Dunia Kerelawanan dan Kelembagaan (Bagian 2): "Mimpi Sinergi di Atas Pelangi"
Banyak problem yang kerap menggelayuti komunitas-komunitas kemanusiaan. Di antaranya adalah susah dan beratnya bekerja sama dan bersinergi dalam kerja dan karya yang lebih baik. Meski hampir semua komunitas punya agenda dan program sinergi, tetap saja ada hambatan. Seakan ada tembok kokoh yang menghalangi mereka dan tembok itu sulit dijebol.
Maka, di sinilah para pegiat komunitas kemanusiaan harus tahu dan paham tembok penghalang tersebut. Mereka harus menguasai ilmu dan strategi meruntuhkan tembok, dan harus mau setiap saat berjuang untuk meruntuhkannya. Sebab, selama tembok penghalang itu masih berdiri kokoh dan belum runtuh, selamanya upaya sinergi hanyalah sebuah mimpi di atas pelangi.
Kita harus mengerti, secara individu kita semua memiliki banyak kekurangan. Saat kita membentuk satu komunitas, bawaan kekurangan itu tetaplah ada dan tak otomatis hilang. Sama sekali tak hilang. Sebab, sudah sunnatullah yang berlaku atas diri kita bahwa kekurangan itu akan senantiasa tersemat dalam diri.
Awal mula problem tak kuasa bersinergi itu justru dari sini. Yaitu, saat kita merasa sudah tak ada lagi kekurangan, atau tetap mengakui adanya kekurangan tetapi tak peduli dan bahkan muncul rasa baru, yaitu merasa tak ada manfaatnya kita membahas kekurangan, sebab masalah umat sudah ada di depan hidung dan mata! Padahal, bagaimana kita menyelesaikan problem umat yang ada di depan mata jika problem diri kita sendiri saja tak bisa kita selesaikan?
Kita sudah merasa wow dan keren jika sudah bicara problem umat, meski problem diri kita yang sejatinya jauh lebih layak untuk dibicarakan. Bahkan, kadang kita sudah merasa adi daya saat yang kita bicarakan, yang kita agendakan, dan yang kita urus, adalah problem-problem umat. Tetapi kita justru lupa dan lalai untuk mengagendakan, mengurus, dan membina diri kita sendiri. Tentu kita tak ingin seperti lilin, mampu menyinari sekitar tetapi diri sendirinya berakhir pudar.
Di antara kekurangan yang tersemat dalam diri kita adalah sikap fanatik. Setiap manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki bawaan sikap fanatik. Yang membedakan hanya satu, kadar fanatisme masing-masing.
Lantas dari mana kita tahu bahwa kita memiliki sikap fanatik? Ya, coba saja lihat, jika yang menurut kita berharga dan kita hargai, tiba-tiba dianggap tak berharga dan tak dihargai oleh orang lain, apa yang sekonyong-konyong muncul dari dalam hati kita? Maka, jawaban kita atas pertanyaan itulah bukti bahwa kita semua menyimpan fanatisme. Bahkan, jika sekadar tulisan nama kita saja yang dihinakan, akan muncul pembelaan dari kita, si pemilik nama.
Tetapi apakah lantas kita harus lenyapkan semua sikap fanatik kita? Apakah kita bisa? Tentunya bukan lantas seperti itu pertanyaan yang kita lontarkan. Sebab, pertanyaan seperti itu tak akan muncul, kecuali dari sikap kekanak-kanakan kita.
Sebelum kita menemukan jawabannya, sangatlah baik dan bijak untuk kita pelajari hikmah yang tersimpan indah di balik larangan syariat atas sikap fanatik. Kenapa kita dilarang bersikap fanatik?
Kita tahu, sikap fanatik adalah kecenderungan kuat dan berlebihan dalam meyakini sesuatu, hingga pada tahap dukungan dan pembelaan, bahkan pada akhirnya muncul sikap tak bisa meyakini pendapat yang lain. Tetapi, coba kita tengok, di dalam Al Qur'an bahkan Allah sudah sangat halus memberikan isyarat yang jauh lebih detil, bahwa sikap fanatik tak akan muncul kecuali bila sikap ujub dan bangga diri lebih dulu muncul. Inilah biang keroknya. Ujub atau berbangga diri.
