MK Melayani Siapa?
Ketika proses penghitungan KPU tentang hasil pemilu belum lagi usai, tiba-tiba Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kejutan baru. Ketentuan Ambang Batas Parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen harus dihapuskan (direvisi). Perubahan ini mulai berlaku di Pemilu tahun 2029 nanti.
Di dalam keputusan itu, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang, yakni pemerintah dan DPR, harus mengubah ketentuan ambang batas parlemen empat persen suara sah, karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi. Semangat keputusan MK jelas mengarah agar batasan empat persen itu dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Bukan hanya kali ini MK membuat keputusan hukum yang mengejutkan. Sebelumnya, MK juga sudah berhasil mengubah ketentuan hukum tentang persyaratan usia calon presiden dan wakil presiden yang minimal berusia 40 tahun, menjadi boleh kurang dari usia itu asal sudah pernah berpengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Akibatnya, Gibran Rakabuming Raka, yang belum berusia 40 tahun, bisa lolos menjadi calon wakil presiden karena sedang menjabat sebagai Walikota Solo.
Keputusan MK itu juga sangat terkesan mendadak, karena menjelang pelaksanaan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Sehingga, keputusan hukum itu sangat kentara muatan politiknya. Belum lagi, hakim yang memutuskan perkara itu, Ketua MK Anwar Usman, adalah ipar presiden sendiri dan yang diuntungkan adalah anak presiden. Sehingga, ada yang memplesetkan MK sebagai “Mahkamah Keluarga”.
Di dalam persidangan ambang batas parlemen empat persen, keputusannya dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra. Lewat putusan itu, MK mengabulkan gugatan sebagian oleh yang menamakan dirinya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem menganggap ketentuan ambang batas suara tersebut telah menyebabkan hilangnya suara rakyat yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR. Diilustrasikan, di Pemilu 2019 ada suara yang terbuang atau tak terkonversi menjadi kursi di DPR berjumlah sekitar 13,5 juta suara.
Keputusan MK tersebut tidak menjelaskan, berapa besarnya prosentase ambang batas yang dirasa tepat. Semuanya dikembalikan lagi ke pembentuk undang-undang tersebut, yaitu pemerintah dan DPR. Artinya, besaran nilainya masih harus menunggu persidangan di DPR lagi.
Baca juga: Jangan Menelan Fatwa Basi
Kalau besaran ambang batas diturunkan bahkan kalau dihapuskan sama sekali, hal itu akan ditunggu oleh partai-partai kecil, namun akan ‘mengganggu’ partai-partai besar dan sudah mapan. Sebetulnya, besaran empat persen ambang batas suara minimal itu berguna untuk mengurangi jumlah partai peserta pemilu. Angka itu merupakan keputusan bersama DPR dengan pemerintah, yang dalam tahun-tahun pemilu sebelumnya sempat dua persen, kemudian naik menjadi dua setengah persen, dan dalam dua kali pemilu terakhir sudah stabil di angka empat persen.
Undang-Undang Pemilu boleh saja direvisi setiap lima tahun sekali, kalau dirasa perlu. Namun, ada tugas pemerintah yang tidak boleh dilupakan, yaitu menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Jumlah angka ambang batas tadi dimaksudkan memang untuk itu. Sebuah partai politik baru dapat mendudukkan wakilnya di Senayan, kalau mendapat dukungan suara pemilih nasional minimal sebesar empat persen suara sah yang masuk. Kalau tidak tercapai, berarti partai tersebut gagal memiliki wakilnya di Senayan.
Yang terasa aneh adalah keputusan MK diputuskan mendadak, tanpa diketahui proses awalnya, dan dilakukan saat penghitungan suara pemilu masih berlangsung. Ditambah lagi, Partai PSI yang diketuai anak presiden sedang kembang kempis berharap dapat mencapai suara hingga empat persen, kalau tidak maka berarti gagal melaju ke Senayan.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi selaku lembaga pengawal konstitusi sedang banyak mendapat sorotan negatif masyarakat, setelah meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden. MK merasa memiliki landasan yuridis yang diatur dalam pasal 24 C ayat (1) perubahan keempat UUD NRI 1945, yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.”
Sedangkan pihak yang berhak mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pihak yang merasa hak konsitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, dan itu bisa berupa perseorangan, kesatuan hukum adat, badan hukum publik dan privat, maupun lembaga negara. Jadi, seseorang yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke MK.
