Menundukkan Hawa Nafsu
Hawa nafsu selalu berdiri di sisi yang berseberangan dengan kebenaran (al-haq). Dua kekuatan ini tidak henti-hentinya bertarung dalam diri manusia. Ketika benteng iman melemah dan seseorang memberi celah bagi bisikan setan, hawa nafsu bisa mengambil alih kendali dan menyeretnya menuju jurang kesesatan.
Secara bahasa, hawa nafsu berarti jatuh dari tempat yang tinggi menuju tempat yang sangat rendah. Makna ini sejalan dengan kondisi seseorang yang menyerah pada keinginannya sendiri. Ia meruntuhkan kemuliaannya sebagai hamba Allah dan menjatuhkan dirinya ke derajat yang rendah, bahkan mendekati sifat-sifat hewani. Betapapun tinggi kedudukan ilmunya, sekalipun ia seorang alim yang dekat dengan derajat shiddiqin, tetap mungkin tergelincir bila tidak menjaga diri dari dorongan hawa nafsu.
Allah menggambarkan kondisi itu melalui perumpamaan yang sangat tajam.
Firman Allah SWT: “Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka (tentang) berita orang yang telah Kami anugerahkan ayat-ayat Kami kepadanya. Kemudian, dia melepaskan diri dari (ayat-ayat) itu, lalu setan mengikutinya (dan terus menggodanya) sehingga dia termasuk orang yang sesat. Seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (QS al-A’raf: 175–176).
Ibnul Qayyim dalam Fawaidul Fawaid menjelaskan bahwa ayat ini adalah kecaman terhadap mereka yang menuruti hawa nafsunya setelah mendapat petunjuk. Ia mengabaikan keimanan sebagaimana ular menanggalkan kulitnya. Ilmunya yang semestinya mengangkat derajat justru berubah menjadi bumerang yang meruntuhkannya, karena dorongan syahwat dunia yang tidak terkendali. Bahkan Allah menyamakan sifat itu dengan anjing rakus yang selalu menjulurkan lidah karena tidak pernah merasa cukup.
Sejalan dengan ini Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh akan keluar dari umatku kaum yang berlari mengikuti hawa nafsunya sebagaimana anjing berlari mengikuti tuannya.” (HR Abu Dawud).
Sayangnya, meski bahayanya begitu besar, banyak manusia justru tunduk kepada hawa nafsu dan menjadikannya penguasa dalam hidup mereka. Firman Allah SWT: “Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya, Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23).
Ibnul Qayyim menegaskan bahwa orang yang menjadikan nafsu sebagai sesembahan akan mengarahkan seluruh cinta, takut, harap, marah, dan kehormatannya kepada selain Allah. Ia mencintai karena nafsu, membenci karena nafsu, dan lebih mengutamakan keinginan dirinya daripada keridhaan Rabbnya. Hawa nafsu menjadi pemimpin, syahwat menjadi komandan, kebodohan menjadi pengiring, dan kelalaian menjadi tunggangannya.
Akibatnya, kerusakan demi kerusakan bermunculan dari dirinya. Mata hatinya tertutup rapat, rasa kemanusiaan yang suci memudar, lalu berganti menjadi kekerasan dan kebengisan.
Allah SWT berfirman: “... Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS al-Qashash: 50).
Melihat begitu besarnya bahaya hawa nafsu, umat Islam tidak punya pilihan selain berjihad melawannya. Rasulullah SAW memberi peringatan jelas:
Rasulullah SAW bersabda “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Para ulama menyebutkan dua cara utama untuk menundukkan hawa nafsu.
1. Mengenal Allah dengan benar
Semakin mendalam pengenalan seseorang terhadap Allah, semakin besar rasa cinta, takut, dan pengagungan kepada-Nya. Rasa takut itulah yang menjadi benteng untuk menahan dorongan hawa nafsu. Allah menghubungkan antara kemampuan menahan nafsu dengan jaminan surga:
Allah SWT berfirman: “Adapun orang yang takut akan kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS an-Nazi’at: 40–41).
Kesadaran akan kebesaran Allah dan kefanaan dunia membuat seseorang lebih kuat menjaga diri.
2. Menyadari kerusakan yang ditimbulkan hawa nafsu
Hawa nafsu tidak pernah masuk dalam ibadah kecuali merusaknya. Ia melahirkan riya, bid’ah, dan ketergelinciran moral. Para pengikut hawa nafsu adalah orang-orang yang lemah iman dan rapuh tauhidnya. Di tengah krisis moral, pergaulan bebas, dan degradasi akhlak yang makin merajalela, setiap muslim perlu bertanya pada dirinya: “apakah setiap hariku dihabiskan untuk tunduk kepada Allah atau tunduk kepada hawa nafsu?”
Siapa yang mampu menundukkan hawa nafsu akan naik ke derajat yang tinggi. Siapa yang menyerah kepadanya akan jatuh dari martabat kemanusiaannya. Jalan kembali selalu terbuka melalui taubat dan mujahadah.
Rasulullah SAW memberikan pedoman yang sangat jelas, “Orang yang bijak adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk (bekal) akhirat. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya lalu berangan-angan terhadap pemberian Allah.” (HR Tirmidzi).
Semoga Allah menjaga kita dari mengikuti hawa nafsu dan meneguhkan langkah kita di jalan-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Disadur dari Majalah Sabili, No. 5 Th. VIII, 23 Agustus 2000. Penulis asli: M. Jundullah Rabbani