Panggung Akademisi Pro Penjajah, Benarkah Murni Kecolongan?
Universitas Indonesia (UI) menuai kritik tajam setelah tokoh pro Zionis, Peter Berkowitz, dihadirkan dalam kegiatan pengenalan mahasiswa baru pascasarjana pada Jumat, 23 Agustus 2025. Peter Berkowitz adalah akademikus dari Stanford University yang dikenal luas memiliki pandangan pro-Israel dan rekam jejak membela agresi Zionis di Palestina. Tak ayal, kehadirannya di panggung akademik UI memicu munculnya pertanyaan serius: Apakah ini murni kecolongan atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?
Rektor UI, Prof. Heri Hermansyah, sudah memberikan klarifikasi. Ia menyebut pihak kampus “kecolongan” karena tidak melakukan pemeriksaan latar belakang narasumber dengan lebih seksama. Namun, seperti ada kejanggalan mengingat skala acara yang sebesar itu. Apalagi, agenda itu bukan hanya sekadar seminar kecil, melainkan bagian dari pengenalan kampus bagi mahasiswa baru, momen pertama yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai dan identitas UI.
Yang membuat publik kian menaruh tanda tanya, kehadiran Berkowitz di UI ternyata bukan agenda tunggal. Hanya sepekan sebelumnya, ia juga tercatat mengisi materi di Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU), sebuah program resmi PBNU yang dilaksanakan secara berkala sepanjang tahun. Fakta ini memerlihatkan bahwa kunjungan Berkowitz ke Indonesia tampaknya tidak terjadi begitu saja, melainkan terjalin dalam rangkaian acara yang lebih terstruktur.
Kedekatan Berkowitz dengan PBNU tampaknya bukanlah hal baru. Pada November 2022, ia menjadi salah satu narasumber di Forum R20 yang digelar NU di Bali. Setahun kemudian, pada September 2024, ia bahkan mengajak Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, dalam jamuan makan siang, saat Gus Yahya melakukan lawatan internasional ke Amerika Serikat. Di dalam kesempatan itu, Berkowitz secara terbuka memuji inisiatif R20 dan menyebutnya meninggalkan kesan mendalam. Lebih jauh, ia juga memertemukan Gus Yahya dengan sejumlah simpul strategis di Amerika Serikat yang dinilai bisa mendukung agenda internasional NU di masa depan.
Rangkaian fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan yang tak bisa dihindari. Jika benar UI kecolongan, bagaimana mungkin tokoh dengan rekam jejak pro-Zionis yang begitu kuat itu bisa “lolos” ke forum NU dan UI dalam jarak waktu berdekatan? Apakah memang sekadar kelalaian administratif, atau justru ada jejaring yang tengah dibangun di balik layar dengan dalih kerja sama akademik dan internasional?
Menariknya, kontroversi ini terjadi di saat arus opini publik global justru tengah bergeser. Riset terbaru di Amerika Serikat menunjukkan, hampir separuh Gen Z (usia 18–24 tahun) justru menyatakan dukungan kepada Hamas, sementara sisanya mendukung penjajah Israel. Artinya, Generasi muda di jantung Barat sendiri mulai menantang narasi lama yang selama ini memutihkan agresi penjajah Israel, bahkan berani menyebut tindakan brutal yang terjadi di Gaza sebagai bentuk genosida yang dilakukan terang-terangan di hadapan dunia.
Kontras ini semakin terasa bila melihat posisi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menegaskan dukungan resmi negara untuk solusi dua negara (two-state solution), sebuah sikap diplomatik yang mengikuti arus besar politik internasional. Akan tetapi, di ranah masyarakat sipil, isu Palestina jauh lebih sensitif. Kehadiran figur yang dianggap mewakili narasi pro penjajah Israel bukan hanya menuai kritik, tetapi juga bisa dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap denyut publik yang selama ini lantang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.
Gelombang protes publik terhadap kehadiran Peter Berkowitz di Universitas Indonesia menimbulkan tanda tanya besar: Siapa sebenarnya pihak yang membuka pintu bagi akademisi kontroversial itu? Apalagi momen kedatangan Berkowitz beriringan dengan fakta baru bahwa Yahya Cholil Staquf — Ketua Umum PBNU — baru saja terpilih menjadi Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI periode 2024–2029.
Sebagai Ketua MWA, Yahya memiliki posisi strategis dalam pengambilan keputusan penting di UI, termasuk kebijakan besar yang berkaitan dengan arah kerja sama maupun acara akademik yang berskala internasional. Di titik inilah, publik mulai mengaitkan dua fakta tersebut: Di satu sisi ada sosok Yahya dengan pengaruh barunya di UI, di sisi lain ada masuknya Berkowitz ke ruang akademik UI yang menimbulkan kontroversi.
Keterkaitan keduanya memang belum pernah dijelaskan secara terbuka. Tidak ada penjelasan resmi dari pihak kampus, tidak ada pula klarifikasi dari MWA. UI memang telah menyampaikan permintaan maaf. NU juga memiliki argumentasi sendiri terkait keterlibatan Berkowitz. Namun, publik tetap berhak bertanya: Di saat generasi muda di Barat mulai menantang hegemoni narasi pro penjajah Israel, mengapa justru salah satu kampus terbesar dan salah satu ormas terbesar di Indonesia memberi panggung kepada akademikus yang dikenal membela penjajah? Apakah ini sekadar “kecolongan,” atau sebenarnya ada agenda yang lebih besar yang belum sepenuhnya terlihat di permukaan?