Mundurnya Bung Hatta dari Posisi Wakil Presiden
Mundurnya Mohammad Hatta (Bung Hatta) waktu itu bukan hanya mengagetkan. Publik pun merasa peristiwa itu sebagai sesuatu yang tiba-tiba. Ragam spekulasi muncul terkait peristiwa tersebut. Tetapi sesungguhnya rakyat Indonesia lebih merasa kecewa, mengapa dwi-tunggal Soekarno-Hatta harus bubar? Padahal, rakyat begitu membanggakan duet legendaris itu dalam memimpin Indonesia.
Adalah kaum terpelajar dan kelompok elite yang tampaknya lebih tertarik dengan spekulasi tentang apa yang menjadi sebab mundurnya sang Wakil Presiden. Ketika itu, peristiwa politik tingkat tinggi memang sulit diakses oleh masyarakat kebanyakan, mengingat media masa belum semaju saat ini. Sementara kelompok terpelajar dan elite, karena pergaulan dan pengetahuan mereka yang luas, membuat mereka mampu menjangkau beberapa informasi yang terkait, namun serba tidak utuh, sehingga spekulasi semakin liar dan beragam.
Spekulasi yang paling populer terkait pengunduran diri tokoh bangsa kelahiran 12 Agustus 1902 itu adalah; Ia dianggap tidak lagi cocok dengan Bung Karno. Tetapi di belakang hari, putri beliau yakni Meutia Hatta, menyangkal bahwa Bung Hatta mundur sebagai Wakil Presiden karena tidak cocok dengan Soekarno. Meutia Hatta bahkan menganggap hal itu sebagai sebentuk kekeliruan persepsi masyarakat. Menurut dia, ada beberapa hal lain yang melatari pengunduran diri Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. Di antaranya karena DPR tidak melantik Soekarno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan peran yang sesuai dengan sistem kabinet presidensial. (Kompas.com 8-11-2012)
Jika melihat kembali sejarah, sesungguhnya mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden sudah mulai terbaca oleh beberapa kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat per tanggal 20 Juli 1956. Bung Hatta secara resmi pada tanggal tersebut mengirimkan surat pengunduran diri yang beliau tujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sartono, SH.
Isi surat tersebut kurang lebih adalah: Bahwa setelah terpilihnya DPR dan terbentuknya konstituante, maka sudah waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Jika Konstituante telah dilantik, maka secara resmi saya akan segera mengundurkan diri. (Tempo, 1 April 1978)
Surat Bung Hatta ternyata tidak pernah ditanggapi oleh DPR. Banyak pihak menilai, sikap diam DPR itu disengaja. Pihak-pihak di DPR banyak yang tidak setuju jika Bung Hatta harus mundur dari kursi Wakil Presiden. Tidak merespon surat tersebut adalah sebentuk langkah untuk mengerem keinginan Bung Hatta.
Empat bulan tanpa respon, Bung Hatta kembali membuat surat serupa kepada DPR. Bahkan kali ini dengan penegasan bahwa ia akan mundur pada tanggal 1 Desember 1956. Surat itu ia sampaikan tertanggal 23 November 1956. DPR kali ini tidak bisa mendiamkan saja surat kedua dari Wakil Presiden tersebut.
Baca Juga : Jenderal Soedirman, Bapak TNI dan Konseptor Perang Gerilya
Di dalam sisa minggu di bulan November itu, DPR beberapa kali melakukan sidang untuk membahas keinginan Wakil Presiden. Akhirnya, tanggal 30 November 1956 malam, parlemen melalui proses musyawarah mufakat, mengabulkan permohonan pengunduran diri Bung Hatta dari jabatan Wakil Presiden.
Drama di DPR tidak berhenti. Setelah pengunduran diri Bung Hatta diterima, di Parlemen kembali terjadi pro dan kontra tentang apakah perlu diajukan seorang wakil presiden baru sebagai pengganti Hatta? Jika harus diganti, siapa pula yang layak untuk menggantikannya?
Demokrat Sejati yang Terkungkung Konstitusi
Terjebak dalam dilema, mungkin bagian dari alasan mengapa Bung Hatta kukuh mengundurkan diri dari posisinya sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah diembannya selama lebih dari 11 tahun. Apa dilema itu?
Menjawab pertanyaan tersebut, rasanya penting bagi kita untuk mengingat kembali bagaimana kepribadian Bung Hatta. Teramat banyak kesaksian orang yang sezaman dengan Bung Hatta, tentang bagaimana pribadi beliau. Secara umum, ada tiga nilai dasar yang menjadi ciri penting kepribadian Bung Hatta. Pertama, ia adalah pribadi yang sangat disiplin dan taat kepada aturan. Kedua, Bung Hatta dikenal oleh para koleganya sebagai pribadi yang sangat jujur. Ketiga, Bung Hatta juga pribadi yang sangat sederhana.
Kombinasi tiga karakter dasar ini dihiasi dengan jiwa pembelajar yang luar biasa. Bung Hatta selalu membaca buku di antara waktu-waktu luangnya. Inilah yang kemudian mengakumulasi sebagai kepribadian unik dan menjadikan Hatta sebagai pemimpin yang langka.
