Natsir Zubaidi: “Becerminlah kepada Jenderal Sudirman yang Sederhana dan Tak Kenal Menyerah!”
Ciri kepahlawan bukan dinilai dari “prestise”, tetapi dilihat karena prestasi. Saat ini kita sangat sulit mencari figur tokoh yang pantas dijadikan suri teladan. Yaitu tokoh yang memiliki sikap dan kepribadian yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh. Hal itu dituturkan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, HM. Natsir Zubaidi, dalam rangka menyambut Hari Pahlawan, 10 November 2024.
Menurut Natsir Zubaidi, salah satu tokoh yang layak untuk dijadikan contoh tentang kepahlawanan adalah Jendral Besar Sudirman. Natsir mengatakan, generasi muda dan para pemimpin bangsa saat ini perlu becermin kepada sosok Panglima Besar Jenderal Sudirman, baik dalam kapasitas perannya sebagai Bapak TNI maupun Bapak Bangsa.
“Beliau adalah seorang pejuang yang sederhana dan tidak pernah menyerah. Walau pun beliau bukan lulusan Akademi Militer seperti misalnya Jenderal Urip Sumoharjo yang pernah menjadi Anggota KNIL, tetapi Jenderal Sudirman memiliki bakat kepemimpinan dan strategi pertempuran yang andal. Beliau memimpin lansung pertempuran dan berhasil mengusir Pasukan Sekutu yang berada di Magelang, dalam peristiwa yang terkenal dengan ‘Palagan Ambarawa’,” tutur Mustasyar DMI (Dewan Masjid Indonesia) Periode 2024 - 2029 itu.
Sikap dan kepemimpinan Jenderal Sudirman itu, menurut Natsir Zubaidi, juga terlihat pada saat dwi-tunggal pemimpin Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, ditahan oleh Pasukan Belanda. Di saat itu, Jenderal Sudirman, dengan penuh ketegaran dan keteguhan sikap, lebih memilih memimpin perang gerilya bersama pasukannya. Padahal, ketika itu Sudirman sudah mulai sakit-sakitan karena menderita sakit paru-paru.
“Walau pun sedang menderita sakit paru-paru, tetapi beliau tetap memimpin perang guna memertahankan negara Republik Indonesia yang baru Merdeka. Ketika para tokoh bangsa, dokter pribadi, dan para pengawalnya antara lain Suparjo Rustam, Tjokropranolo, dan lainnya, melarang Pak Dirman (Jenderal Sudirman, red) untuk turun bergerilya karena khawatir sakitnya akan bertambah parah, maka dengan tegas beliau berkata, ‘Yang sakit adalah Sudirman. Panglima besar tidak sakit!’,” kata pria yang pernah menjadi Anggota MPR RI periode 1997 - 1999 itu.
Natsir pun menyebut, teladan Jenderal Sudirman perlu kita angkat dan ingat selalu setiap kali bangsa Indonesia memeringati Hari Pahlawan 10 November seperti saat ini. Khususnya di saat kita mengingat figur pahlawan di momen 10 November.
Di bagian lain, Natsir Zubaidi juga menyoroti perlunya generasi muda kita disiapkan dengan jiwa dan semangat kepahlawanan. “Dalam rangka memeringati Hari Pahlawan 10 November, tentunya kita tidak saja memeringati momen itu hanya secara ritual dan formalitas belaka, tetapi harus kita persiapkan secara konseptual dan menunjukkan keteladanan dari para pemimpin di pelbagai level. Keteladanan harus disiapkan untuk generasi muda kita. Jiwa dan semangat kepahlawan di segala bidang hanya dimiliki oleh orang atau pribadi yang memiliki karakter dan integritas yang kuat dan memadai,” tegas Natsir yang pada 1990 – 1995 menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suara Masjid itu.
Menurut Natsir Zubaidi, pada setiap era, kurun waktu, dan generasi, terdapat kejadian yang luar biasa. Di setiap era dan generasi tersebut, akan lahir dan tampil pahlawan-pahlawan. Dan semua itu tidak muncul seketika itu saja, melainkan merupakan bagian dari proses panjang dalam perjalanan sejarah. Peristiwa 10 November 1945, kata dia, tidak lepas dari proses sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia.
“Baru satu dekade terakhir ini terungkap bahwa sebelum terjadinya peristiwa 10 November 1945, ada ‘Resolusi Jihad’ yang diinisiasi oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang merupakan embrio Partai Islam Masyumi,” tutur Pendiri dan Penggagas Perhimpunan Remaja Masjid (PRIMA) Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Natsir Zubaidi melanjutkan, pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa jiwa kepahlawanan itu memiliki ciri-ciri. Di antaranya adalah memiliki karakter, integritas, dan punya keberanian untuk melakukan perubahan.
“Nabi Muhammad Rasulullah saw, sejak muda sudah mendapatkan gelar Al Amin, karena jujur dan dapat dipercaya. Setelah itu, karakter, integritas, dan keberanian Rasulullah ditunjukkan dengan melakukan gerakan Hijrah, membina (ijtihad) masyarakat Madinah, dan melakukan perjuangan untuk kesejahteraan dan perdamaian serta keselamatan umat manusia. Ketika Fathu Makkah, Rasulullah saw telah memberikan pengampunan umum yang seperti grasi dan abolisi kepada segenap tokoh dan masyarakat Makkah yang menzalimi beliau,” urainya.
Di dalam konteks Indonesia, menurut dia, kita menyaksikan para founding Fathers semisal Sukarno, Hatta, Syahrir, M. Natsir, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Sudirman, dan lain-lain, telah memiliki idealisme dan menunjukkan jiwa, karakter, serta integritas mereka terhadap tanah air dan bangsanya. Mereka telah membuat dan melakukan perubahan dari situasi penjajahan menuju Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
“Selanjutnya, kita juga menyaksikan peranan kaum muda, pemuda, pelajar, dan mahasiswa, pada era Orde Baru. Ketika masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru, gerakan KAPPI, KAMI, dan TNI beserta rakyat, telah berhasil menggagalkan kudeta Gerakan Tiga Puluh (G30S/PKI) yang telah menculik dan membunuh secara keji para jenderal pimpinan Angkatan Darat. Pada era tahun 1966, saat itu tampil para pemimpin muda. Ada Subhan ZE, Harry Tjan Silalahi, Lukman Harun, Husni Thamrin, Cosmas Batubara, Abdul Ghafur, Fahmi Idris, dan lain-lain. Begitu juga pada era 1998, anak muda pun tampil dalam menyelamatkan bangsa yang tengah dilanda krisis politik dan ekonomi. Demonstrasi para mahasiswa berlangsung di kawasan Gedung MPR/DPR RI. Maka tampillah tokoh Reformasi semisal Amien Rais, Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang memerjuangkan agar Indonesia dapat bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau KKN,” jelasnya.
Maka, Natsir Zubaidi pun berpesan, bahwa generasi muda adalah tumpuan harapan bangsa. Maka, sebagai harapan bangsa, para generasi muda harus memersiapkan diri dengan baik. Caranya antara lain dengan memerbanyak literasi, baik tekstual maupun kontekstual.
“Perbanyak literasi itu berguna untuk menjadi bekal agar kaum muda itu memiliki idealisme, integritas, dan keberanian untuk menjadi pemimpin masa depan,” pesan H.M. Natsir Zubaidi yang juga Pembina Institut Risalah Peradaban itu pula.