainnya menuju Solusi Dua Negara. Kedua, menegaskan kembali komitmen bantuan kemanusiaan RI kepada Palestina, baik secara bilateral, maupun melalui badan PBB semisal UNRWA dan ILO. Ketiga, menegaskan pentingnya upaya kolektif untuk mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan Timur Tengah.

Sugiono menyampaikan pula bahwa pertemuan BRICS ini harus dimanfaatkan untuk memerkuat kolaborasi sebagai kekuatan positif (positive force) untuk terus mengupayakan perdamaian di Palestina.

Demikian di antara poin penting pertemuan Menlu Sugiono dengan Sekjen PLO, sebagaimana rilis akun X, Kemenlu.