Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 4): "PBJ, HMI & Korupsi"
"Sebuah artikel istimewa yang hanya ada di Sabili.id. Dituturkan langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua selama memegang amanah sebagai Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi. Tulisan ini akan kami hidangkan kepada pembaca setia Sabili secara berkala. Ada banyak fakta menarik yang selama ini tidak bisa menjadi konsumsi publik, bisa diiintip dari penuturan beliau ini. Berikut, seri keempat dari kisah beliau. Selamat menikmati."
Sejatinya, sebagai mantan Ketua Umum PB HMI, saya mengalami konflik batin selama di KPK. Sebab, lumayan banyak alumni HMI yang ditangkap KPK. Di antara mereka, ada seniorku. Ada pula yang satu angkatan. Bahkan, kami pernah sama-sama ikut LK-2. Tragisnya, mayoritas alumni HMI yang ditangkap KPK adalah juniorku. Mereka masih muda. Rata-rata berumur 30-an tahun.
Pasien pertama KPK, tahun 2004, justru alumni HMI. Beliau seorang gubernur yang masih aktif. Tidak berapa lama setelah gubernur tersebut ditangkap, PB HMI unjuk rasa di KPK. Mereka minta sang gubernur dibebaskan.
PBJ, Korupsi Terbesar
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah mendapat porsi terbesar dalam APBN. Sebab, setiap tahun, anggaran PBJ dalam APBN sebesar 35 persen. Namun, 35 persen PBJ se-Indonesia tersebut, tidak atau sangat kecil dinikmati rakyat kecil. Sebab, 42 persen dari PBJ tersebut dikorupsi Pengusaha. Mereka kerjasama dengan Penyelenggara Negara (PN) di hampir seluruh Kementerian/Lembaga Negara (K/L).
Semasa di KPK, kuketahui, 42 persen kasus korupsi yang ditangani lembaga anti rasuah ini berkaitan PBJ. Namun, pada masa pemerintahan Jokowi, angka tersebut meningkat menjadi 70 persen. Dampaknya, banyak infra struktur dan fasilitas K/L yang cepat rusak. Jalan tol Cipularang misalnya, enam bulan setelah diresmikan, jebol. Tol Cipali belum setahun, sudah berlobang di sana sini. Demikian pula halnya tol Palembang – Lampung, cepat rusak.
Penyebabnya, Pemborong tidak mengikuti SOP pembuatan suatu jalan. Namun, jika Pemborong mengikuti SOP yang ada maka mereka tidak bisa menggaji karyawan dan buruh hariannya. Sebab, dana proyek yang diterima dari K/L terkait, sudah berkurang sekian persen. Dana yang berkurang tersebut dikenal dengan pelbagai istilah. Ada yang disebut uang pelicin. Istilah popular, uang rokok, atau uang kopi.
Bandingkan dengan jalan tol Jagorawi. Puluhan tahun, sejak 1978 sampai sekarang, tidak ada kerusakan signifikan. Jalannya licin, rata, dan mulus. Tidak bergelombang, apalagi berlobang sana sini. Sebab, kontraktornya, perusahaan Hyundai, Korea Selatan. Ku ketahui hal tersebut sewaktu aku kunjungi Pusan, kota Pelabuhan Korsel (1980). Beratus kilometer tol, jalannya mulus. Tiada gelombang. Apalagi lobang. Baru aku tau bahwa, kontraktor jalan tol Jagorawi adalah Korsel.
Korupsi di sektor PBJ ini pula maka beberapa jembatan di Indonesia ambruk. Jembatan di Kartanegara, Kalimantan Timur misalnya, baru berumur 10 tahun, ambruk. Jembatan ini membentang sepanjang 710 meter di atas Sungai Mahakam. Jembatan yang diresmikan penggunaannya pada 2001 ini menelan biaya Rp 150 miliar. Penyelesaian jembatan ini ketika Syaukani menjadi Bupati Kutai Kartanegara. (Syaukani ditangkap KPK tahun 2007 karena merugikan keuangan negara sebesar Rp. 40 milyar. Ia berkaitan PBJ dalam tiga proyek). Tragisnya, jembatan yang ambruk pada tanggal 26 November 2011 ini memakan korban, cukup dahsyat. Tercatat 23 orang meninggal dunia.
Korupsi di sektor PBJ juga terjadi dalam perawatan pesawat latih milik TNI dan Polri. Tercatat, sejak 2 Februari 2005 sampai dengan 21 Juni 2012, sebanyak 17 kali pesawat TNI dan Polri yang jatuh. Pesawat-pesawat itu, ada yang jatuh ketika melakukan latihan. Ada pula sewaktu membawa penumpang. Selama tujuh tahun tersebut, tercatat 199 orang tewas, baik pilot maupun penumpang. Penyebab kecelakaan, selain faktor cuaca pesawat juga dianggap tidak dalam kondisi sehat. Hal ini disebabkan korupsi dalam PBJ, baik berupa pembelian komponen pesawat maupun proses perawatan.
Korupsi sektor PBJ yang signifikan juga terjadi dalam pengadaan alat kesehatan. Ratu Atut Chosiyah , mantan gubernur Banten, salah satu napi korupsi berkaitan pengadaan alat kesehatan. Beliau dijatuhi hukuman 5,5 tahun. Bahkan, universitas pun terlibat pengadaan alat kesehatan. Rektor Universitas Jambi, 2014 ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jambi. Beliau sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) ditetapkan sebagai tersangka karena merugikan negara sebesar Rp. 19 milyar guna pengadaan alkes Rumah Sakit Pendidikan Universitas Jambi, 2013.
PBJ yang paling jorok adalah pengadaan bus hasil tender yang bermasalah pada tahun 2013. Waktu itu, Jokowi dan Ahok menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Penyebabnya, para peserta lelang bersekongkol agar bisa memenangkan pengadaan. Akhirnya, Keputusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2014 memutuskan, 19 pihak melanggar aturan lelang. Sejumlah pejabat Dishub dan perusahaan pengadaan bus telah divonis bersalah. Mereka terbukti korupsi secara berjamaah. Namun, gubernur dan wakilnya masih lolos dari jeratan hukum sampai sekarang. Mungkin, pasca Pilpres 2024, kasus ini akan dibuka kembali.
Gubernur Ditangkap, HMI Demo KPK
Komisioner KPK, hanya beberapa bulan dilantik, menetapkan seorang tersangka. Gubernur sebagai pasien pertamanya. Gubernur ini ditangkap karena melakukan pelanggaran dalam membeli dua unit helikopter. Gubernur ini ditetapkan sebagai tersangka karena kasus pembelian helikopter Mi-2 senilai Rp 12,5 miliar. Negara dirugikan empat miliar rupiah. Di sinilah masalah PBJ menjadi sentral perhatian PNS, PN, dan Pengusaha.
Pengurus Besar (PB) HMI (2005), setelah beberapa bulan gubernur yang alumni ini dipenjara, unjuk rasa di KPK. Mereka menuntut sang gubernur dibebaskan. Pimpinan KPK mengetahui kalau saya mantan Ketua Umum PB HMI. Saya diminta pimpinan untuk menemui anggota HMI yang unjuk rasa tersebut. Pertama kali, saya malu mengaku sebagai mantan Ketua Umum PB HMI. Sebab, yang ditangkap alumni HMI. Pendemo-nya, PB HMI.
Di pekarangan kantor KPK, Jalan Juanda, kutemui para pengunjuk rasa. Kubayangkan, sewaktu menjadi mahasiswa di Makassar, sering unjuk rasa, baik sewaktu orde lama maupun orde baru. Risiko dari unjuk rasa tersebut, beberapa kali saya masuk sel. Bahkan, sempat dipenjara hampir dua tahun karena tuduhan terlibat dalam peristiwa Malari, Jakarta, 1974. Enaknya Pengunjuk rasa pada masa reformasi, tidak ada yang ditangkap. Asalkan mereka ajukan pemberitahuan ke Polda setempat.
“Adik-adik mau apa,” tanyaku, begitu berjumpa para Pengunjuk rasa. Salah seorang wakil mereka meminta agar KPK bebaskan alumninya, gubernur yang ditahan. Sebab kata mereka, tidak ada uang yang dimakan gubernur tersebut. Aku jelaskan, seseorang tidak perlu menerima uang korupsi ketika ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, kutambahkan, berdasarkan pasal 29 ayat 1, UU Tipikor, jika kebijakan gubernur bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada maka hal tersebut sudah merupakan alat bukti pertama. Lantas, jika kebijakan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan/perekonomian negara, maka sahlah dia menjadi tersangka. Sebab, sekalipun dia tidak menerima uang tersebut, tapi ia dinikmati orang lain atau suatu korporasi. Mereka masih ngotot.
“Adik-adik kenal saya?” tanyaku. “Bapak, Penasihat KPK,” jawab mereka serentak. “Maksudku, kedudukanku di HMI,” tanyaku dengan suara mulai meninggi. Senyap seketika. Tiba-tiba, seorang pengunjuk rasa berujar, “Mantan Ketua Umum PB HMI.” Saya tersenyum. Namun, miris. Sebab, saya pernah menjabat Ketua Umum PB HMI (1979 – 1981). Sekarang saya harus berhadapan dengan fungsionaris PB.HMI yang membela koruptor. Saya langsung menyerang dengan pukulan ‘smash’. “Mana yang lebih tinggi, Ketua Umum PB HMI atau Ketua Umum Cabang HMI?”
Mereka serentak menjawab, “Ketua Umum PB HMI.” Saya tersenyum. Namun, ku lanjutkan dengan serangan mematikan. “Orang yang kalian bela itu, dulu cuma Ketua Umum Cabang. Saya mantan Ketua Umum PB HMI.”
Pengunjuk rasa tersebut, satu per satu menyalamiku, lalu meninggalkan halaman kantor KPK. Pegawai KPK yang mendampingiku turut tersenyum. “Pak Abdullah hebat,” katanya sambil menaiki tangga menuju ruangan kerja di lantai dua.
(Depok, 25 Februari 2023).
Baca Juga: