Muslim di Tengah Fenomena Modernitas
Kehidupan modern ditandai dengan perubahan orientasi dan nilai hidup yang mencerminkan pandangan hidup dan filsafat masyarakat masa kini. Masyarakat di banyak negara maju mengalami perubahan drastis dalam nilai-nilai keluarga, produktivitas, dan spiritualitas.
Di Jepang dan Singapura, fenomena rendahnya angka kelahiran mencerminkan pergeseran pandangan terhadap keluarga dan keturunan. Banyak pasangan di negara-negara tersebut menunda atau bahkan memilih untuk tak memiliki anak, sebuah orientasi yang mungkin dipengaruhi filsafat eksistensialisme.
Tokoh semisal Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan individu untuk menentukan jalan hidup tanpa keterikatan sosial, termasuk dalam hal keluarga. Buku Sartre, “Being and Nothingness”, menekankan kebebasan eksistensial. Nilai-nilai ini diterjemahkan ke dalam keputusan hidup bebas dari tanggung jawab berkeluarga.
Di Eropa, fenomena gereja yang semakin sepi jemaat, bahkan sampai pada titik dijualnya beberapa bangunan gereja, mencerminkan pergeseran besar dari tradisi ke arah nilai-nilai sekuler dan materialistik. Hal ini dapat dilihat sebagai hasil pengaruh filsafat nihilisme yang diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche, terutama dalam karyanya. “The Gay Science”, di mana ia menyatakan “God is dead” sebagai simbol akhir dari kepercayaan tradisional.
Nilai-nilai sekuler yang berkembang sejak era Pencerahan telah mengurangi pentingnya agama dalam kehidupan banyak masyarakat Eropa, menggantinya dengan fokus pada pencapaian materi, karir, dan pemenuhan individual.
Sementara itu, fenomena yang sangat berbeda muncul di kalangan komunitas Muslim, baik di negara-negara mayoritas Muslim maupun di negara-negara Barat. Pertumbuhan populasi Muslim yang pesat, bahkan di Amerika dan Eropa, menunjukkan orientasi yang lebih kuat pada nilai-nilai keluarga dan keberlanjutan generasi. Beberapa filsuf kontemporer, semisal Charles Taylor dalam karyanya “A Secular Age”, mengamati bahwa masyarakat yang memegang kuat tradisi agama memiliki daya tarik tersendiri, khususnya di saat masyarakat sekuler mengalami kekosongan nilai.
Di Eropa dan Amerika, komunitas Muslim cenderung memiliki angka kelahiran lebih tinggi. Hal itu sebagian karena nilai-nilai keluarga yang dipegang teguh dalam ajaran Islam.
Lebih jauh, pertumbuhan ekonomi yang signifikan di beberapa negara Muslim, semisal UEA, Qatar, Kuwait, dan Arab Saudi, menunjukkan perubahan yang tidak hanya terbatas pada aspek demografi, tetapi juga ekonomi. Kemajuan pesat di negara-negara ini banyak didukung oleh orientasi ekonomi yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kapitalisme modern.
Sosiolog Max Weber dalam karyanya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” membahas etika kerja dalam agama sebagai pendorong kapitalisme. Namun, fenomena di negara-negara Muslim ini menunjukkan bahwa semangat kerja keras dan nilai agama bukanlah monopoli Protestanisme saja; Islam juga memiliki pengaruh signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Filsafat postmodernisme juga berperan dalam kebangkitan identitas keagamaan, termasuk Islam, di era globalisasi. Jean Baudrillard dan karyanya “Simulacra and Simulation” menjelaskan bahwa identitas modern sering kali merupakan konstruksi yang terus berubah dan dipengaruhi oleh media. Identitas keagamaan yang kuat di kalangan Muslim dapat dilihat sebagai respon terhadap identitas masyarakat Barat yang kerap terfragmentasi.
Bagi masyarakat Muslim, agama menjadi identitas yang kokoh dan otentik dalam menghadapi perubahan yang cepat di dunia modern, memberi makna dan tujuan yang jelas dalam hidup.
Di saat beberapa masyarakat mengalami krisis nilai dan orientasi, komunitas Muslim menunjukkan konsistensi dalam nilai-nilai keluarga, agama, dan identitas, bahkan ketika mereka tinggal di negara-negara Barat. Dengan jumlah populasi yang terus bertambah, Islam menjadi salah satu agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Hal ini menandakan bahwa di masa depan, peran, dan pengaruh Muslim di dunia akan semakin besar, baik dalam hal jumlah populasi maupun dalam bidang ekonomi dan sosial.
Masa depan yang semakin kompetitif dan dinamis memerlukan fondasi nilai yang kuat. Dengan orientasi pada nilai keluarga, agama, dan komunitas, masyarakat Muslim tampaknya lebih siap menghadapi tantangan-tantangan dunia modern dibandingkan masyarakat yang telah kehilangan orientasi spiritualnya.
Pandangan filsuf modern semisal Slavoj Zizek dalam “Living in the End Times” menunjukkan bahwa krisis moral di dunia modern mungkin saja diatasi melalui kebangkitan nilai-nilai yang memberikan arti lebih dalam pada kehidupan. Keberlanjutan peran Islam di dunia menunjukkan bahwa dalam menghadapi zaman yang penuh ketidakpastian, nilai-nilai agama masih relevan dalam memberikan orientasi hidup yang kokoh dan bermakna.