Menunda Tobat karena Takut Mengulang Dosa yang Sama, Mau Sampai Kapan?
Karena itulah, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang banyak bertobat. Bukan manusia yang tidak pernah berbuat dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap keturunan Adam pasti memiliki banyak kesalahan (dosa), dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.” – Sunan al-Tirmidzi hadis no. 2499, Syekh al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan
Hadits itu tentu bukanlah motivasi untuk berbuat kesalahan atau pembenaran atas dosa-dosa kita, melainkan adalah kabar gembira untuk kita semua, bahwa ampunan Allah itu tak terhingga. Ketika mengomentari hadits di atas, Syekh Abu Muhammad mengatakan:
“Hadis ini tidak berbicara tentang motivasi untuk melakukan maksiat atau meremehkan perkara maksiat, akan tetapi ini adalah kabar gembira tentang ampunan (Allah).” – Mawaqif Halafa fiha al-Nabiyyu Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, hal. 118
Namun, tobat sering terganjal oleh beberapa hambatan. Hambatan yang sering menghantui seorang hamba adalah taswif (menunda-nunda tobat). Di antara alasan taswif ini adalah karena takut terjatuh ke dalam dosa yang sama. Sebagian orang mengatakan, “Saya belum berani bertobat karena khawatir terjatuh ke dalam dosa yang sama untuk yang kedua kalinya, karena jika saya terjatuh ke dalam dosa yang sama setelah saya bertobat, berarti saya telah mempermainkan tobat.”
Baca juga: Laksana Bisikan Keramat, Ampuhnya Doa Ibu
Lihatlah! Begitu pandai dan halus setan memainkan kata-kata untuk menjerat setiap manusia agar masuk ke dalam jebakan taswif. Kata-kata ini, seolah-olah benar, namun pada hakikatnya adalah kekeliruan. Tidak ada di dalam tobat, syarat yang menyebutkan “tidak mengulangi dosa yang sama untuk kedua kalinya”. Imam al-Nawawi mengatakan bahwa syarat tobat hanya 3 saja, jika maksiat tersebut berkaitan antara seorang hamba dengan Allah.
“Pertama: berhenti dari maksiat itu, kedua: menyesal karena telah melakukan maksiat tersebut, dan ketiga: bertekad untuk tidak kembali mengulanginya selamanya.” -- Riyadh al-Shalihin, hal. 14
Namun, jika maksiat tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka menurut beliau ditambah 1 syarat lagi, yaitu melepaskan (tanggungan) dari seseorang yang menjadi korban kemaksiatannya. Jika kemaksiatan itu berupa harta, maka dia harus mengembalikan harta itu kepadanya, jika berupa qadzaf maka dia harus meminta maaf kepadanya, dan jika berupa ghibah maka dia harus meminta agar dihalalkan olehnya.
Jika kita perhatikan syarat yang ketiga di atas, maka disebutkan bahwa syaratnya adalah bertekad untuk tidak kembali mengulanginya. Bukan tidak mengulanginya. Ini adalah dua hal yang berbeda. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan:
“Seorang manusia apabila dia melakukan suatu dosa kemudian dia bertobat dengan sebenar-benar tobat, lalu nafsunya telah mengalahkannya untuk yang kedua kalinya, maka tobatnya yang pertama itu sah, dan apabila dia bertobat pada kali kedua, maka tobatnya (yang kedua) pun sah, karena di antara syarat tobat adalah bertekad untuk tidak kembali mengulangi (dosa), dan bukan tidak mengulangi (dosa tersebut).” -- al-Qaul al-Mufid, 2/500
Baca juga: Amalan Ringan Terbaik Untuk Bekal Hidup Setelah Mati
Lalu bagaimana kita membedakan antara tobat yang sebenar-benarnya dengan tobat yang main-main? Di dalam kitabnya yang lain, Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan catatan terhadap syarat-syarat tobat yang harus kita perhatikan. Beliau mengatakan:
