Muhammad Iqbal, Ph.D (Psikolog): “Pakai Jilbab, Barengi dengan Pendidikan Karakter”
Memasuki era reformasi, stigma dan sentimen terhadap agama dan ras tertentu di Indonesia seperti yang banyak ditemui di masa Orde Baru mulai hilang. Reformasi juga berdampak signifikan terhadap fenomena jilbab di Indonesia. Pemakaian jilbab yang di dekade 1980-an dilarang, bahkan dianggap sebagai simbol perlawanan politik, kini bebas dikenakan. Setiap orang memiliki otoritas atas apa yang dia kenakan, termasuk pilihan untuk mengenakan jilbab di ruang publik.
Muslimah pengguna jilbab di Indonesia kian hari pun terus meningkat jumlahnya. Sebuah riset yang dilakukan satu perusahaan shampoo di Indonesia tahun 2018 menemukan, 72 persen dari muslimah di Indonesia telah menggunakan jilbab. Jumlah ini melonjak tajam dari tahun 2012 yang jumlahnya baru sekitar 47 persen.
Namun, belakangan perjalanan muslimah berhijab di Indonesia menjadi sorotan. Hal itu berkaitan dengan fenomena sejumlah muslimah berhijab melakukan perbuatan yang tidak patut dilakukan. Mereka bahkan memperagakan adegan yang berkonotasi dan menjurus pada perilaku pornoaksi. Perilaku tak patut itu dipertontonkan lewat media sosial. Tentu saja, aksi-aksi serupa mengundang banyak reaksi. Lantas, apakah ada persoalan psikologis yang mendorong munculnya perilaku itu?
Baca Juga : Abdi Rahmat, M.Si (Sosiolog UNJ): “Banyak Muslimah Berhijab Sebatas untuk Identitas Sosial”
Fenomena itu tak terlepas dari perkembangan media sosial. Hal itu dikatakan oleh psikolog yang juga akademisi, Dr. Muhammad Iqbal, PH.D. Di dalam perbincangan dengan sabili.id. Associate Professor di Universitas Paramadina itu menyebut, sekarang ini media sosial menjadi ajang tempat siapa pun bisa tampil, eksis, dengan berbagai motif. Ada yang bermotif psikologis, yaitu untuk memenuhi kepuasan diri. Ada juga motif ekonomi semisal membuat konten kontroversial untuk memperbanyak jumlah follower. Dan sejumlah motif lain yang kemudian mendorong banyak orang membuat konten yang sering kali kontroversial, serta mengabaikan aspek-aspek etika dan moral, termasuk agama.
“Di dalam beberapa kasus, banyak anak-anak remaja atau anak milenial yang akhirnya ingin mendapatkan follower secara instant. Karena mereka tidak memiliki konten, tidak punya pengetahuan, tidak memiliki kepakaran tertentu, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan follower dengan berbagai cara. Yaitu tentang bagaimana membuat konten yang bisa menarik perhatian orang agar mereka cepat bisa eksis di media sosial,” kata Muhammad Iqbal.
Iqbal yang juga berprofesi sebagai Konsultan SDM itu pun menyebut, munculnya fenomena Muslimah berjilbab yang membuat konten tak sepatutnya di media sosial, adalah cermin pentingnya adab sebelum ilmu. Saat ini, banyak sekali orang yang mungkin tingkat pendidikannya bagus, pengetahuannya banyak, wawasannya luas, tetapi mengabaikan aspek-aspek dasar, yaitu adab dan sopan santun.
“Ini adalah fenomena sosial di kalangan masyarakat muslim. Jadi, pendidikan karakter ini sangat penting. Sebelum anak-anak diwajibkan memakai jilbab, dia harus mendapatkan edukasi tentang adab, akhlak, sopan santun, sehingga masyarakat bisa memahami dan melihat kesesuaian antara apa yang mereka pakai dengan apa yang mereka pahami dalam perilaku,” katanya.
Baca Juga : KH Cholil Nafis (Ketua MUI Pusat): “Muslimah adalah Duta Agama”
Namun, Iqbal yang juga menjabat Rumah Konseling PT Namary Insan Solusi itu melihat, fenomena banyaknya muslimah berhijab yang belakangan ini terjerat masalah perihal perilaku mereka, itu memunculkan pelajaran. Yaitu, agar semua pihak menelaah kembali pola pendidikan. Tentang betapa penting penguatan kepribadian dalam mendidik anak. Barengi pemakaian hijab dengan penguatan pendidikan karakter, sehingga anak-anak juga paham tentang pentingnya adab, etika, moral, dan akhlak.
“Saya melihat, ini adalah sebuah jalan ataupun momen tentang bagaimana orang tua, masyarakat, keluarga, pemerintah, termasuk para pendidik, untuk bisa kembali mengingat tentang pentingnya adab, etika, dan akhlak, dalam kehidupan sosial,” tutupnya.