Partai, Bangsawan Partai, dan Feodalisme Politik

Partai adalah instrumen demokrasi yang penting. Ia adalah kendaraan politik dan wadah aspirasi yang mestinya menampung kepentingan politik semua kader dan simpatisan partai. Sayangnya, sebagai instrumen demokrasi, banyak partai justru terjebak pada feodalisme politik.

Partai menjadi seperti sebidang tanah yang dikuasai oleh para tuan tanah. Layaknya sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan, yang ditandai oleh hubungan hierarkis antara pemilik tanah (tuan tanah) dengan para penggarap atau pekerja (petani). Di dalam sistem ini, tanah menjadi sumber kekuasaan dan ekonomi utama. Para tuan tanah memberikan perlindungan kepada para petani, sementara petani memberikan hasil panen atau jasa kerja sebagai balasan. Dari sinilah cikal bakal cerita feodalisme bermula.

Lalu kita melihat partai-partai di Indonesia saat ini. Semua partai, baik yang berhaluan nasionalis, sosialis, sekuler, atau bahkan yang Islamis, tampak tengah mengarah pada pola-pola feodal. Para pendiri partai atau (pada kasus lain) elite partai telah menjelma menjadi para pemegang saham atas partai itu. Berlagak layaknya tuan tanah atas partai-partai yang mereka dirikan atau pimpin.

Partai lantas menjadi sumber kekuasaan dan ekonomi. Orang direkrut menjadi kader, dicalonkan sebagai anggota legislatif atau eksekutif, semuanya dalam kewenangan elite partai. Aspirasi anggota dan simpatisan menjadi kisah romantis masa lalu yang cukup diperdengarkan ketika sedang berkampanye, lima tahunan!

Menempatkan partai politik sebagai sumber kekuasaan dan ekonomi membuat elite politik menjadi semacam pemilik yang dapat melakukan kapitalisasi atas partai politik dengan “menjual” tiket pencalonan dan distribusi kesempatan pencalonan kepada pihak tertentu. Sesuai pertimbangan dan kepentingan elite. Aspirasi simpatisan dan pemilih tetap didengar, namun tidak utama.

Hari Guru: Antara Supriyani dan Gubernur Bengkulu
Gubernur Bengkulu yang dimaksud di sini adalah Rohidin Mersyah. Guru Supriyani dan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah adalah kisah guru korban pemerasan dan atasan yang menjadi aktor pemerasan terhadap guru.

Beberapa ciri yang dapat dilihat dari menggejalanya feodalisme di dalam tubuh suatu partai dapat dilihat sebagai berikut:

Pertama, kekuasaan yang terpusat pada elite partai. Penguasa tertinggi partai bisa beragam. Bisa ketua umumnya, bisa pula dewan syuro. Tergantung sistem yang dianut oleh partai tersebut. Intinya, adanya kekuasaan yang terpusat hanya pada satu figur atau elite.

Aspirasi pendukung yang kuat bisa jadi kandas jika figur atau elite sentral tersebut berkehendak yang berbeda dengan arus suara pendukung. Kasus ini banyak terjadi pada penentuan figur calon kepala daerah.

Kedua, pola hubungan yang bersifat patronase. Kedekatan dan kesetiaan pada figur atau elite yang paling berkuasa di dalam partai akan lebih menentukan daripada kesetiaannya pada institusi formal, ideologi, dan nilai-nilai partai.

Ketiga, rendahnya pelibatan atau partisipasi kader dan simpatisan dalam beberapa isu krusial yang dihadapi oleh partai. Simpatisan hanya terima perintah. Sedihnya lagi, partisipasi kader dan simpatisan hanya digalang saat partai kekurangan dana kampanye. Tetapi saat menentukan siapa caleg, siapa cagub, siapa cabub, suara simpatisan tak pernah diminta!

Munculnya Bangsawan Partai

Melengkapi ciri dari tata kelola partai yang meniru feodalisme ala tuan tanah adalah munculnya bangsawan-bangsawan partai poitik. Siapa mereka? Tak lain dan tak bukan, adalah anak-anak biologis para petinggi partai. Bukan anak ideologis!

Lihatlah partai-partai politik kita hari ini. Hampir semua partai memiliki putera dan puteri mahkota. Mereka adalah anak-anak muda yang lahir sebagai bangsawan partai politik. Mereka anak pendiri partai, anak ketua partai, dan anak sekumpulan elite partai.

Anak Stroberi Tak Lahir dari Ayah dan Ibu Durian
Istilah Strawberry Generation menggambarkan generasi muda sekarang yang dianggap rapuh seperti buah stroberi—tampak indah di luar, tetapi mudah rusak saat mendapat tekanan.

Apa kinerja dan prestasi mereka? Publik tak banyak tahu. Tetapi tiba-tiba wajah-wajah mereka bermunculan dalam poster dan baliho calon anggota legislatif. Pencalonan mereka apakah aspirasi konstituen? Sudah barang tentu, bukan.

Nama mereka muncul karena satu alasan: Orang tuanya adalah petinggi partai yang telah lebih dari lima belas tahun menjadi anggota dewan dan atau menjadi anggota MPR! Kini, saat usianya menjelang tua, kursi dan jabatan itu akan diwariskan, akan diestafetkan, bukan kepada kader partai tetapi kepada anak-anak kandung mereka.

Tidak masalah, tak perlu malu. Toh mereka telah menjadi tuan tanah, dan partai politik telah menjadi properti mereka.

Jadi, saat ada banyak jari telunjuk politisi mengarah kepada wajah mantan Presiden Jokowi sebagai pejabat nepotis pada kasus pencalonan Gibran, sesungguhnya hal yang sama persis juga telah mereka lakukan. Ayo, lihatlah ramai-ramai calon-calon anggota legislatif yang kemarin ikut bertarung dalam Pemilu 2024. Di sana akan Anda dapati anak-anak para elite partai bermunculan, padahal ada sosok-sosok kader yang bertahun-tahun telah berdarah-darah berjuang di partai, serta lebih dikenal publik, tetapi tak pernah melompat ke hirarki yang lebih tinggi (baca: dicalonkan), karena tidak punya modal politik. Jika pun memiliki modal, jumlahnya pas-pasan. Dan mereka pun akhirnya tergusur oleh para bangsawan politik. Sungguh apes!

Partai politik feodal, mungkin salah satu alasan mengapa selalu saja tumbuh partai baru. Menjadi kader partai tak akan mengubah nasib. Seperti petani penggarap di lahan tuan tanahnya. Ia tak akan pernah sesukses pemilik tanah. Maka, cita-citanya adalah memiliki tanah sendiri.

Demokrasi hanya prosedural dan lamis. Kita semua terperangkap dalam feodalisme politik. Bahkan, mencoblos gambar pun di ladang politik orang lain!