Kasus perubahan persyarakatan tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden, asalnya digugat oleh perseorangan, yaitu seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Almas Tsaqibbiru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Di dalam keputusannya untuk perkara tersebut, MK menganggap batas usia paling rendah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan UUD tahun 1945.
Baca juga: Makna Politik dan Politik Bermakna
Anehnya, ketika keputusan MK diketok palu, hasil keputusannya langsung berlaku untuk dipakai mendaftar diri Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, untuk memaknai usia di bawah 40 tahun “bertentangan dengan UUD 1945” itu hal yang aneh dan mengada-ada. Sebab, kebijakan usia minimal capres dan cawapres 40 tahun sudah sangat lazim berlaku di berbagai belahan dunia. Mengapa DPR selaku pihak penyusun undang-undang tidak diberi waktu untuk menjelaskan dasar hukumnya? Mengapa dengan merasa digdaya, MK mengambil alih wewenang hukum ini dan keputusannya langsung berlaku final?
Apa kerugian konstitusional yang dianggap oleh penggugat (Sdr. Almas Tsaqibbiru) dengan batas usia minimal 40 tahun? Kenapa yang menuntut Sdr. Almas, tetapi yang mendaftar sebagai cawapres justru Gibran Rakabuming? Kenapa hanya berdasarkan keinginan seorang Almas Tsaqibbiru, satu negara menjadi geger dan aturan hukum pun begitu cepat diubah?
Begitu pula dalam kasus terbaru ini. Gugatan ambang batas empat persen bukan dilakukan oleh PSI, partai yang perolehan suaranya belum mencapai empat persen suara ataupun partai-partai kecil lainnya, tetapi justru oleh kelompok yang mengatas namakan sebagai Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi).
Proses terbentuknya undang-undang pemilu sudah mesti melalui pengalaman yang panjang. Terlebih semenjak era reformasi 1998, partai-partai politik tumbuh menjamur. Berdasar seleksi alam, banyak partai politik yang akhirnya musnah tertelan zaman, karena selain faktor kesulitan memenuhi syarat administratif, ada juga yang mati dengan sendirinya karena kurangnya dukungan masyarakat, ditambah ada ketentuan ambang batas ini.
Karena pembentukan undang-undang pemilu melalui proses yang panjang, mestinya sekiranya MK bersikap obyektif dan jujur, maka sekiranya hendak mengoreksi hasil keputusan hukum, haruslah melalui proses yang juga cukup panjang, terbuka proses persidangannya, serta mendengar tanggapan dari pakar hukum dan parlemen. Namun dalam kasus dua peristiwa hukum di atas, keduanya dilakukan serba kilat dan tergesa-gesa. Akhirnya, keputusan MK menjadi sumber kemarahan publik.
Berkurangnya jumlah partai politik peserta dalam konstelasi pemilu, secara demokrasi justru akan lebih baik. Demokrasi akan lebih sehat sekiranya jumlah partai politik peserta pemilu semakin sedikit. Rakyat akan diuntungkan dengan peserta yang lebih sedikit, sehingga mengurangi kebingungan masyarakat untuk memilih partai yang layak didukung. Visi dan misi partai politik pun dapat semakin tajam dan jelas. Ditambah lagi, biaya pemilu akan lebih murah kalau peserta pemilu semakin sedikit. Jadi, semuanya menuju ke arah yang lebih baik.
Baca juga: Bahasa Rakyat Adalah “Bahasa Beras”
Namun, dengan keputusan MK yang membatalkan ketentuan batas minimal empat persen, berarti berpotensi akan menimbulkan munculnya partai-partai politik baru peserta pemilu di pemilu yang akan datang. Ini justru menjadi “malapetaka” demokrasi yang sudah semakin sehat.
Jumlah partai yang seharusnya semakin mengecil, justru dapat semakin buncit lagi hanya karena dalih ada hak konstitusional partai kecil yang dirugikan. Mengapa tidak berpikir, hak konstitusional masyarakat banyak akan semakin dirugikan dengan banyaknya partai peserta pemilu?
Kewajiban negara untuk mengeluarkan biaya politik juga akan semakin membesar, pengawasan pemilu akan semakin berat lagi, dan banyak kerepotan lainnya. Kenapa ini tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh MK?
Mengapa kepentingan masyarakat banyak justru dikalahkan oleh MK demi agenda kepentingan segelintir politisi yang sedang mengincar kekuasaan? Lalu sebenarnya MK sedang melayani siapa?