Mudik ke Lubuk Hati

Mudik telah kita tunaikan. Beragam kesan, pastinya tak seragam. Ada yang sekedar gembira, ada yang sekedar bangga, ada yang mampu menyentuh bahagia, tak sedikit pula yang sekedar menyisakan penat, kemarahan, bahkan duka-nestapa. Di sudut lain, ada beberapa potong hati justru dihinggapi sesal, mudik menyisakan perih yang menyayat kantung saku sampai di kedalaman hati.

Mudik, adalah simbolisme perjalanan manusia untuk selalu ingat tentang hakikat asal-muasal kehidupan. Darimana kita berasal, dan di dermaga mana biduk perjalanan diri mesti ditambatkan? Budaya Jawa membingkainya dalam konsep “Sangkan Paraning Dumadi”. Filosofi inilah yang sesungguhnya menjadi pesan substantif mudik.

Secara formal, masyarakat Indonesia sedari kecil juga diajarkan untuk memahami tujuan mudik sebagai ajang “Silaturrahmi dan memohon maaf kepada handai-taulan manakala ada khilaf dan salah”. Allah memaafkan dosa kita kepada-Nya, melalui ibadah puasa. Tetapi dosa kita terhadap sesama manusia hanya bisa dihapus dengan maaf dan keridaan orang yang bersangkutan. Mudik dengan demikian menjadi medium pertautan antara vertikalitas penyembahan kepada Allah dan horisontalitas kemanusiaan yang perlu dijaga harmoninya dalam bingkai tauhid.

Pada tataran substansi dan tujuan formalnya, mudik adalah perkara yang nyaris sakral. Namun seiring waktu, dominasi paradigma kebendaan, pola hidup pragmatis, kedangkalan berpikir, kemiskinan batin, penghambaan pada nafsu dan ego yang makin mendekati peribadatan, membuat tujuan formal dan substansi ajaran mudik mengalami distorsi di sana-sini.

Ia tak lagi mampu menukik di kedalaman substansial untuk menyelami Sangkan Paraning Dumadi, atau mengingat perjanjian primordial antara manusia dengan Allah azza wa jalla yang diabadikan dalam surat Al-A’raaf ayat 172:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)"

Mudik masih menjadi ajang silaturrahmi namun kerap terpapar dengan tujuan-tujuan profan. Untuk aktualisasi diri, bisnis, deklarasi kesuksesan hidup, flexing kekayaan, pengakuan dari pihak lain, gengsi, dan yang sejenisnya.

Alih-alih mengunduh hikmah sangkan paraning dumadi, mudik justru mendamparkan kita pada kebanggan duniawi, kebanggan materi, dan pamri-pamrih jangka pendek yang malah membuat kita lupa bahwa sesungguhnya hidup di dunia sekedar mampir ngombe, sesaat dan sejenak.

Mudik yang mestinya bermakna ziarah asal-muasal, berubah menjadi pelesiran untuk memuaskan hedonisme, melahap semua keindahan, mereguk semua kenikmatan ragawi. Alhasil, bukan kesadaran tentang kesementaraan dunia yang menjadi hasil perjalanan, justru perangkap pesona dunia yang cantik molek makin menjauhkan kita dari kesadaran asal-muasal.

Mudik Substantif

Simbolisme mudik akan terjebak pada kedangkalan, manakala kita lengah untuk sekedar melongok hati kita masing-masing. Ya, hati manusia adalah tempat paling dekat dengan diri kita. Ironisnya, justru kerap kali kita lupa untuk ziarah pada kedalamannya. Berkunjung ke rumah sanak famili yang jauh di mata, tapi tak sempat mampir ke dalam bilik hati sendiri. Tanpa ziarah ke dalam hati masing-masing, pulang kampung hanya akan sekadar menjadi mobilitas sosial. Tak akan pernah mengantarkan kita pada “kampung akhirat” sebagai alamat mudik yang substantif.

Kebermaknaan prosesi mudik lebaran hanya akan tercapai manakala kita awali dengan terlebih dahulu mudik ke lubuk hati. Mudik ke lubuk hati sesungguhnya adalah proses penyelarasan tanpa akhir untuk tetap seiring dalam bingkai hablum minallah dan hablum minnas.

Menjadikan nilai-nilai Allah bertahta di hati, menjadi motif, spirit, sibghah, dalam laku kita sehari-hari saat membangun kehidupan dan berhubungan dengan hamba Allah yang lain.

Mudik ke lubuk hati, adalah road map menuju pada kesejatian makna hidup. Menepikan pamrih-pamrih sosial, serta mampu memberi prioritas lebih pada kebenaran ilahiah. Mudik ke lubuk hati adalah proses menyubordinasikan ego dan nafsu kita untuk berserah diri kepada Allah azza wa jalla, agar fitrah kemanusiaan kita tetap terjaga.

Mumpung masih di awal bulan Syawal, mari kita sambangi bilik hati kita masing-masing, untuk menyempurnakan mudik yang telah kita lakoni. Mudah-mudahan di dalamnya akan kita temukan jalan keselamatan dan kebahagiaan yang sejati.

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam (Al-An’am: 162)