Nak, Maaf Jika Negara Gagal Melindungimu

Hari Anak Nasional seharusnya menjadi momentum untuk merayakan tumbuh kembang anak Indonesia. Sebuah harapan tentang generasi masa depan yang kuat, cerdas, dan terlindungi. Namun, di balik momentum itu, ada catatan muram yang tak bisa dimungkiri. Sebuah realitas pahit yang terus menampar kesadaran: Anak-anak di Indonesia masih jauh dari kata-kata aman, sejahtera, dan terlindungi.

Lahir dan tumbuh di Indonesia, bagi sebagian besar anak, lebih terasa sebagai ujian ketimbang anugerah. Banyak dari mereka sejak kecil sudah harus bergelut dengan derita sistem yang gagal hadir sebagai pelindung, sehingga yang tersisa hanyalah angka-angka penderitaan yang terus membengkak, tahun demi tahun.

Program-program pemerintah yang dirancang untuk menyokong tumbuh kembang anak kerap kali justru menjadi sumber bencana. Salah satu contoh paling memilukan terjadi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alih-alih memberikan asupan bergizi, makanan dari program ini malah membuat setidaknya 1.376 anak mengalami keracunan di berbagai daerah.

Anak-anak yang seharusnya pulang sekolah dengan perut kenyang dan hati senang justru harus dilarikan ke rumah sakit karena muntah, pusing, dan diare.

Dai Digital: Kekuatan Baru Politik Islam di Indonesia

Pakar gizi masyarakat telah menyerukan agar program ini dihentikan sementara hingga evaluasi menyeluruh dilakukan. Namun, hingga kini, belum ada tindakan konkret yang menunjukkan keseriusan negara dalam memastikan insiden seperti ini tidak terulang. Lebih dalam lagi.

Kekerasan terhadap anak menunjukkan wajah paling bengis dari kegagalan sistem perlindungan anak di Indonesia. Tengok saja data resmi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mencatat bahwa di tahun 2024 saja, 11.771 anak menjadi korban kekerasan seksual, 1.381 ditelantarkan, 4.838 mengalami kekerasan psikis, dan 4.890 mengalami kekerasan fisik. Itu sebuah potret derita anak-anak yang tubuh dan jiwanya dihancurkan, sering kali oleh orang terdekat. Negara kembali alpa dalam menjamin pemulihan serta keadilan yang tuntas.

Di sisi lain, dunia pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembebasan dan pertumbuhan justru kehilangan rohnya. Anak-anak dipaksa berlari mengejar sistem kurikulum yang kaku, menanggung tekanan mental yang semakin besar, namun tetap kehilangan makna dari belajar itu sendiri. Proses pendidikan berjalan formalistik, menumpuk tugas dan ujian. Akses masih timpang, kualitas tak merata, dan perhatian kepada kesehatan mental peserta didik hampir nihil.

Menuju Kebahagiaan Hidup

Situasi semakin kompleks ketika melihat fenomena fatherless kini menjadi hantu sunyi yang menghantui masa depan bangsa. Berdasarkan data BKKBN dan UNICEF, sejumlah 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Krisis ini tidak hanya soal absennya sosok ayah secara fisik di rumah, tetapi juga absennya panduan, keteladanan, dan keamanan psikologis yang hanya bisa lahir dari kehadiran utuh seorang ayah. Anak-anak pun tumbuh tanpa tahu kepada siapa harus pulang ketika dunia menjadi terlalu asing dan menakutkan.

Di dalam hal kesehatan pun, kondisi anak-anak Indonesia masih jauh dari aman. Data menunjukkan, lebih dari 1,8 juta anak belum mendapatkan imunisasi dasar. Sebuah tanda tanya besar dalam kelalaian administratif. Menjadi bentuk nyata dari ketimpangan akses layanan kesehatan dasar yang membuat anak-anak hidup dalam ancaman penyakit, kecacatan, bahkan kematian, yang seharusnya bisa dicegah. Ironi ini menjadi terlalu menyakitkan saat negara bersikeras menyebut bahwa anak-anak adalah prioritas. Bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa.

Senyatanya, perlindungan yang seharusnya menjadi hak dasar anak-anak itu justru bergantung pada nasib dan keberuntungan. Di banyak tempat, anak-anak dibiarkan tumbuh sendiri, di tengah sistem yang rapuh serta masyarakat yang apatis. Namun, di tengah semua keputusasaan ini, ada secercah harapan yang tak pernah padam. Sebab, dalam Islam, anak bukan sekadar ahli waris tanah dan nama. Anak adalah amanah. Kehadiran mereka adalah tanggung jawab besar umat.

“Anakku, Makan Siang Gratismu itu Mahal Banget...”

Islam menempatkan anak dalam posisi yang sangat dimuliakan — dijaga hak hidupnya, hak pendidikannya, hak kasih sayangnya, dan hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan nilai-nilai tauhid dan kebaikan. Di dalam Al Qur’an, Allah memeringatkan dengan tegas:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu” (QS Al-Isra: 31). Ayat yang menjadi teguran keras terhadap sistem dan masyarakat yang membiarkan anak-anak mati secara perlahan, baik karena kelaparan, karena kekerasan, karena pendidikan yang kosong, karena keluarga yang porak-poranda, maupun karena negara yang gagal hadir. Hari Anak Nasional seharusnya bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan ajang muhasabah mendalam tentang sejauh mana negeri ini telah berlaku adil terhadap generasi paling rentan itu. Dan jika sistem ini terus melalaikan peran perlindungan, maka umat Islam tak boleh ikut diam. Sebab, tanggung jawab menjaga anak bukan semata urusan pemerintah, tetapi amanah ilahi yang tak boleh diabaikan.

Sudah saatnya arah perjuangan berubah. Tidak hanya berjuangan dengan membangun sekolah, program, atau rumah singgah. Tetapi dengan membangun peradaban. Peradaban yang berpijak pada Islam—yang tak pernah membiarkan anak tumbuh tanpa kasih, tanpa arah, dan tanpa masa depan.

Selamat Hari Anak Nasional. Untuk semua anak Indonesia yang tumbuh dalam badai, kalian adalah ahli waris negeri yang menjadi cahaya bagi lahirnya kembali makna keadilan dan kasih sayang.