Napak Tilas di Museum Kereta Api Hijaz
Ketika Sultan Abdul Hamid II menjalankan pemerintahan, kebijakannya cenderung berfokus pada konektivitas antar wilayah. Itu langkah awal penyatuan semua ras yang ada di Kesultanan Utsmaniyah. Strategi itu membuat banyak bangsa Arab menaruh simpati kepadanya, termasuk salah seorang warga Damaskus bernama Ahmed Izzat Pasha Al-Abed. Bahkan, Izzat Al-Abed di kemudian hari memelopori beroperasinya Kereta Api Hijaz sekaligus menjabat penasihat senior di lingkungan kesultanan.
Adanya jalur kereta api menjadi hal yang penting kala itu. Di antaranya untuk mempersingkat waktu tempuh jamaah haji, dari Damaskus menuju Madinah yang semula butuh waktu 40 hari menjadi hanya 72 jam. Kereta api juga memudahkan mobilisasi pasukan dan persenjataan demi keamanan nasional di daerah Syam, Hijaz, dan Yaman. Terutama saat Inggris mencaplok daerah Mesir dan Terusan Suez.
Proyek kereta api tersebut bermula dari keluarnya Dekrit Sultan pada 1 Muharram 1318 H (Maret 1900) untuk pendirian Kereta Api Hijaz. Rencana awalnya rel kereta api membentang dari Damaskus ke Makkah. Tetapi dalam progresnya hanya sukses sampai Madinah, karena tuntutan dari warga sipil dan pengaruh Perang Dunia. Dekrit tersebut berlandaskan persatuan Islam tanpa intervensi pihak asing dalam penyediaan atau pengelolaannya.
Kala itu, pihak Konsul Inggris di Damaskus menganggap proyek itu bakal mandek karena sifat tanah gurun yang tak memungkinkan. Belum lagi risiko over budget, ditambah kondisi Kesultanan Utsmaniyah yang di ambang kebangkrutan. Namun, banyak tokoh Islam dari berbagai penjuru yang mendukung proyek, di antaranya Muhammad In Sya Allah, seorang warga India pemilik surat kabar Al-wakil. Seorang insinyur Turki, Mukhtar Bey, lalu mengamati, yang paling memungkinkan untuk rute rel kereta api ialah mengikuti jalanan kafilah unta kuno dengan modifikasi di lapangan.
Warga Syam juga berperan besar dalam penyelesaian proyek ini. Di antaranya ialah Sadiq Pasha Al-Muayyad Al-Azm. Beliau berhasil meletakkan jalur telegraf dari Damaskus ke Madinah. Keberhasilan ini menambah semangat penyelesaian proyek ini.
“Aku selalu mengamati peta dan melacak rute kapal perang yang ada. Ketika kami melintasi perbatasan negara-negara Hijaz seperti Yanbu’, Rabigh, dan Jeddah, terbayang dalam perkiraanku bahwa inilah rute yang memungkinkan untuk perjalanan Haji” (Kutipan buku The Journey of Al-Habasyah, karya Sadiq Pasha Al-Muayyad al-Azm).
Baca juga: Gunung Uhud dan Arti Sebuah Ketaatan
Yang menarik, jika biasanya balok penopang (bantalan) rel kereta api berbahan baku kayu, di Hijaz baik rel maupun bantalannya semua berbahan besi, karena kayu dianggap tidak praktis untuk daerah yang bercuaca ekstrim. Uniknya, penggunaan besi sebagai penopang rel membuka lapangan kerja bagi 5.000 - 7.000 pekerja. Kala itu, mayoritas pekerja berasal dari para tentara di daerah Syam dan Palestina. Pada masa itu pula, sebuah institut khusus jurusan Insinyur Perkereta Apian berdiri di Istanbul.
Dan rangkaian jalan sejarah Kereta Api Hijaz seperti dikutip dari buku “Hejaz Railway” karya J Nicholson dapat disebutkan, yaitu pembukaan jalur rute Damaskus-Amman (Yordania) pada Desember 1903; pembukaan jalur rute ke Tabuk (yang rencananya akan menjadi stasiun besar) mencakup perumahan dan rumah sakit pada September 1906; dan pembukaan jalur rute ke Al-‘Ula pada September 1907.
Ada juga dinamika di tengah proyek berlangsung. Di antaranya ada gerakan dari Suku Harb di Madinah, yang menolak perpanjangan jalur rute ke Mekah. Mereka menentang karena hal itu akan berdampak pada pengaruh ekonomi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai penyedia jasa angkutan berupa onta. Gubernur pun terpaksa memutuskan bahwa jalur rel tidak akan melewati batas Madinah.
Pada 22 Rajab 1326 (28 Agustus 1908), sejarah kereta api itu pun dimulai. Itulah pertama kalinya kereta api dari Damaskus menghela nafas di stasiun Al-‘Anbariyah, Madinah. Rel kereta api sepanjang 1.464 kilometer dibangun, yang menelan biaya 3 juta lira Kesultanan Utsmaniyah (sekitar 430 kg emas). Kedatangan kereta itu diresmikan dengan upacara khusus, sebagai wujud rasa syukur warga. Namun, perayaan ini juga dibayangi suasana mencekam karena setelah itu ada tanda-tanda revolusi melawan Sultan Abdul Hamid II.