“Syarat yang keempat: bertekad untuk tidak kembali mengulangi (dosa) di masa yang akan datang. Jika dia bertobat dan berhenti dari dosa tersebut, akan tetapi di dalam hatinya (mengatakan) bahwa jika kesempatan datang lagi maka dia akan kembali kepada dosanya, tobat semacam ini tidak bisa diterima, karena ini adalah tobatnya orang yang main-main. Seseorang harus bertekad, dan apabila dia telah bertekad namun nafsunya membujuknya setelah itu, lalu dia pun melakukan maksiat, maka hal ini tidak mengurangi tobat sebelumnya, akan tetapi membutuhkan tobat baru dari dosa itu untuk yang kedua kalinya.” – Syarh Riyadh al-Shalihin, 2/131-132
Jadi, seseorang yang mengatakan bahwa dia telah bertobat, namun di dalam hatinya ada rencana atau niatan untuk mengulanginya lagi jika menemukan kesempatan, maka ini bukanlah tobat yang sebenarnya. Akan tetapi, jika seseorang telah berusaha dan bersungguh-sungguh dalam tobatnya, dan ternyata di kemudian hari dia melakukan dosa yang sama tanpa ada rencana atau niatan untuk mengulanginya, maka insya Allah tobat sebelumnya itu sah, tetapi dia wajib bertobat lagi untuk dosa yang kedua. Rasulullah ﷺ meriwayatkan dari Allah Taala bahwasanya Dia berfirman:
“Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia berkata, “Ya Allah ampunilah dosaku.” Lalu Allah Taala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, dan dia tahu bahwa dia memiliki Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan menyiksa (seorang hamba) karena dosanya, kemudian dia kembali berbuat dosa, lalu dia berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku.” Lalu Allah Taala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, dan dia tahu bahwa dia memiliki Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan menyiksa (seorang hamba) karena dosanya. Sungguh Aku telah mengampuni hamba-Ku, maka lakukanlah sesukanya.” Muttafaq ‘alaih. -- Riyadh al-Shalihin, hal. 150
Ketika mengomentari hadis ini, Syekh Ibnu ‘Allan al-Syafi’i mengatakan:
“(kemudian dia kembali berbuat dosa) maknanya adalah kembali kepada dosa yang sama atau dosa yang lain setelah bertobat dari dosa tersebut ….. Di dalam hadits ini dinyatakan bahwa tobat yang sah (benar) tidak dipengaruhi oleh kekurangan akibat dosa yang kedua, akan tetapi telah berlaku keabsahannya (tobat yang pertama), lalu dia tinggal bertobat dari maksiat yang kedua, dan demikian seterusnya.” -- Dalil al-Falihin Syarh Riyadh al-Shalihin, 4/325
Baca juga: Dalam Naungan Do’a
Imam al-Nawawi juga mengatakan:
“Hadits-hadits ini sangat jelas dalalah-nya yaitu bahwa sekiranya suatu dosa terulang hingga 100 kali atau 1000 kali atau lebih dari itu, lalu dia bertobat setiap kali (berbuat dosa), maka tobatnya akan diterima dan telah gugur dosa-dosanya; dan sekiranya dia bertobat dari keseluruhan dosa tersebut dengan sekali tobat setelah melakukan semua dosa-dosa itu, maka sah pula tobatnya. Firman Allah ‘Azza wa Jalla (dalam hadits ini) adalah bagi orang yang terulang dosanya.” – Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, 17/75
Kawan, tidak ada alasan untuk menunda tobat. Mau sampai kapan kita menundanya? Menunggu tua? Tidak ada satu pun makhluk yang tahu tentang ajalnya sendiri. Allah Taala berfirman:
“Tiap-tiap umat mempunyai ajal; maka apabila telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” – QS. Al-A’raf :34
Atau menunggu sakaratul maut? Ingatlah, bertobat ketika sakaratul maut, tidak akan diterima. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba selama ruh belum sampai kerongkongan.” Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, dan dia berkata, “Haditsnya hasan.” – Riyadh al-Shalihin, hal. 15
Begitu pula bertobat ketika matahari telah terbit dari barat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah Taala membentangkan yad-Nya di malam hari untuk menerima tobat pelaku dosa di siang hari, dan membentangkan yad-Nya di siang hari untuk menerima tobat pelaku dosa di malam hari hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah barat).” Diriwayatkan oleh Muslim. – Riyadh al-Shalihin, hal. 15