Noda di Malam Pertama

Ramadhan tiba. Hati semua kaum muslimin riang. Kewajiban menjalankan ibadah puasa memang berat, namun setiap kali bulan suci ini menghampiri, kaum muslimin dihinggapi rasa bahagia yang sulit dijelaskan.

Perhatikan, bagaimana anak-anak yang hatinya masih polos itu riang gembira memasuki awal bulan Ramadhan. Dengan segala tingkah polahnya, mereka datang bergerombol memadati masjid dan mushola, di kampung dan di kota. Tempat dan fasilitas rumah ibadahnya berbeda. Namun, lihatlah keriangan di wajah polos itu menyiratkan rasa bahagia yang sama.

Ibu-ibu dan remaja putri yang umumnya tidak sholat berjamaah di masjid, di bulan puasa mereka datang ke masjid dengan bergelombang-gelombang. Mengenakan mukena putih yang terlihat suci, menebar senyum dan keriangan, makin menambah cantiknya malam pertama di bulan Ramadhan.

Di sebuah komplek perumahan kelas menengah, sekelompok takmir masjid tampak tersenyum bahagia melihat semaraknya malam pertama di bulan suci Ramadhan. Anak-anak yang berlarian di selasar masjid dengan tawa canda hingga pekikan keras, tidak terlihat mengganggu panitia penjemputan tamu Allah. Mereka tetap tersenyum.

Dulu, para takmir masjid ini adalah segerombolan anak-anak yang juga suka membuat gaduh di masjid. Tak hanya di malam pertama, bahkan sepanjang bulan Ramadhan mereka senantiasa bergaduh ria di masjid masing-masing. Entah berapa kali hardikkan, bahkan jeweran pun kerap hinggap di telinga.

Namun itu semua menjadi pahatan memori yang indah. Kenangan membuat onar di masjid di bulan Ramadhan ternyata menghadirkan sensasi spiritual. Ada kebahagiaan di masa kanak-kanak yang selalu timbul, manakala bulan suci menghampiri.

Itulah, mengapa para takmir masjid ini tersenyum saja, saat penyiapan malam pertama bulan suci Ramadhan di tingkahi dengan jerit dan tawa anak-anak. Mereka yakin suatu hari nanti, di antara iman, di antara khauf dan raja’ kepada Allah azza wa jalla, kenangan membikin gaduh di masjid akan memainkan pesona dan daya panggilnya di setiap sore terakhir bulan Sya’ban, menggiring jiwa dan hati mereka untuk kembali ke masjid.

Takmir masjid ramah menyalami jamaah yang berdatangan. Di antara mereka ada para tetangga komplek yang sudah amat mereka kenali. Tetangga ini umumnya jamaah aktif yang saban sholat fardhu selalu hadir sholat bareng di masjid. Jumlah mereka tidak banyak. Tidak pernah mencapai dua shaf penuh. Padahal jumlah rumah yang ada di sekitar masjid lebih dari 300 rumah.

Para jamaah aktif ini kemudian nimbrung bincang-bincang dengan takmir masjid. Membincangkan banyak hal, bersenda gurau, sembari tak lupa memberi saran pada pengurus takmir masjid tentang banyak hal.

Lalu makin ramailah warga komplek berdatangan. Banyak wajah warga komplek yang jarang di temui di masjid oleh para jamaah aktif. Ketua Dewan Kemakmuran Masjid ramah menyapa wajah wajah baru ini dengan jabatan tangan yang erat dan wajah penuh senyum ramah.

Tiba-tiba Ketua DKM mendengar bisikan di telinganya. “Yang barusan Bapak salami itu namanya Edi, boro-boro ke masjid, di rumahnya saja gak pernah sholat! Giliran awal puasa, pakai baju koko lengkap, kayak yang ustadz aja! Ngapain bersikap terlalu ramah sama dia?”

Sesaat Ketua DKM tercenung. “Orang kayak gitu perlu di kasih pelajaran Pak Ketua, dia pikir beragama cukup setahun sekali, udah gitu sombong lagi, gak pernah mau kumpul sama kita-kita…” cerocos sang pembisik berusaha menuntaskan pesannya.

Ketua DKM tak langsung berkomentar, ia terus menyalami para jamaah yang hadir dengan tetap ramah dan penuh senyuman. Sesungguhnya bukan kali ini saja ia mendengar hal serupa. Jamaah yang aktif hadir dalam sholat lima waktu di masjid, entah karena cemburu atau dengki, sering merasa tak suka ada orang yang hadir ke majelis tarawih, lantara keseharian orang tersebut bukan termasuk ahli sholat jamaah. Lalu Ketua DKM itu pun menjawab:

“Mereka tamu Allah, jika yang punya rumah saja gembira dengan kedatangan mereka, memberi ruang luas untuk mereka, membuka pintu rahmat dan ampunan bagi mereka, lalu mengapa kami yang sekedar pelayan masjid harus keki dengan kehadiran mereka?”

“Ramadhan adalah rahmat, fasilitas, anugerah, bahkan ujian bagi kaum beriman, termasuk kita.  Berbahagialah dengan bertambahnya saudaramu dalam iman, siapa tahu ramadhan ini menjadi gerbang baginya untuk kaffah dalam ber-Islam. Mungkin malam ini dia lebih tulus dari kita semua? Sementara kita rajin ke masjid hanya karena kepentingan pergaulan dan pamrih lainnya. Hanya Allah yang tahu.”

“Sebaiknya kita juga membuka pintu hati untuk setiap orang yang ingin dekat kepada Allah. Seperti Ramadhan yang terbuka untuk semua yang beriman. Jangan nodai malam pertama kita di bulan suci ini dengan prasangka dan kedengkian, kepada siapapun yang mendekat kepada Allah. Belum tentu amalan kita diterima oleh Allah Azza wa jalla.”

Masih dengan wajah yang ramah dan penuh senyum, Ketua DKM mengakhiri pidato sambutan ramadhan yang spesial untuk sang pembisik. Ia pun bergegas, sebentar lagi dia akan memberi sambutan untuk seluruh jamaah bersama Ketua RW, mengawali Ramadhan.

Demikianlah, mungkin penggalan drama di atas kerap kita jumpai dalam komunitas masyarakat muslim. Tentu dengan berbagai variannya. Intinya, ada semacam ketidak-senangan bahkan ketidak-ridloan jika ada saudara seiman yang jarang ke masjid, tiba-tiba ikut datang ke masjid. Seakan tak rela, jika orang yang sehari-harinya membangkang dari seruan Allah untuk sholat, tiba-tiba memperoleh peluang untuk mengunduh keberkahan bulan suci Ramadhan.

Perasaan yang mungkin manusiawi. Tapi kedengkian semacam itu tentu tidak bisa dibenarkan. Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun, justru sangat senang jika ada hamba yang bertaubat dan mengetuk pintu kasih-Nya.

Ramadhan adalah telaga ampunan. Pendosa besar dan pendosa kecil boleh menciduk ampunan sesuai kadar taubatnya. Telaga ampunan itu tak akan habis, jika pun seluruh pendosa besar ingin membasuh dosa mereka.

Sungguh tak pada tempatnya memandang orang yang jarang ke masjid ikut hadir tarawih dengan tatapan curiga atau kedengkian. Kita tak tahu hati mereka, tidak tahu apa masalah mereka, jadi tak pantas menghakiminya. Mari kita optimalkan Ramadhan sebagai bulan ampunan, untuk membasuh daki-daki kebencian.

Rasulullah saw berkata pada Jabir bin Sulaim,

وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” HR. Abu Daud dan Tirmidzi