Menuju Indonesia (C)emas

Anda termasuk kalangan yang akhir-akhir ini ketika baca berita, khususnya terkait kasus kriminal anak, selalu geleng-geleng kepala sampai tak dapat berkata-kata? Jika iya, artinya kita sama! Bukan hanya berita, fyp tiktok sampai youtube juga. Amat miris. Tak habis pikir, kok bisa ya?

Suatu kali pernah ada Diklat Hukum terkait pendampingan hukum terhadap perempuan dan anak, di mana pesertanya yang dominan adalah ibu-ibu yang juga mengamini kondisi pemuda termasuk anak-anak di Indonesia yang saat ini sangat memrihatinkan. Hamil di luar nikah sudah bukan hal tabu lagi. Pelecehan seksual, bahkan pelakunya anak hingga remaja, juga banyak. Cekcok sama temannya yang berujung bullying bahkan hingga dengan entengnya melakukan kekerasan, termasuk dengan Sajam maupun benda tumpul. Anggota tubuhnya seolah-olah beralih fungsi untuk menyakiti orang lain. Miris.

Orang (tua) umumnya mengemukakan pandangan bahwa kondisi itu terjadi karena dua faktor. Yang pertama, kurangnya pemahaman terhadap agamanya. Kita coba ambil salah satu contoh kasus, yang baru-baru ini viral, yaitu bullying di salah satu pesantren di Jawa Tengah, di mana sekelompok santri melakukan kekerasan kepada santri lain yang akhirnya menyebabkan salah seorang santri meninggal dunia. Padahal, beberapa dari orang tua menyekolahkan anaknya ke pesantren dengan tujuan agar moralitas anak mereka terdidik dan pemahaman agamanya meningkat. Namun, senyatanya di pesantren pun tidak ada jaminan seorang anak terbebas dari kekerasan dan penyimpangan.

Jadi, agar tujuan tersebut tidak hanya menjadi isapan jempol semata, sebaiknya ketika seorang anak dimasukkan ke dalam pesantren, orang tua tidak sepenuhnya lepas tangan dari tanggungjawabnya dalam mendidik anak. Sebab, walau pun sudah di pesantren pun anak akan selalu butuh orang tuanya, terutama dalam menemani proses tumbuh kembangnya. Ketika pemahaman agama tidak dibarengi dengan penerapan moralitas, maka yang terjadi adalah implementasi agama yang asal-asalan, karena agama dan moralitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan.

Ketika seseorang dapat benar-benar memahami agamanya, maka seyogianya ia juga menjunjung moralitasnya. Sedangkan moralitas dapat dibangun lebih intim melalui bagaimana hubungan dengan orang terdekat, dalam hal ini adalah keluarga termasuk orang tua.

Komodifikasi Penddikan Indonesia: Industri Pendidikan melalui Sekolah Formal Swasta
Setiap sekolah memiliki keunggulan masing-masing. Termasuk sekolah swasta. Ada yang memiliki keunggulan dari kualitas guru, ada yang keunggulannya dari manajemen dan fasilitas, hingga harga murah.

Faktor yang kedua, yaitu kurangnya pengawasan orang tua. Sebagai orang tua, tentunya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun, ada beberapa kondisi yang menyebabkan banyak orang tua terpaksa berjarak dengan anak karena kesibukan mereka di luar rumah. Jangankan untuk mengenal lingkungan anaknya di sekolah, bertanya kepada anaknya tentang keseharian anaknya di sekolah pun belum tentu sempat. Padahal, kondisi seperti ini sangat rentan bagi seorang anak yang nantinya bisa saja mencari pelarian yang salah. Kurangnya perhatian orang tua kepada anak juga menjadi salah satu faktor penyebab anak cenderung berperilaku agresif dan kriminal, karena anak dibiarkan bereksperimen sendiri tanpa keterlibatan orang tua.

Di sisi lain, kalau dari perspektif anak, katanya kondisi itu terjadi karena beberapa faktor. Yang pertama, kemungkinan si anak kehilangan rumahnya atau bahkan memiliki traumatis tersendiri dari rumahnya, sehingga dia bingung mau pulang ke mana (analogi) dan lantas melampiaskannya ke siapa yang pada akhirnya mereka mencari orang lain untuk memenuhi egonya, karena memang mereka berada di usia yang egonya lagi tinggi-tingginya. Mereka harus dirangkul. Kalau di rumah aslinya mereka tidak mendapatkan hal yang mereka butuhkan, maka mereka tidak sungkan mencarinya dari luar. Sedangkan kita tahu, di luar sana manusia itu heterogen. Banyak macamnya, dan keadaan ini di luar kendali kita.

Selain itu, emosi mereka belum stabil, sehingga cenderung mudah marah, frustrasi, kontrol diri lemah, dan kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Maka, di fase ini tidak sedikit anak mengalami krisis identitas yang akhirnya men-trigger mereka untuk bersikap impulsif, yaitu memilih cara yang instan untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi, kalau dalam fase ini tidak ada pihak yang merangkul dan mengarahkan, bayangkan saja apa yang akan terjadi setelahnya.

Perlu kita tekankan lagi bahwa anak selalu butuh sosok yang bisa dijadikan “rumah” yang membuat mereka nyaman, aman, dan terarah. Maka, pastikan sosok itu adalah kita sebagai orang terdekatnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa perpecahan dalam keluarga, baik di antara ayah dan ibu maupun di antara sesama saudara, juga turut andil dalam menjadi latar belakang tindakan menyimpang yang dilakukan oleh anak. Jadi, mari jaga keluarga kita, dimulai dari dalam rumah.