"Setiap kelompok berbangga diri atas apa yang mereka miliki."
Sejatinya ada dua hal yang dibenci oleh Allah dari perilaku orang kafir dalam ayat tersebut. Pertama, mudah berpecah dalam kelompok-kelompok. Kedua, sikap ujub yang melekat pada masing-masing kelompok.
Larangan pertama sudah pasti hal yang sangat buruk. Namun kita paham bahwa ujian berpecah termasuk sunnatullah yang Allah berlakukan pada kita sebagaimana banyak isyarat dalam ayat maupun hadits. Kita sudah tak mungkin lagi menghindar dan menolaknya. Maka dari itulah, Allah banyak memberikan nasihat agar kita tak bercerai-berai.
Tetapi jika pun kita gagal bersatu dan akhirnya berpecah, maka nasihat berikutnya adalah kita jaga diri kita agar tak berisik, apalagi bertengkar tak berkesudahan. Kita diwajibkan agar mampu mengendalikan diri di saat berpecah. Bukan meratapinya, meski perpecahan itu akibat ulah kita sendiri. Sebab, ratapan kita hanya akan memperpanjang problem kita sendiri. Di saat seperti itu tiba-tiba kita bicara problem umat?
Sedangkan larangan kedua biasanya muncul akibat kesalahan kita berpecah-belah. Sebab, sudah sangat manusiawi jika setiap yang berpecah akan menyimpan sikap ujub dan berbangga diri pada kelompoknya masing-masing. Bahaya berikutnya sudah siap mengintai, yaitu munculnya sikap fanatik. Bahwa kita tak akan fanatik jika tak ada yang kita banggakan dari diri kita dan komunitas kita.
Umumnya kita akan tergoda membanggakan bahkan sekadar nama dan bendera komunitas kita. Apalagi jika terkait dengan program-program komunitas kita, kontribusi-kontribusi komunitas kita, karya-karya komunitas kita, sumbangan-sumbangan komunitas kita, perjuangan-perjuangan komunitas kita, bantuan-bantuan komunitas kita, dan lain sebagainya. Kita umumnya tergoda membanggakan itu semua. Umumnya kita jatuh dan terperangkap dalam jebakan ujub atas apa yang kita punya. Dan tahukah apa yang berikutnya kita lakukan setelah masuk jebakan ujub dan bangga diri?
Saat kita ujub dan berbangga diri atas apa yang kita punya, di saat yang sama kita tak akan bisa membanggakan apa yang orang lain punya. Jika kita sudah membanggakan program dan karya komunitas kita, akan sulit sekali bagi kita untuk membanggakan program dan karya komunitas lain. Yang kerap terjadi justru kita meremehkan dan merendahkan program dan karya komunitas lain, bahkan tak jarang hingga menihilkan program dan karyanya. Lalu mana mungkin di saat seperti itu kita bicara sinergi? Di saat kita tak lagi bisa menghargai program dan karya komunitas lain, mana mungkin kita pasang tagar sinergi sampai mati?
Saat kita tak menghargai program dan karya orang lain, maka kecenderungan berikutnya semakin bertambah parah, bahwa segala kekurangan program dan karya kita tak lagi kita lihat sebagai kekurangan. Di mata dan pikiran kita, semua akan selalu terlihat "the best". Di saat itu jugalah kita akan menolak semua masukan dan pandangan komunitas lain. Seakan tak ada program dan karya, bahkan seakan tak ada visi dan misi, yang sebaik komunitas kita.
Tetapi apa mungkin kita mampu bersinergi dengan melihat semua perbedaan yang ada? Tentunya akan tetap sebagai mimpi di atas pelangi bila kita masih tetap merawat rasa ujub dan bangga diri.