Pakar Hukum Tata Negara UI: “Putusan MK Dorong Munculnya Calon Kepala Daerah Lebih Berkualitas”
Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Keputusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan MK Nomor 60 yang baru saja dibacakan itu diprediksi akan membawa dampak besar bagi kompetisi pemilihan kepala daerah di Indonesia. Keputusan tersebut pun diharapkan mampu meningkatkan jumlah calon yang berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah, memberikan masyarakat lebih banyak pilihan, dan mengurangi dominasi partai politik besar.
Hal itu dikemukakan Pakar Hukum Tata Negara UI (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Fitra Arsil, dalam wawancara eksklusif dengan Sabili.id. Kepada Kanzul Rakib dari Sabili.id, Fitra Arsil menyampaikan penilaian, bahwa substansi dari keputusan MK itu adalah langkah positif untuk meningkatkan kualitas calon kepala daerah.
“Keputusan ini patut diapresiasi karena memungkinkan lebih banyak calon untuk ikut serta, sehingga diharapkan muncul calon-calon yang lebih berkualitas dan mengurangi monopoli kekuatan politik besar,” ujar Prof Fitra Arsil.
Namun, kemudian muncul perdebatan tentang apakah Mahkamah Konstitusi telah melampaui batas wewenangnya atau melakukan ultrapetita, karena memutus perkara melebihi dari apa yang diminta oleh pemohon. Menanggapi perdebatan itu, Profesor Fitra Arsil menegaskan bahwa debat tersebut seharusnya sudah selesai. Keputusan MK sudah berlaku dan mengikat.
“Ultrapetita ini tidak bisa dihindari dalam keputusan MK, karena keputusan yang mereka buat mengikat seluruh warga negara, bukan hanya para pemohon. Ini keputusan erga omnes, yang berdampak luas untuk semua,” jelasnya.
Pembatasan Keputusan pada Pertanyaan Politik
Fitra Arsil juga menyoroti bahwa Mahkamah Konstitusi harus membedakan antara isu hukum dan isu politik. Hal ini merujuk pada doktrin Political Question, di mana pertanyaan politik harus diselesaikan oleh politik, dan pertanyaan hukum harus dijawab oleh lembaga peradilan. Dengan demikian, keputusan hukum memiliki kebenaran absolut, sementara keputusan politik sifatnya bisa berubah.
“Mahkamah harus menahan diri dari memutuskan pertanyaan-pertanyaan politik yang seharusnya dijawab melalui mekanisme politik, bukan hukum,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan MK untuk senantiasa menjaga jarak dari pertarungan politik yang sedang berlangsung, guna menghindari persepsi bahwa MK mendukung salah satu pihak. “Keputusan MK seharusnya diambil jauh sebelum momentum politik, agar tidak terjebak dalam konstelasi politik praktis yang sedang berlangsung,” tambah Fitra Arsil.
Saling Kontrol Antar Lembaga Negara
Keputusan MK Nomor 60 itu juga membuka peluang terjadinya relasi konfrontatif antara lembaga negara. Khususnya dengan DPR. Dan hal itu hampir terjadi, ketika DPR – lewat Baleg – dalam waktu singkat merumuskan revisi UU Pilkada, lalu akan membawa revisi UU Pilkada itu ke Sidang Pleno Paripurna, yang akhirnya batal dilaksanakan karena jumlah anggota yang hadir tidak memenuhi kuorum.
Fitra Arsil lantas mengatakan, DPR memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang baru sebagai respon terhadap keputusan MK tersebut. Namun, ia mengingatkan pentingnya sinergi antar lembaga negara agar tidak terjadi saling jegal menjegal.
“Jika DPR membuat undang-undang yang kembali menabrak keputusan MK, maka MK bisa mengujinya kembali. Ini akan seperti siklus saling menikam kewenangan yang tidak sehat,” ujarnya.
Fenomena itu, menurut dia, mencerminkan dinamika hubungan yang rumit antara MK dan DPR, terutama dalam menguji materi undang-undang yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Ia menyebut, dalam sejarah keputusan MK terkait pencalonan kepala daerah oleh partai non-parlemen sejak tahun 2005, perubahan regulasi dan keputusan hukum terus terjadi. Maka, ia berharap, di masa depan, hubungan antar lembaga negara bisa lebih sinergis dalam menegakkan konstitusi. Bukan malah berkonfrontasi.
“Mekanisme ketatanegaraan yang sehat adalah yang saling kontrol tetapi tetap sinergis, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan konstitusi,” tutupnya.