Tahun 1909, terjadi Revolusi Turki Muda yang memaksa Sultan Abdul Hamid II mengembalikan sistem monarki konstitusional 1876, dan memasukkan politik multi-partai ke dalam Kesultanan Utsmaniyah. Akhirnya, Sultan Abdul Hamid II menyerah dan mengumumkan pemulihan konstitusi. Beliau digantikan oleh Sultan Mehmed V. Tahun 1918, Sultan Abdul Hamid II wafat dalam pengasingan tanpa menikmati hasil prestasinya kala itu.
Sejak tahun 1909-1917 hingga awal Perang Dunia I, peroperasian kereta api berjalan sesuai rencana dan kapasitas penumpang meningkat dari 198.000 penumpang tahun 1910 menjadi 360.000 penumpang di tahun 1913. Memasuki fase Perang Dunia I, Kesultanan Utsmaniyah pada November 1914 menyatakan keberpihakan kepada Blok Sentral untuk melawan Blok Sekutu. Ketika ditelusuri oleh beberapa orientalis terkemuka – termasuk Snouck Hurgronje – menyimpulkan bahwa keberpihakan itu bukan murni inisiasi Kesultanan Utsmaniyah melainkan campur tangan Jerman.
Baca juga: Masjid Al-Qiblatain, Saksi Bisu Perpindahan Kiblat
Di sisi lain, Blok Sekutu gencar mendorong penguasa lokal di wilayah Hijaz dan Najd untuk memberontak melawan Kesultanan Utsmaniyah. Hingga terjadi Pemberontakan Arab tahun 1916. Hasilnya, seorang Gubernur Makkah dari Kesultanan Utsmaniyah, Syarif Hussein bin ‘Ali, mendeklarasikan diri sebagai Raja Hijaz. Situasi lalu berkecamuk. Pada Mei 1917, pesawat Inggris menjatuhkan bom di stasiun Al-‘Ula untuk menyabotasenya, hingga meluas ke daerah Tabuk, yang berakibat prajurit Utsmaniyah terpukul mundur dari sana.
Akhir dari Perang Dunia I, pihak Blok Sentral dinyatakan kalah, dan pada November 1918 Genjatan Senjata Global diteken, yang berakhir dengan keputusan bahwa Blok Sentral harus membagi wilayahnya kepada negara-negara Blok Sekutu. Upaya dari Blok Sekutu untuk memutuskan aktivasi kereta api juga sangat berpengaruh. Salah satunya kelicikan mata-mata terkenal Lawrence yang membagikan sepotong emas kepada bandit Badui untuk setiap rel dan lintasan yang mereka bongkar dari rel rute Ma’an (Yordania) ke Madinah.
Singkat cerita, setelah Kesultanan Utsmaniyah resmi dibubarkan pada tanggal 3 Maret 1924, terjadilah perebutan kekuasaan di Jazirah Arab pada masa itu, yang berakhir dengan menangnya Muhammad bin Saud atas Raja Hijaz, Hussein bin Ali. Pada tahun 1932, Kerajaan Arab Saudi resmi terbentuk.
Pada masa Kerajaan Arab Saudi, banyak negosiasi untuk reaktivasi kereta api. Namun, semua gagal karena penolakan keras dari Inggris dan Prancis di negara bekas jajahan mereka. Itu semua terlampir jelas kisahnya di majalah Umm Al-Qura.
Pada tahun 1955, di Riyadh diupayakan lagi negosiasi antar tiga negara. Kondisi rel dan kereta saat itu memprihatinkan. Saat itu hanya tersisa 44 % jalur dari kondisi awal yang bisa dilalui. Selebihnya butuh perbaikan besar untuk dapat diaktifkan kembali.
Tahun 1966 perbaikan dimulai. Khususnya rute antara Al-Mudawwara (Yordania) ke Tabuk. Namun, pekerjaan mandek karena pada 1967 terjadi perang antara Israel dengan gabungan 4 negara Arab, yang lebih dikenal sebagai Perang Arab-Israel. Kemudian, dengan segala kendala, proyek perbaikan rel dan kereta api di Kerajaan Arab Saudi dihentikan dan dialih fungsikan menjadi museum. Salah satu stasiun masih ada, yaitu Stasiun Al-‘Anbariyah di Madinah Al-Munawwarah. Berbeda dengan di Suriah dan Yordania, kereta api Hijaz ini masih digunakan hingga waktu belakangan.
Sejarah mencatat sumbangsih besar Sultan Abdul Hamid II dalam proyek kereta api Hijaz. Maka, di beberapa rel kereta api di Yordania diabadikan tulisan “Inilah amal atas nama Amir Sultan Abdul Hamid II. Semoga Allah swt memberkahi beliau dan menolongnya”.
Itulah sejarah ringkas adanya Museum Kereta Api Hijaz di Madinah. Semoga kita semua dimudahkan berkunjung ke Madinah dan menyaksikan langsung bukti sejarah Khilafah Islamiyah di sana. Aamiin.