Yang kedua, yaitu Over Gengsi dan Pride. Tidak sedikit dari mereka yang mulanya cuma ikut-ikutan alias FOMO (merasa takut ketinggalan momen atau aktivitas tertentu). Mereka merasa, jika tak ikutan akan dianggap cupu (culun punya) atau akan dikucilkan teman-temannya. Bagi mereka, gengsi dan pride itu jauh lebih penting, karena menjadi suatu kebanggaan ketika mereka mendapat banyak atensi dari orang lain atau dianggap superior alias ditakuti oleh sekitarnya.

Dari Esensi Ujian Nasional (UN), Apa yang benar-Benar Kita Butuhkan?
Jika tidak lulus ujian akademik, siswa tersebut tetap bisa melanjutkan pendidikan, tetapi di sekolah semacam sekolah kejuruan dengan ragam fasilitas penunjang beberapa talenta lainnya.

Contohnya, tawuran di kalangan pelajar. Bagi mereka yang tidak ikut dianggap bukan laki-laki sejati dan dijuluki “anak mama”. Hal ini tentu dapat melukai harga dirinya. Walhasil, banyak di kalangan mereka yang mulanya tidak tertarik menjadi tertarik. Padahal, dengan melakukan kekerasan seperti itu, mereka justru terlihat seperti “pecundang”.

Dari beberapa perspektif tersebut, setidaknya sedikit membuka mata kita bahwa memang penyebab banyaknya penyimpangan yang dilakukan seorang anak tidak hanya satu faktor saja, namun juga dibarengi banyak faktor lain. Semua anak fitrahnya adalah baik. Yang membuat mereka menyimpang, kalau bukan karena social society – dalam hal ini termasuk circle pertemanan – mungkin juga karena faktor keluarga. Jikalau memang fitrahnya sudah baik, maka semua anak punya kesempatan untuk kembali kepada fitrahnya walau perilaku di antara mereka sudah melampaui batas.

Di sisi lain, entah mengapa situasinya akan semakin sulit ketika ternyata kesalahan anak diiringi juga dengan pembenaran oleh orang tuanya. Banyak orang tua yang ketika anaknya melakukan kesalahan justru cenderung membela anaknya. Mereka seolah-olah tutup mata dan telinga dari kenyataan bahwa anaknya sudah melampaui batas, bahkan anaknya sudah “ketahuan merusak anak orang” pun malah dibela. “Tak mungkin anak saya seperti itu! Dia anak yang baik, bla blaa blaaa,” katanya.

Padahal, kepercayaan orang tua yang terlalu berlebih dan tidak diimplementasikan dengan tepat kepada anak bisa menjadi bumerang. Ia bisa membuat anak merasa tinggi hati, sehingga cenderung berperilaku seenaknya terhadap orang lain. Pembenaran lainnya yaitu dengan melontarkan pernyataan, “namanya juga anak, wajarlah, (itu) cuma iseng doang”. Tanpa disadari, statement ini membuat anak selalu merasa benar dan tidak memahami kesalahannya sekali pun anak ini telah menyakiti orang lain. Jika sudah begitu, bagaimana anak bisa belajar untuk punya rasa bersalah dan memiliki batasan diri tentang mana tindakan yang dibenarkan dan mana yang tidak? Jadi, untuk para orang tua, stop menormalisasikan suatu penyimpangan! Berikan ruang bertumbuh kepada anak!

Anak tetaplah anak. Mereka belum bisa bertanggungjawab penuh atas dirinya sendiri. Bagaimana bisa mereka mengendalikan dirinya di luar sana, jika tidak ada yang mencoba mengarahkan dirinya? Yang memberi tahu tentang mana yang tepat dan tidak? Jika dianalogikan, seperti ketika seseorang sedang berada di situasi yang gelap, tentunya mereka butuh lampu untuk menerangi jalannya. Nah, lampu ini merupakan peran kita sebagai orang dewasa yang seharusnya bisa menjadi role model yang tepat untuk diikuti oleh anak.

Pendidikan Karakter di Indonesia: Slogan atau Kebutuhan?
Kecerdasan emosi adalah jalur utama yang harus ditempuh terlebih dahulu, sehingga kita akan mendapatkan kecerdasan emosi dan juga kognitif sekaligus. Kecerdasan emosi sangat terkait dengan pendidikan karakter.

Mengutip Ustadz Akmal Sjafril yang menyampaikan, “Investasi yang paling berharga dari orang tua terhadap anaknya bukanlah ilmu melainkan kedekatan dan ikatan”. Kita semua punya andil dalam mencegah terjadinya penyimpangan di kemudian hari. Juga andil dalam upaya dapat terciptanya generasi selanjutnya yang mengedepankan moralitas di atas kebebasan. Pun sebagai sebuah organisasi/komunitas yang dapat memainkan perannya dalam memberikan wadah untuk mereka mengekspresikan diri dan menyalurkan kreativitas yang mereka punya, sehingga pelarian yang dituju dapat bernilai kebaikan.

Begitu pun peran kita sebagai teman mereka agar belajar untuk saling peduli, berempati terhadap keadaan sekitar. Maka jadilah tempat aman bagi yang lain. Meluruskan yang bengkok dan menarik yang tenggelam ke daratan.

Semoga Allah Swt menjaga kita semua di manapun kita berada. Semoga dijaga dirinya, lingkungannya, hingga ibadahnya. Aamiin.