Sebagai pemimpin bangsa, tiga nilai dasar kepribadiannya itu maujud dalam sikap yang taat konstitusi dan taat hukum. Tidak mau memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, bersikap apa adanya, dan fokus pada amanah yang dia emban. Nah, karakter dan sikap kepemimpinan ini kemudian melahirkan dilema ketika pada tanggal 17 Agustus 1950, pasca pembubaran Republik Indonesia Serikat, Indonesia menjadi Negara Kesatuan lagi dengan pemberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang menganut sistem parlementer.
Kembali menjadi negara kesatuan dan pemberlakuan UUDS adalah hasil kesepakatan atau musyawarah antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Di dalam sistem Parlementer, yang memegang kendali pemerintahan adalah Perdana Menteri, sementara Presiden hanya menjadi Kepala Negara dan simbol kedaulatan.
Baca Juga : Sutan Sjahrir: Pejuang Kemerdekaan yang Lebih Banyak Menderita di Masa Kemerdekaan
Di dalam musyawarah yang dihadiri oleh tiga negara bagian itu memang nampak sudah ada perbedaan pendapat tentang posisi Bung Hatta. Untuk posisi Presiden semua pihak sepakat, bahwa Soekarno-lah yang paling pantas. Tetapi bagaimana dengan posisi Wakil Presiden?
Sebagian berpendapat bahwa Hatta adalah orang yang paling tepat pada posisi itu. Sementara yang lain berpikir, jika Hatta menjadi Wakil Presiden, maka Ia tidak mungkin menjadi Perdana Menteri, padahal kapasitas Hatta yang paling tepat adalah untuk menjadi seorang Perdana Menteri. Bung Hatta sendiri sesungguhnya cenderung bahwa di dalam sistem Parlementer, tidak perlu ada seorang Wakil Presiden.
Argumen bahwa masyarakat pada umumnya telah mengasosiasikan jabatan itu dengan sosok Bung Hatta yang diusung oleh pihak Republik Indonesia Serikat, nampaknya lebih diterima oleh mayoritas anggota rapat, daripada usulan pihak lain yang ingin meniadakan jabatan Wakil Presiden. Maka, jadilah Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. Ia patuh kepada hasil rapat sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis, meski di dalam pemahamannya, Wapres (Wakil Presiden) dalam sistem parlementer tidaklah perlu.
Profesor Deliar Noer, seorang pakar politik terkemuka negeri ini, membuat catatan menarik terkait posisi Bung Hatta pada Republik Indonesia-1950 itu. Ia mengatakan, “Jabatan Wakil Presiden bagai disediakan untuk Hatta. Tetapi pada saat yang sama ia terkungkung oleh kedudukan konstitusional. Dan alangkah patuhnya ia pada konstitusi itu!”
Inilah dilema itu. Pada satu sisi, Hatta memiliki kapasitas besar untuk mengurus pemerintahan, namun jabatan konstitusionalnya sebagai Wakil Presiden tidak memberi ruang baginya untuk bertindak dalam sistem parlementer. Profesor Deliar Noer lebih jauh mengungkapkan, “Tak banyak yang dapat dilakukan oleh Hatta secara terbuka selama ia menjadi Wakil Presiden. Ia lebih banyak bertindak sebagai sesepuh bagi banyak pihak yang membutuhkan.”
Maka, surat itu dilayangkannya kepada Ketua DPR. Ia akan mundur dari jabatan Wakil Presiden. Bung Hatta melihat prospek yang baik, DPR telah dipilih langsung oleh rakyat dan konstituante telah terbentuk. Maka, Hatta ingin berkiprah lebih luas di jalur pemikiran. Sayangnya, prospek bagus yang dilihat Hatta saat ia ingin mundur ternyata tidak pernah terwujud. Konstituante tidak pernah bisa merampungkan pekerjaan untuk membuat konstitusi baru. Kabinet jatuh bangun, dan Soekarno tidak ada lagi yang mengontrol.
Banyak pihak yang menyayangkan mengapa Hatta mundur. Tetapi satu hal yang pasti, Hatta ingin terus berkiprah untuk Indonesia, sementara pada posisi Wapres ia serba dalam dilema. Dengan mundur dari Wapres, Hatta bisa berkontribusi lebih banyak, termasuk ketika dia harus membuka front dengan Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin.
Hatta membuat tulisan keras yang mengkritik demokrasi terpimpin yang diusung Soekarno. Melalui artikel berjudul “Demokrasi Kita”, Hatta bahkan membuat Soekarno marah besar dan membredel majalah Pandji Masyarakat yang memuat tulisan itu. Peran kritis ini tidak mungkin dilakukan oleh Bung Hatta, manakala ia masih berposisi sebagai Wakil Presiden atau berada di dalam struktur pemerintahan.
Jelang Pemilu 2024, saat ada pihak-pihak yang mengakali konstitusi untuk membangun dinasti, peri hidup Mohammad Hatta layak untuk disimak kembali. Taat konstitusi tanpa kompromi!