Normalisasi Maksiat
Jika kita perhatikan media sosial sekarang ini, ada hal yang menonjol. Tidak jarang di sana ada konten-konten yang menampilkan hal tak senonoh. Seakan hal yang ditampilkan di konten-konten itu menjadi sebuah tren, kelaziman, bahkan menjadi sebuah kebiasaan.
Misalnya konten-konten wanita yang menampakkan aurat, pasangan laki-laki dan perempuan yang memamerkan kemesraan dengan bergandengan tangan padahal bukan mahramnya (belum menikah), sampai konten hubungan pasangan sesama jenis (LGBT), dan lain sebagainya. Anehnya, tidak tampak dari mereka (para pembuat konten) itu rasa malu atau takut. Mereka bahkan tampak bangga dengan apa yang dipamerkan di media sosialnya. Mereka menganggap ini adalah hal yang normal. Apalagi ada di antara mereka yang notabene adalah public figure yang banyak follower-nya.
Hal ini menjadi sebuah tanda adanya pergeseran nilai-nilai atau standar dalam kehidupan. Di masa dulu, orang akan merasa malu, misalnya jika wanita memakai baju yang terlalu terbuka ia akan menjadi perbincangan tetangganya, sebagaimana juga hubungan yang berlebihan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apalagi hubungan sesama jenis. Hubungan sesama jenis adalah perbuatan yang memalukan serta menjijikkan. Tetapi sekarang, seolah-olah itu adalah hal yang biasa, yang tidak perlu dipermasalahkan, bahkan layak diperjuangkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujaahiriin”.
Al Mujaahiriin adalah orang yang terang-terangan tidak malu atau bahkan bangga dengan maksiat yang telah diperbuat.
Orang yang menganggap itu adalah hal-hal yang biasa dan tidak perlu dipermasalahkan, mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah ranah privasi. Wilayah pribadi yang tidak boleh dicampuri. Dan hal itu dianggap tidak merugikan orang lain. Padahal, itu adalah pemahaman yang keliru.
Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus dalam kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal. Nantinya ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah kapal tersebut. Yang berada di bagian bawah kala ingin mengambil air, tentu ia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, “Andaikata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.” Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu.” – HR. Bukhari
Hadits tersebut menggambarkan akibat kesalahan atau maksiat seseorang, dapat menghancurkan seluruh orang di kelompoknya (kapal akan tenggelam). Agar selamat, mereka harus saling mengingatkan. Melakukan amar ma'ruf nahi mungkar.
Kita tentu harus mengingkari semua hal yang dapat mendatangkan azab dari Allah SWT. Nabi Muhammadd shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara bijak dalam mengingkari kemungkaran. Kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” – HR. Muslim
Di dalam hadits ini, Rasulullah SAW memerintahkan siapa saja yang melihat kemungkaran untuk mengubahnya sesuai kemampuan. Nahi munkar dengan cara yang baik, tidak mengingkari kemungkaran dengan cara yang mungkar. Ketika misalnya ada konten yang mengandung maksiat di dalamnya, kita bisa menggunakan fitur report agar konten itu di-take down oleh platform media sosial. Dan memberi nasihat secara langsung kepada pembuat konten sesuai kebutuhannya. Bukan memberi komen yang menjelek-jelekan.
Semoga kita dapat selalu saling memberi nasihat, agar semua selamat, terhindar dari malapetaka akibat maksiat yang merajalela. Aamiin..