Pemuda
Hilangnya generasi akibat perang yang terjadi itu bagai lubang menganga antara generasi baru dengan generasi lama. Orang-orang jadi kehilangan nasab dan jati diri.
Tetapi bagi pemuda Islam terdahulu, perang malah ditunggu. Sebab, perang merupakan jalan pintas mencapai kedewasaan dan surga. Kematian di medan jihad bukan sekadar imaji dalam doa, tetapi wujud akhir dari cita-cita. Melalui perang, batas umur yang mengikat pemuda untuk melangkah karena masih digolongkan belia pun dilangkahi.
Perang, bahkan, menjadi momentum untuk menyeleksi mereka secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemuda dengan sikap mendua terhapus habis atau mengebiri diri dari peperangan. Sedang yang rindu dengan transaksi Allah berbahagia dengan dua pilihan: hidup mulia atau mati syahid.
Itu pulalah yang menyebabkan serombongan belia memohon kepada Rasulullah untuk berjihad dalam Perang Uhud, beberapa abad silam. Rasulullah waktu itu menolak sebagian karena banyak dari mereka yang belum baligh. Di antaranya terdapatlah Usamah bin Zaid bin Haritsah.
Ketika Perang Khandaq menyeru prajurit Islam untuk kembali mempersiapkan diri, rombongan kaum muda tadi kembali menghadap Rasulullah. Usamah dengan penuh harap berjalan sambil berjinjit agar kelihatan lebih tinggi dan dewasa. Rasulullah tercenung. Beliau memahami gejolak dalam jiwa anak muda itu. Akhirnya Rasulullah mengizinkan. Maka berangkatlah Usamah dengan cepat, menyongsong indahnya syahid.
Usamah bukanlah satu-satunya contoh pemuda yang rindu akan panggilan jihad. Parit-parit jihad terus melahirkan mujahid-mujahid mudanya. Mushab bin Umair, misalnya, melepaskan masa mudanya yang gemerlap, menukar dengan garangnya pertempuran bersama Rasulullah di medan jihad. Atau kader-kader muda yang digembleng Rasulullah di Darul Arqam, semisal Abdullah bin Mas'ud, Bilal bin Rabah, Sa'id bin Zaid, Al Arqam bin Al Arqam, dan puluhan pemuda lainnya. Mereka semua memenuhi sunnah Rasulullah, tidak terjebak dalam ide-ide besar tanpa pelaksanaan kerja secara nyata.
Baca juga: Tantangan Hidup
“Manfaatkan lima (kebaikan) sebelum datang lima (kelemahan):
- Masa mudamu sebelum datang masa tuamu.
- Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu.
- Masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.
- Masa hidupmu sebelum datang masa matimu
- Masa senangmu sebelum datang masa sibukmu.” – HR. Baihaqi
Mengikuti sejarah akhir-akhir ini, tak sedikit arena jihad yang menyumbangkan pemudanya berseteru dalam perang yang panjang. Meski tanpa data yang rinci, tak ada seorang pun yang menyangkal bahwa jihad Afghan yang berlangsung belasan tahun telah menyajikan bukti nyata. Ratusan ribu anak muda usia keluar dari rumah mereka, menyangga agama Allah dari penjagalan musuh-musuhnya. Mungkin ini juga berlangsung di Palestina, Kashmir, Moro, Rohingya, dan Bosnia. Amatlah sulit melepaskan pemuda dari peperangan.
Di belahan dunia lainnya, saat ini, bukti sejarah ternyata hampir tak berbekas pada jiwa pemuda Islam. Suatu kenyataan yang menyakitkan, memang. Banyak pemuda masa kini dilanda kebingungan. Mereka justru meninggalkan hakikat yang sebenarnya tersandang di pundak mereka. Karena hakikat itulah sebenarnya yang menentukan keberadaan mereka di hadapan Allah.
Anak-anak muda kita dikondisikan menjadi banci. Di hadapan mereka diputarkan fatamorgana buatan yang menghalangi kebenaran sebenarnya. Jadilah hidup penuh tipuan, bahagia tetapi teperdaya. Sang pemuda didorong dengan serbuan aktivitas yang melelahkan, sehingga mereka tidak sadar masa ia berpotensi telah berlalu. Pemudi kita ditarik ke luar rumah, melupakan fitrah wanita layaknya. Jihad, dakwah dan sebagainya, menjadi barang asing yang disisihkan.
Apa akibat semua itu? Dengan berjalannya waktu, kaum muda tidak mampu memisahkan mana lawan dan kawan. Hilang rasa curiga terhadap apa-apa yang melingkupinya selama ini. Lupa akan kemungkinan buruk yang terus dirancang musuh-musuh Allah. Tak mampu menangkap kesempatan untuk memimpin dunia seperti yang digilirkan Allah. “Dan masa (kejadian dan kehancuran itu) Kami pergilirkan di antara manusia, agar mereka mendapat Pelajaran.” – QS. Al Baqarah:140
Baca juga:Buah Ketabahan
Maka tidaklah mustahil Allah akan menukar generasi ini, entah dengan cara apa. Mungkin juga musibah alam biasa atau peperangan sekali pun.
“...maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Rabb-nya, yang bersikap lemah lembut terhadap kaum mukmin, dan bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela…” – QS. Al Maidah:54
Dari firman Allah di atas, terdapat beberapa ciri generasi pengganti yang dijanjikan Allah. Pertama, mereka bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin. Selalu mengajarkan kebaikan agar ditunaikan dan kemungkaran dijauhi. Bertindak arif, tidak merasa diri yang paling benar, berusaha menjauhi silang sengketa sesama muslim karena persoalan sederhana.
Kedua, mereka bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Harus mempertegas antara kebatilan dengan kebenaran, agar tidak terjebak ke dalam toleransi beragama yang semu. Sehingga, tak ada alternatif selain Islam dalam menuntaskan dan menjalani siklus kehidupan.
Ketiga, cinta jihad di jalan Allah. Melaksanakan segala pekerjaan hanya karena Allah dan bersungguh-sungguh. Persoalan dunia dengan segala aksesorisnya menjadi enyah jika panggilan berbuat di jalan Allah mendatanginya, seperti sahabat Sa'ad As-Sulami, yang meninggalkan malam pertamanya, ketika datang panggilan jihad.
Keempat, tidak takut celaan dari orang yang suka mencela. Hanya Allah fokus segala amalan, sehingga berlepas diri dengan pandangan subyektif manusia. Tidaklah tercela jika tampil beda dan aneh di tengah masyarakat jahili, dalam mempertahankan identitas muslim. Rasulullah sendiri memprediksi bahwa suatu saat umatnya akan menjadi komunitas kecil dan akan dipandang aneh.
Atas izin Allah, jika kita termasuk generasi yang dijanjikan itu, apakah arti rasa takut akan peperangan? Sampai di manakah harga darah, air mata, kehilangan, bahkan kematian sekali pun? Semuanya menjadi nisbi, karena transaksi antara jiwa dan surga lebih memberi makna besar dalam perjalanan hidup yang sementara ini.
Tidak ada kesepakatan lain, mungkin, selain segera berbuat sebisa apa yang kita mampu untuk agama Allah ini. Selebihnya, Allah yang Maha Tahu.
Artikel ini disadur dari Majalah Sabili, No.06-19/Th. V 6-19 November 1992