Omer Kanat: Menyikapi Pengekangan Hak Muslim Uighur

Perhimpunan Remaja Masjid Indonesia Dewan Masjid Indonesia (PRIMA DMI) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Memantik Solidaritas Umat Islam, Menyikapi Pengekangan Hak Muslim Uighur” di hotel Balairung Jakarta, (12/4).

President of Uyghur Human Rights Project (UHRP) Omer Kanat mengungkapkan bahwa pengekangan umat Muslim Uighur nyata adanya. Dan itu sudah berlangsung sejak lama. Sampai saat ini ada sekitar 2-3 juta yang masuk kamp konsenstrasi dengan dalih pembinaan ideologi komunis, tapi nyatanya di kamp tersebut terjadi penyikasaan dan cuci otak. Tujuannya  untuk memutus mata rantai kebudayaan nenek moyang mereka, yang secara turun temurun beragama Islam, agar selaras dengan kebijakan pemerintah Cina.

“Secara etnis dan budaya kami berbeda dengan Cina. Secara turun temurun nenek moyang kami memeluk Islam sejak abad ke 10, jauh lebih dahulu dari bangsa Indonesia. Kami ingin hidup sesuai tradisi kami,” tutur Kanat dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh moderator Ahmad Arafat.

Kanat mengungkapkan, pada kenyataannya pemerintah Cina ingin menghapus jejak leluhur kebudayaan Uighur dan ingin menyelaraskan dengan  kebijakan (ideologi) pemerintah.

“Bahkan lebih dari 1000 Imam kami ditahan dan dimasukan ke dalam kamp konsentrasi,” tambahnya.

Sementara itu pembicara lain, Dr. K.H. Shobahussurur Syamsi, M.A mengatakan, masalah Uighur adalah problem umat Islam dunia. Ada solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut, diantaranya, para ekspatriat Uighur di pengasingan menyatukan tekad untuk membebaskan bangsanya dari kekuasaan Cina. Membuat visi dan misi tentang bangsa Uighur baru yang mandiri dan berdaulat.

Kemudian menetapkan pimpinan tertinggi yang mengorganisir perjuangan, dengan keterampilan dalam berdialog dengan berbagai bangsa.

Tahapan selanjutnya, tambah Syamsi, aktivis Uighur harus melakukan dialog terus menerus dengan pihak Cina untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan. Membuat tahapan-tahapan  perjuangan dari yang paling utama dengan mengangkat masalah pendidikan yang dianaktirikan sampai masalah ketimpangan sosial dan kebebasan berekspresi serta beragama.

“Saya menyarankan menghindari cara-cara  kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok kecil Uighur supaya tidak timbul reaksi negatif tentang radikalisme dan terorisme. Juga harus mengirimkan putra putri terbaiknya belajar di Perguruan Tinggi luar negeri,” tambahnya.

Masyarakat Indonesia, lanjut Syamsi, perlu mempelopori untuk menerima pelajar dan mahasiswa Uighur  belajar di perguruan tinggi di Indonesia dengan beasiswa yang dicarikan oleh pihak Indonesia. Kemudian memberikan bantuan pendampingan dalam hal komunikasi, dialog, dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak.