Pembubaran Diskusi FTA, Order dari Siapa?

Barbar. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan aksi tanpa adab dari sekelompok orang tak dikenal yang merangsek masuk dan membubarkan paksa diskusi yang diadakan oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9/2024). Diiringi bentakan dan makian, kelompok orang tak dikenal itu juga melakukan perusakan sejumlah fasilitas dan alat pendukung kegiatan diskusi tersebut.

Kegiatan yang bertajuk “Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional” pada akhirnya urung dilaksanakan akibat persekusi kelompok orang tak dikenal tersebut. Belum jelas apa motif di balik pembubaran kegiatan diskusi yang antara lain dihadiri oleh tokoh nasional semacam Refly Harun, Din Syamsudin, dan Marwan Batubara, itu.

Di dalam klaim salah satu aktor pembubaran, sembari menyampaikan pesan bernada ancaman kepada pihak sekuriti hotel, ia berkata “Kalau lu mau main fisik sama kita sebaiknya jangan, karena kita perintah langsung.

Aktor pembubaran itu seakan memberikan pesan bahwa langkah mereka memiliki mandat khusus. Lalu, sebelum ia pergi, ia sempat melakukan salam komando dan berpelukan dengan seorang polisi yang tampaknya menjadi penanggungjawab pengamanan pada peristiwa tersebut. Ia melenggang pergi tanpa ada halangan apa pun dari pihak kepolisian.

Prahara di Ujung Kekuasaan, ke Mana Para Pembela?
Niat hati ingin tetap memiliki pengaruh pasca lengser keprabon nanti, Presiden Joko Widodo justru dibuat serba tak enak hati karena tingkah polah anaknya sendiri.

Ada yang Order

Ada banyak hal yang belum jelas. Namun, ada beberapa fakta yang mungkin dapat ditarik benang merahnya. Pertama, acara diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Tanah Air (FTA) itu tampaknya banyak dihadiri oleh tokoh yang cenderung kritis pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan, beberapa pihak telah menilai sosok-sosok yang hadir itu adalah kaum oposisi.

Kedua, acara diskusi yang diselenggarakan itu bersifat privat dan terbatas. Panitia mungkin telah membayar semua akomodasi hotel. Artinya, sebenarnya untuk acara seperti ini tak perlu ada izin kepada pihak kepolisian karena sifat penyelenggaraaannya yang terbatas dan bukan di ruang publik.

Ketiga, tampaknya ada pihak yang tidak suka kepada gelaran acara ini dan terhadap tokoh-tokoh yang hadir di sana. Setidaknya hal ini terlihat dari demonstrasi yang terjadi di depan hotel. Dari spanduk dan poster yang ditenteng oleh para demonstran, banyak tertulis kecaman untuk Refly Harun, Din Syamsudin, dan Said Didu yang menjadi pembicara atau hadir dalam diskusi tersebut.

Keempat, terlihat kuat bahwa pihak yang tidak suka adalah lembaga yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan sejumlah massa dan juga sejumlah preman. Kelima, skenario pembubaran ini terlihat direncanakan dengan baik. Hal ini justru terungkap dari penjelasan Kapolsek Mampang, Kompol Edy Purwanto, yang memaparkan kronologi penyerbuan itu. Menurut dia, polisi disiagakan untuk pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Cinta Tanah Air di depan pintu gerbang masuk hotel. Demonstrasi ini mengecam tokoh dan kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh FTA di dalam hotel.

Masih menurut Edy Purwanto, saat pihak polisi tengah fokus pengamanan di pintu depan hotel, tiba-tiba ada laporan adanya penyerbuan dan pembubaran terhadap diskusi yang diselenggarakan oleh FTA di dalam hotel. Penyerbu itu masuk dari pintu belakang hotel yang tidak dijaga oleh aparat kepolisian.

Fufufafa: Polah Masa Lalu, Akankah Membunuh Karir di Masa Depan?
Polemik soal putusan MK yang memuluskan pencalonan Gibran adalah satu ketidakpatutan yang masih publik ingat. Penghinaan Gibran atas Mahfudz MD dalam debat Capres beberapa waktu lalu juga masih terekam di benak publik.

Polisi juga menyebut bahwa penyerbu bukanlah kelompok dari demonstran yang ada di depan. “Kelompok lain,” begitu kata Edy Purwanto. Kronologi ini menarik, dan tentu saja mengundang beberapa pertanyaan. Di antaranya, bagaimana polisi bisa langsung tahu bahwa pendobrak bukan bagian dari rombongan demonstrasi yang terjadi di depan hotel?

Keenam, dan ini fakta yang paling mencengangkan. Polisi tidak menangkap para pelaku persekusi. Bukankah tindakan itu melanggar banyak pasal? Dari tindakan tidak menyenangkan, perusakan, mengganggu hak asasi manusia untuk berkumpul, memasuki ruang privat tanpa izin, pengancaman, bahkan intimidasi.

Alih-alih menenangkan dan melindungi para korban persekusi dan langsung menangkap pelaku pelanggaran hukum, Polisi malah melakukan salam komando dan berpelukan erat dengan aktor utama penyerbuan tersebut. Apa kata mahasiswa nanti, jika mereka membandingkan sikap garang polisi terhadap demonstrasi mahasiswa untuk menegakkan konstitusi tetapi lembek saat menghadapi preman yang sudah jelas-jelas melanggar hukum?

Fakta-fakta inilah yang mendorong banyak pihak berkesimpulan bahwa ada order khusus kepada para preman tersebut untuk membubarkan acara diskusi. Mana ada preman cari masalah jika tanpa order dan upah? Nah, siapa yang order? Semestinya polisi yang mengungkapnya.

Bagian dari Upaya Membungkam Kelompok Kritis

Aktor yang dijadwalkan hadir dalam diskusi tersebut umumnya adalah kalangan yang kritis dengan pemerintah. Jelang peralihan kekuasaan yang waktunya kurang dari sebulan, siapa kira-kira pihak yang tak suka dengan diskusi kelompok kritis ini?

Para Penjilat di Pusaran Kekuasaan
Dari era kerajaan hingga masa demokrasi modern, praktik menjilat -atau tindakan berlebihan dalam menunjukkan kesetiaan dan dukungan kepada pemimpin atau pejabat berkuasa.

Bisa banyak jawaban yang muncul. Lebih tepatnya, dugaan yang belum pasti kebenarannya. Bahwa semua ini adalah bagian dari upaya pembungkaman. Siapa yang membungkam? Bisa saja itu adalah ulah dari para pembela presiden, bisa pula ulah dari kelompok yang pro presiden terpilih. Bisa jadi dari kedua belah pihak yang tak ingin peralihan kekuasaan terganggu. Atau justru bukan dari pihak-pihak itu semua, tetapi hanya pihak yang ingin mengacau dan mengadu domba serta ingin memancing di air keruh.

Siapa pun pelaku di balik kejadian itu beserta apa pun motifnya, semestinya bisa diungkap oleh pihak kepolisian. Maka, biarlah polisi yang menangani urusan itu dan menyelesaikannya. Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka polisi sekali lagi memberi ruang munculnya tindakan balasan dari kelompok masyarakat yang tidak rela para tokohnya dihina dan dipermalukan.

Kita hanya prihatin, belakangan ini persekusi dan serangan kepada kelompok kritis justru meningkat. Di dunia maya, para buzzer juga amat garang menyerang kelompok kritis. Kasarnya umpatan dan kata-kata serangan itu tak kalah biadabnya dari tingkah penyerbu diskusi FTA.

Kita hanya menyesalkan sikap kritis yang dilandasi oleh pemikiran untuk kebaikan jangka panjang ditangani dan ditanggapi dengan cara-cara yang tidak terhormat. Lawanlah kritisisme dengan akal dan logika yang juga kritis. Mengambil langkah represif melalui buzzer dan preman justru akan menyadarkan banyak pihak, bahwa pihak yang dikritik memang tidak memiliki posisi dan argumen yang benar, sehingga tak mampu menjawabnya dengan fakta!